Senin, 28 Juni 2010

KIPRAH GENTA MANUSIA

Karya: Agus Ardiansyah
NPM: 2007112032
Naskah drama.


Suara angin berhembus dan suara tetes-tetes air jatuh dari ketinggian.
Lampu berkilatan berwarna merah berkilatan di segala penjuru panggung.

Di panggung hanya ada satu buah meja, satu buah kursi dan satu buah lilin yang tinggal setengah terletak di atas meja.

Panggung gelap dan lilin menyala. Hanya lilin yang menjadi sumber cahaya. Tokoh lakon masuk berteriak-teriak lalu duduk di kursi kayu.


Lakon: Di mana…. Di mana…. Kenapa hanya diam. Bisu kah kalian. Apa lidah kalian sudah dikebiri. Pantas kalian hanya menjadi pecundang dalam kegelapan.
Bedebah semuanya, kalian bedebah.

Lampu hijau menyala redup mengarah ke muka tokoh yang sedang duduk di kursi.
Kemudian lampu mati, digantikan dengan lilin yang menyala. Lakon berdiri di belakang kursi dan berjalan menuju sudut-sudut panggung.

Lakon: aaaaaaaaaa…….(vokal berhenti tersedak)
(gelisah dan merintih)
Kenapa duniaku terasa seperti magma, aku yang selalu dipojokkan. Menyesal aku menunjuk pelacur. Yang dia bisa hanya melacuri apa saja yang sudah tidak berdaya.
Melucuti yang bukan haknya, mengurusi yang bukan urusannya, mengerogoti apa yang ada.
Bedebah….. kurasa ribuan lusin masih ada yang seperti ini di duniaku.
Apa kalian tak merasa jika dunia ini telah rapuh, telah lapuk, dan berkarat.


Lakon kembali duduk di kursi.
Tokoh lakon hanya memandangi lilin yang hampir habis terbakar.
Dengan ekspresi sedih dan jengkel tokoh merebahkan badannya di kursi.

Suara angin berhembus. Kilatan-kilatan lampu kembali menyala dan seseorang berpakaian serba hitam berlari ke segala sudut panggung sambil memutarkan selendang berwarna putih.

Seseorang: Kau hanya seperti ini. Terombang ambing oleh badai terhempas pada karang cadas dan tak ada sepenggal makhluk yang akan mengulurkan tanggan untuk mu.
Kau bisa berubah haluan tuanku, aku siap arahkan angin untuk lajukan hasrat dan nafsu mu.

(dengan tawa terbahak-bahak seseorang itu hilang ditelan kegelapan)

Di atas kursi Lakon tersentak kaget dari diamnya.
Lalu berteriak histeris….
(lampu kuning menyala redup dari dua sudut panggung dan mengarah ke meja )

Lakon: tidaaaaaak….. tidak akan… aku tidak akan menjadi penentang.
Aku tetap menjadi pelayan Tuhan. Tak semudah itu kau hembuskan angin tuk alihkan haluanku. Tak semudah itu!
Ingat bedebah…! tak semudah itu.
Kalian hanya membuat dunia ini gelisah, membuat dunia ini terbakar dan meleleh, tanpa kau hiraukan mahuk-mahluk penghuni dunia ini.
Kini semua menegadah gersang pada musim yang kian kalut.

(Lakon berbicara dengan lilin, kepalanya mengikuti gerak nyala api lilin)
Lakon tertawa terbahak-bahak, suaranya keras, semakin lama suara tawa Lakon hilang tertelan gelapnya panggung.

(Pangung gelap hanya cahaya lilin yang menyala. Dari sudut panggung lampu kuning dan hijau menyala redup)
Keluarlah beberapa perempuan memutari panggung dengan membawa selendang berwarna putih.

Perempuan 1: Seperti ini yang kau ginkan.
Hidup menyembah kebaikan tapi meyengsarakan.
Sudah, berbaliklah. Ikuti gerakku jika kalian ingin tertawa.
Tak perlu kau takut dengan Tuhan.

Perempuan 2: Tak usah munafik, kalian menyegsarakan diri sendiri.
Benar sekali… kalian hanya budak yang tertindik tembaga.


(selendang dibentangkan membentuk garis vertikal. Dari sudut kanan depan panggung kearah kiri belakang panggung. Kemudian selendang itu menjadi alas berdiri oleh beberapa perempuan)


Lampu merah menyala menyoroti ke arah perempuan.
Lakon kembali masuk ke dalam panggung dengan nafas terengah-engah.

Lakon: Heiii……. Perempuan-perempuan kehausan. Begitu hina kalian menghianati kehidupan. Apa yang kalian cari dalam hidup ini. Nafsu iblis kalian tak dapat dihentikan.

Perempuan: Jaga bicaramu manusia munafik.
Semua di dunia ini tidak ada yang abadi. Maka nikmatilah hidumu dengan cara apapun.

(Perempuan tertawa terbahak-bahak)

Perempuan: Sudah, ikutlah dengan kami. Selesaikan urusanmu dengan Tuhan. Putuskan di sini.
Lakon: Hentikan bualmu. Meskipun dunia berhiskan permata dan merah delima aku tak akan menari dan bersenandung di atas darah yang tersumbat para rakyatku.
Kini yang ku inginkan kalian kembali pada asal kalian.


Lampu mengarah kepada Lakon yang duduk di sudut panggung sambil memegangi selendang yang di injak oleh para perempuan. Dengan perlahan Lakon bangkit dari duduknya dan kemudian menarik selendang hingga para perempuan terhempas berserakan.

Lampu kuning dan merah menyoroti para perempuan dari empat susut panggung
Para permpuan merintih kesakitan dan histeris.

Perempuan 1 : Tidak….. tidak…. Hentikan.
Perempuan 2 : Kenapa harus dihentiakn?
Bukankah kita telah merasakan apa yang kita inginkan.
Perempuan 3 : sekarang kita sudah tersudut, apa kita harus mengambang dan hanyut?
Perempuan 4 : Kita harus bertahan dan kembali berjalan.

(Para perempuan berkumpul dalam berbagai posisi)

Lakon: Sudah cukup bual kalian tertumpah?
Apa aku yang harus tumpahkan amarah para rakyat tertindas.
Buatlah pembelaan sebelum nafas dan detak nadi tak sudi lagi bersemayam pada raga rapuh dan berbentuk bangkai kalian.

(Lakon berputar mengintari perempuan yang terkapar di lantai)

Lakon: Sekarang saatnya.!

(Lakon memukulkan selendang putih kepada para perempuan. Perempuan menjerit histeris dan semua lampu mati. Di panggung hanya lilin di atas meja yang menjadi sumber cahaya).

Lakon kembali duduk di atas kursi sambil memandangi cahaya lilin.

Lakon: seharusnya seperti ini. Kalian lihat? Seharusya seperti ini!

(lakon berteriak dengan keras)

Kemudian lakon merebahkan badannya dikursi dan diam.
Suasana hening. Suara angin berhembus kencang, suara tetes-tetes air kembali hadir memecah sunyinya panggung.


Seseorang masuk dari belakang panggung, sorot lampu hijau menyoroti keluarnya tokoh seseorang ke dalam panggung.
Tokoh mengintari Lakon yang sedang rebahan di atas kursi, sesekali seseorang berusaha mengoyangkan kursi, namun tidak berhasil.

Seseorang kemudian berputar-putar dengan mengibarkan selendang putih dan menyeret selendang dilantai.

Seseorang: Kau….kau… kau….!
Kau telah hentikan perangai angin dan rayuan jiwa-jiwa manusia yang terlunta.
Kini amarahku telah tenggelam pada palung tak berdasar. Biarkan dunia ini meleleh bersama jaman. Karena memang alam telah berkarat. Tak perlu bertahan atas kesucian.

(seseoran berbicara penuh amarah di samping Lakon)

Lakon terjaga, namun seseorang berusaha lari dengan memutarkan selendang berwarna putih.
Dengan secepat kilat, Lakon menagkap selendang dan menghentikan langkah seseorang.

Lakon: Tak perlu kau rayu cemara yang telah menghadap mentari.
Sekarang pergilah bersama ranting dan daun yang akan gugur.
Karena kau tak pantas tumbuh dengan angkara yang tak kenal iba.

Lakon menarik selendang dan seseorang jatuh terhembas.

Lakon: Kini kalian semua yang patut untuk pertahankan dunia. Sembahlah Tuhan karena alam pemberiannya. Coba pikir, apa yang kalian lakukan selama telah tepat pada kehendak Tuhan. Pikirkan, renungkan, dan camkan baik-baik apa yang kalian kerjakan di alam ini, kalian sendiri yang akan menuai hasilnya.

Lakon kembali duduk di atas kursi menyaksikan lilin padam dengan sendirinya.


SELESAI

GABUK

Karya: Agus Ardiansyah
NPM: 2007112032
Naskah drama.

Para Tokoh:
1.Apung, seorang anak berusia 10 Tahun.
2.Sariman, seorang bapak, nelayan.
3.Sumirah, istri Sariman.


Setting :
Di pesisir pantai, rumah panggung terbuat dari bambu dan kayu.

Suara :
Suara debur ombak ,angin, dan suara burung.

Musik:
Sayup-sayup suara seruling, jimbe, petikan gitar.


Suara ombak dan suara burung. Ruangan hanya diterangi oleh lampu teplok. Kemudian lampu warna hijau menyala redup dan kemudian setegah teran menyoroti asal tokoh keluar.


Sariman: Pung…. Bapak pulang. Bangunkan ibumu, ini baru pukul 10 malam. Suruh dia membuatkan aku kopi. Dan suruh dia membersihkan ikan ini.
Jangan sampai pohon kelapa ini mengarah ke daratan.

(sariman menaiki tangga rumah dan duduk di atas kursi)

Sumirah: Baru pulang…. Lupa ingatan lagi?
Sudah kau bayar hutangmu?
Tak usah diam, gunakan lidahmu.

(sumirah masuk ke dalam ruangan dengan membawa satu cangkir kopi)

Sariman: Dari mana aku mendapatkan uang untuk membayar hutang. Di laut gelombang masih tinggi. Sekeranjang ikanpun aku tak dapat.
Di mana anakmu?

Sumirah: Anakmu melihat jala ikan di balik karang.

Sariman: Kau bilang dia anakku?
Dia anakmu, bikan anakku. Aku telah ditakdirkan tidak punya anak denganmu.
Sial sekali diriku, tidak punya anak tapi harus menghidupi orang yang bukan anakku.

Sumirah: Sadarlah pak, dulu kamu yang menyuruhku untuk mengambil Apung dari laut. Sekarang Apung sudah besar dan sudah bisa bekerja sendiri malah kau membencinya.
Sariman: Sudah lah bu. Aku tidak mau berdebat dengan peremuan gabuk sepertimu.
Sekarang buang saja anak mu itu atau kau juga ikut pergi dari rumah ini.

Sumirah: Apa kau sadar dengan ucapanmu ini pak? Sudah ketiga kalinya kau berkata seperti ini denganku.
Baik….baik! aku akan enyah dari rumahmu ini.

(Sariman pergi meninggalkan rumah)

Sudah lama Apung mendengarkan perkataan kedua orang tua angkatnya dari bawah rumah.
Kemudian Apung daik ke dalam rumah.

Apung: Assaalamualaikum…

Sumirah: waalikumsalam.
Sudah pulang kamu nak? Bagaimana hasil menjala ikan hari ini?
Kenapa kau kelihatan lelah sekali Apung anakku?

Apung masuk dan mengabil lampu temlok dan meletakkan di atas meja. Kemudian duduk di kusi samping ibunya.

Apung: Bu aku ini siapa?
Kenapa namaku Apung, apa benar aku bukan anakmu bu, apa aku ini buah kasihan kalian saat aku terapung dan terbuang di lautan?

Sumirah: Siapa yang bilang seperti itu anakku, kamu ini anakku. Anak kesayanganku. Hanya orang gila yang mengatakan kamu bukan anakku.

Apung: Tadai aku mendengar perkataan ibu dengan bapak.

Sumirah: Kau mendengar semuanya nak?

Apung: Iya bu, sekarang aku tahu siapa diriku yang sebenarnya dan kenapa ibu memberiku nama Apung.

Sumirah: Sudahlah nak, tak usah kau dengarkan perkataan bapakmu. Bapakmu lagi kumat. Kalau iblis datang merasuki jiwa ayahmu, memang dia selalu seperti itu.

Apung terdiam, lampu kuning menyala menyinari ruangan dengan diiringi suara ombak dan gelombang air laut.


Kemudian Apung beranjak berlari keluar dari rumah.
Dari atas rumah bu Sumirah menyaksikan kepergian Apung.

Sumirah: Apung kau mau kemana? Hari sudah larut malam nak. Tidurlah dirumah anakku.

Apung: Aku akan pergi ke karang bu, aku akan melihat matahari lahir dari perut dunia ini. Aku ingin tahu siapa sebenarnya diriku ini bu.

Sumirah: Apung, ini ibumu.

Apung pergi dan sosoknya hilang ditelan kegelapan

Lampu kuning redup dan berganti dengan cahaya terang.
Tokoh Sariman berada di bawah rumah sedang memperbaiki jarring.

Sumirah: Pak, kau lihat Apung? Tadi malam dia pergi. Tapi sekarang belum juga pulang.

Sariman: Aku tak peduli dengan anak itu. Mau sekarat…. Mau mati dan menjadi bangkai yang dikerubuti belatungpun aku tak perduli. Lebih baik dia seperti itu saja. Kerjanya hanya menyusahkanku saja. Sudah berapa kali perahuku akan tenggelam, sudah berapa kali dia menghancurkan jala dan jaringku, sudah berapa kali dia merusakkan mesin perahuku. Memang bajingan anak itu….
Kalau saja aku punya anak darimu, pasti aku tidak akan menderita dan merugi seperti ini.
Dan apa yang bisa kau berikan kepadaku perempuan gabuk?
Hanya kepergianmu menjadi TKI itu yang kau banggakan, yang bisa ku lakukan hanya bergerak maju mundur saat aku berhadapan dengan selangkangan para perempuan yang sama gabukknya dengan dirimu.

Sumirah: Sudah cukup pak, sudah terlalu sabar aku menghadapi tabiat bejatmu ini. Tapi aku selalu berharap agar kau bisa sadar. Tapi nyatanya apa, dirimu telah dikuasai iblis, iblis pak, iblissss.!


Sumirah meninggalkan panggung, di dalam panggung hanya ada Sariman.
Lampu hijau dan kuning menyala. Dan kemudian terdengar teriakan Apung memangil ibunya.

Apung: Ibu…..ibu…. aku pulang bu.


Sariman: Hoiii… anak haram.dasar tak kenal sopan.
Tak perlu kau teriak-teriak seperti itu, ibumu juga mendengar.

Apung masuk kedalam rumah. Dan Sariman pergi dari panggung

Lapu teplok yang menyala dengan disoroti lampu berwarna hijau dari sudut depan panggung.
Suara ombak dan suara burung malam terdengar samar-samar.
Apung dan bu Sumirah duduk di dalam rumah.

Apung: Bu aku sudah tidak kuat lagi berada di rumah yang seperti neraka ini bu.
Aku ingin pergi bu, aku kenal dengan seseorang yang tinggal di pulau kecil tempat orang-orang memuja itu.

Sumirah: Dia berkata apa dan bagaimana kau bisa mengenalnya.

Apung: Dia tidak bicara apa-apa bu, dia hanya berkata kalau aku ini anaknya. Aku bertemu dia saat aku menebar jala di dekat karang.

Sumirah: Benar nak, itu ayahmu. Ternyata dia akan menepati janjinya.
Sekarang sudah saatnya kau tau siapa orangtuamu yang sebenarnya anakku.
Orang yang kau temui itu adalah ayah kandungmu dan aku adalah ibu kandungmu.

Apung: Jadi aku bukan anak pungut yang ibu ambil saat aku terapung di lautan?

Sumirah: Bukan anakku, nanti ibu kisahkan. Sekarang siapkan bekalmu, esok pagi kita pergi.

Apung: Baik bu.


Kemudian Sariman berteriak dari bawah rumah.

Sariman: Ternyata seperti ini perangaimu. Begitu rapi kau kemas dusta aib ini. Hingga aku buta dengan segalanya. Sekarang aku baru tahu, dirimu lebih bejat dari perempuan-perempuan yang sepat aku gagahi. Ternyata kau begitu mudah untuk digagahi orang.
Dasar perempuan sundel.

Tangan Sariman pendarat keras di pipi Sumirah.

Sumirah: Apung anakku pergilah kau ke pantai, siapkan perahu. Jika ibu tidak datang hingga air pasang dan menengelamkan dengkulmu, pergilah. Sampaikan kepada ayahmu untuk melaksanakan semua permintaan ibu dulu.
Apung: Tapi bu…

Sumirah: Pergilah nak…. Ibu akan baik-baik saja.

Dari bawah rumah Apung terus saja melihat ke arah rumahnya.

Apung: Ibu aku tunggu di pantai hingga air laut pasang.

Lampu kuning menyala redup mengarah kepada Apung. Apung meninggalkan Panggung.

Sumirah: Sekarang apa yang ingin kau lakukan?
Ingin mengusirku dan memaki aku dengan sebutan gabuk seperti apa yang kau ucapkan selama ini kepadaku.
Siapa di sini yang tidak bisa memberikan keturunan, aku apa kau. Semuanya sudah jelas terbukti.
Jadi, tak perlu kau sombong antek-antek iblis!

Sariman: Apa yang kau bicarakan perempuan jalang. Aku manusia perkasa, tidak mungkin aku gabuk.

Sumirah: Bukti berpihak kepadaku. Sekarang aku tidak sudi lagi hidup denganmu. Aku akan pergi dan meninggalkan neraka ini.

Sariman tertawa terbahak-bahak dan menghunuskan parang yang terselip di pinggangnya.

Sariman: haaaa….. haaa….haaa….! beristirahatlah dengan tenag perempuan jalang.

Setelah menghunuskan parangnya ke tubuh Sumirah, Sariman duduk di kursi sambil tertawa dan kemudian menangis.

Sariman: Apa yang telah aku lakukan, apa aku ini iblis. Benar aku ini iblis.

Lampu merah dan kuning menyala terang…
Lampu mengarah ke ruangan rumah.

Sariman tertunduk dan kemudian menegadah menatap ke langit-langit.

Sariman: memang ini jalanku.

Dengan kuat Sariman menancapkan parangnya ke perutnya sendiri.

Suara gemuruh gelombang dan angin terdengar keras dan kemudian hilang diiringgi padamnya semua lampu.

SELESAI

KAMPUNG UWONG CINO

Pelakon :
- Mang Juhai
- Mang Kuclok
- Pak Lurah
- Polisi 1
- Polisi 2

SINOPSIS

Tatkala disuatu hari becak mang Juhai berhenti di kekeramatan lima gundukan makam Cina, cuma satu kebetulan saja mang Juhai berhenti di situ, kebetulan lantaran tidak kuat menahan rasa mual di perutnya. Mang Juhai menyoroti tanah luas yang begitu indah yang cuma dihuni lima gundukan nisan. Mang Juhai mempunyai ide untuk mendirikan sebuah perkampungan di daerah tanah yang luas itu, sehingga seminggu ia mempunyai ide, maka sudah sepuluh gubuk tegak berjajar setengah memagari pekuburan, dan jadilah sebuah perkampungan yang baru.

Narator :
Sebuah cerita Mang Juhai dan Mang Kuclok yang menjadi pendiri di suatu perkampungan, para masyarakat mengangkat mang Juhai sebagai pendiri kampung sekaligus ketuanya, sebagai wakil ketua diangkat mang Kuclok, yang terkenal sebagai jagoan yang paling berani di kalangan dunia sopir becak. Dan sekaligus pemberian nama kampung yang baru “Kampung Uwong Cino” untuk itu membuat suatu pengesahan resmi dari Pamong Praja lewat pak Lurah.
Berangkatlah mang Juhai dan mang kuclok, setiba di sana sikap pak lurah tidak mengenakan hati.

Pak Lurah :
Seharusnya kalian tinggalkan kuburan Cina itu, kampung yang kalian dirikan adalah kampung liar yang tidak bisa dibenarkan.

Mang Juhai :
Lho, Pak lurah ini nak bela rakyat apo Cino yang sudah menggagahi kito, ini ni tanah milik rakyat bukan Cino.

Pak Lurah :
Jika begitu sudah pasti saya tidak akan dipilih jadi lurah desa dari lima ribu jiwa, empat kampung kelurahan ini.

Mang Juhai :
(mengumpat bertubi-tubi)

Mang Kuclok :
Juhai, payo panggilah kawan-kawan komite, kito didatengi polisi samo kuli-kuli Balai kota.

Mang Juhai :
Polisi???
(Mang Juhai dikagetkan dari tidurnya)


Mang Kuclok :
Yo, cepatlah panggil komite, kito nak dibongkar dari sini.

Mang Juhai :
(termangu, dan gagap)
Tapi Kuclok, alamat keduo kawan kito tuh lupo aku nanyonyo semalem, karno semalem aku ketemu dio sedang minum-minum di warung dekat alun-alun itu.

Mang Kuclok :
Jadi apo yang nak kito perbuat Juhai??? Aku bingung nak ngelakuke apo…

Mang Juhai :
Dasar aparat dak tau diri!!! Aku pegen nian ngebantai aparat itu, tapi apolah dayo aku dak punyo kekuatan, aku cuma sopir becak. Caknyo dak katek yang nak bantu kito, sekarang bepekerlah apo yang nak kito lakuke???

Polisi 1:
Siapa yang jadi pemimpin di sini???

Mang Juhai :
Aku ketuanyo di sini, Kuclok wakilnyo ado apo???

Polisi 1 :
Kalian berdua kami tahan!!! Harap ikut kami ke kantor polisi.

Mang Juhai :
Tapi apo salah kami???
Mang Kuclok :
(tampak gugup)

Polisi 1 :
Nanti akan dijelaskan di kantor polisi, sekarang saudara ikut saya!!!


Polisi 2 :
Nah itulah kesalahan kalian, kenapa tanah kuburan dijadikan tempat kediaman kalian. Dan kalian berdualah yang jadi biang keladi dari permasalahan ini, kalian berdua diancam hukuman yang berat!!!

Mang Juhai :
Haaaaaa!!! Tapi pak,kami berhak menepati tanah tersebut, toh tanah itu sudah jadi milik rakyat yang sudah dikuasai kaum feodalis!!!

Polisi 2 :
Saudara pikir kami ini bukan warga rakyat, saudara pikir kami ini bukan polisi yang diangkat oleh rakyat dan digaji dengan pajak rakyat!!!! Haa.

Mang Kuclok :
Tapi pak, komite ngomong kami dak salah menepati kuburan Cino yang nganggur.

Polisi 2 :
Baik, sekarang begini!!! Andaikan saja saya ini komite, andaikan pula kalian berdua ini sekarang punya sebidang tanah kuburan keluarga yang luas. Sekarang saya selaku komite secara tidak langsung menghasut pada segerombolan orang gelandangan agar mereka menepati kuburan itu. Tanpa permisi, terus seenaknya saja mereka mendirikan perkampungan. Dengan alasan, karena orang gelandangan perlu tanah. Dan kebetulan tanah kuburan Cina kelihatan nganggur, apa saudara bisa menerima????

Mang Kuclok dan Mang Juhai :
(menggeleng sedikit)


Polisi 2 :
Naa kalau begitu apa saudara bisa membenarkan komite dan orang-orang yang merampas tanah pekuburan keluarga saudara ???

Mang Kuclok dan Mang Juhai :
(menggeleng lagi)

Polisi 2 :
Jadi, apakah saudara bisa bilang komite benar ???

Mang Juhai dan Mang Kuclok :
(terdiam sejenak)

Polisi 2 :
Kita hidup dalam Negara hukum, kita semua menentang cara dan tindakan-tindakan liar yang menyalahi hukum, misalnya nyerobot tanah milik orang lain. Mengerti saudara ???


Mang Juhai :
Pak, mohon jangan dipenjara, kami janji dak bakal ngulang lagi, kami akan mematuhi aturan hukum.

Polisi 2 :
Nian apa???

Mang Kuclok :
Nian pak!!!

Mang Juhai :
Iyo pak tolonglah!!! Jangan dipenjara kami ni!!!

Polisi 2 :
Baiklah, untuk kali ini kalian akan dibebaskan dari tuntutan hukum, tapi sekali ini saja, kalau terulang lagi kalian siap-siap akan diberi hukuman.

Mang Juhai :
Alhamdulillah, akhirnyo masih biso aku ketemu dengan bini aku, bini aku nak ngelahirke pulo.

Polisi 2 :
Antarkan mereka ke luar!!!

Mang Kuclok :
Mokasi pak yooooo!!!


Karya: Mitra

TANGKAI TERAKHIR

KARYA: Mitra

Dengan senyum dikulum Bu Sastro memperhatikan suaminya dari ruang tengah. Lelaki yang sangat dicintainya itu selalu begitu jika menghadapi peristiwa besar dalam keluarganya. Hari ini adalah peristiwa yang keempat kalinya dialami oleh keluarga Sastroyudiyono. Perbedaannya, peristiwa tiga kali sebelumnya untuk tiga anak perempuannya, sedangkan pada kali ini adalah Hartawan anak bungsu laki-laki satu-satunya.
Beberapa jam sebelum penghulu hadir, Bapak Sastroyudiyono adalah orang pertama yang sudah berpakaian rapi. Sementara anggota keluarga lainnya masih berseliweran dengan kegiatannya masing-masing. Hartawan sudah mulai dirias di kamarnya. Bu Sastro tampak mondar-mandir, entah apa yang merasuk pikirannya, sehingga tak bisa tenang seperti suaminya di saat-saat seperti itu.
“Tenang saja, Bu. Semuanya sudah beres,” kata Tika sang pembawa acara mencoba menenangkannya.
“Sekarang lebih baik Ibu bersiap-siap, sebentar lagi tamu-tamu datang,”
Dilihatnya lagi suaminya yang sedang duduk di teras. Begitu tenang, beskap kuning kecoklatan, blangkon coklat senada dengan kain panjangnya, tampaknya larut dalam ketenangan dan kewibawaannya. Senyum Bu Sastro kembali tersungging saat melihat suaminya memegang sekuntum bunga mawar yang telah mekar. Dengan santai ia mencium bau keindahan yang berasal dari bunga mawar yang berseri secerah wajahnya. Perlahan sekali Bu Sastro yang kini sudah berpakaian rapi menghampirinya. Pernikahan anak bungsunya dipestakan dikediaman Sastroyudiyono.
“Sarapan Pak?”
“Boleh, tapi jangan banyak-banyak, roti saja kalau ada.”
“Acaranya kan masih lama, tambah susu, ya?”
“Ya, boleh. ibu sudah sarapan ?” ia balik bertanya.
Tanpa memberi jawaban istrinya masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan dua piring di tangannya. Menit-menit berikutnya pasangan yang berbahagia itu asyik menikmati sarapan di teras rumahnya. Lalu-lalang anak-anak dan kerabat yang muai berdatangan seolah tak mereka hiraukan. Pada saat-saat seperti itu, dunia seakan milik mereka berdua.
“Dua minggu lagi kita jadi ke Bali, pak?”
“Hmmm, Hartawan yang menikah, kok ibu yang ingin berbulan-madu.”
“Bukan begitu.., sayang kan kalau nolak ajakan Diana yang kebetulan jadwal terbangnya ke Bali. Ibu ingin sekali melihat matahari terbit di pantai Kuto, kabarnya indah sekali.”
Setelah diam beberapa saat, bu Sastro melirik sekuntum bunga yang tergeletak dekat piring suaminya.
“Mengambil bunga dari mana, Pak?”
“Entahlah aku tak ingat, bunga itu begitu saja ada di tanganku.”
“Ah, Bapak ini. Bunganya jangan dicabuti dulu, acaranya belum selesai kan?” Bu Sastro sedikit menggerutu.
“Kembalikan sajalah,” jawabnya setengah tak acuh.
Bu Sastro mengambil sekuntum bunga itu. Seperti tahun-tahun yang lalu ia membawa sekuntum bunga mawar itu ke kamarnya. Di lemari, sudah ada tiga kuntum bunga mawar yang sudah kering. Namun daun hijaunya masih utuh, dibungkus kertas plastik yang rapi dan begitu indah.
Dengan hati-hati ia membukanya, kemudian di masukkannya bunga yang dipegangnya. Maka jadilah sekuntum empat bunga mawar. Entah disadari atau tidak oleh suaminya, setelah diteliti disetiap bunga kering itu, masing-masing terdapat empat kuntum yang hampir mekar.
“Apakah ini kuntum yang terakhir?” bisik hatinya sambil mengelus bunga yang masih segar, ahhh tidak!”
“Dia akan terus begitu saat cucu-cucunya menikah kelak,” jawab hatinya lagi.
Dan tentu saja Bu Sastro akan terus mengumpulkannya seperti ini, tanpa setahu suaminya. Setelah anak bungsunya menikah, rumah keluarga Sastro terasa sepi. Tak terdengar lagi denting piano dan biola di senja hari atau suara tertawa Hartawan yang mengeli. Tapi perubahan itu tak mengusik kebahagiaan Bu Sastro. Selama Sastroyudiyono masih di sampingnya, suasana akan terasa tentram. Ia bersyukur mendapatkan menantu yang penyabar dan sopan tutur katanya, mudah-mudahan mereka menjadi keluarga yang sakina mawaddah warohma.
“Saya iri pada Bu Sastro,” ucap Tika ketika berkunjung ke rumahnya.
“Kenapa iri? Aku tak memiliki apapun yang bisa membuat kau iri.”
“Kebahagiaan Ibu, tampaknya tak pernah padam.”
“Tak akan pernah padam selama kita mampu menjalin saling pengertian, saling menyayangi dan saling menghormati.”
“Itulah. Tapi tak semua bisa begitu. Bu rupanya teori Ibu hanya mudah diucapkan bagi sebagian orang.”
“Ah bisa saja kalau mau berlatih. Sadarilah bahwa gemerlap dunia hanya sebuah sandiwara yang setiap saat bisa ditutup jika sutradara menghendakinya.”
“Saya ingin belajar seperti Ibu,” bisik Tika sambil mengitarkan bola matanya ke seluruh ruangan rumah.
Hanya perabotan sederhana yang ditata dengan manis dan bersih dari debu.
“Mencari apa, Tik? Pasti kamu sedang membandingkan dengan rumah teman-temanku sesama pensiun.”
“Bukan, Bu,” jawabnya cepat-cepat.
“Saya sedang mencari di mana rahasia ketentraman dan kebahagiaan Ibu.”
“Di sini.” Bu Sastro sambil menempelkan telapak tangan di dadanya.
“Di balik dada ini rahasianya, Tik. Aku selalu meyakini bahwa semua yang kunikmati di dunia ini hanya titipan-Nya, dan sewaktu-waktu bisa diambil Sang Pemilik.”
Dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri. Mungkinkah seorang Ajeng Setia Wati, anak tunggal manja, mampu berkeyakinan demikian? Seandainya tidak dibimbing dengan sabar oleh Sastroyudiyono, seorang abdi Negara ynag cinta dengan kejujuran.
Matahari belum tampak ketika Bu Sastro membuka pintu depan. Ia ingin melihat perkutut kesayangan suaminya yang berbunyi terus sepanjang malam. Sedang ia sendiri nyaris tak sempat memicingkan mata, sibuk membereskan koper yang akan dibawa ke Bali siang nanti. Dibiarkannya suaminya tidur lagi setelah subuh dengan tasbih di tangannya. Mungkin ingin segar dalam perjalanan. Tak urung ia tertawa sendiri mengingat sibuknya mengatur koper tadi malam seperti akan pergi berbulan-bulan.
“Aku bingung bawa baju berapa, ya Pak?”
“Kalau bingung, bawa saja sekalian lemarinya.”
Pak Sastro menggodanya. Digoda begitu ia memoncongkan bibir kearah suaminya. Yang berbaring membelakanginya. Sebetulnya, berpergian dengan Diana anaknya yang pragawati itu tak perlu risau. Diana sangat mengerti apa yang diperlukan orang tuanya dalam perjalanan. Melihat suaminya begitu lelap tidur dalam posisi menghadap tembok, ia tak sampai hati membangunkannya. Tapi ketika matahari sudah mulai tinggi, dengan sangat hati-hati ia mengelus punggung suaminya.
“Pak, bangun. Dua jam lagi kita berangkat, Diana sudah datang dengan suaminya.”
Pak Sastro tak terusik, tetapi tasbih tetap dipegangnya. Seketika jantung wanita itu berdegup agak kencang saat membangunkan untuk kedua kalinya. Tak juga ada reaksi dari suaminya. Dengan perlahan tangannya membalikkan badan suaminya, lelaki itu seperti tak berdaya.
“Dian!!! Ya Allah…Bapak kenapa begini?”
Diana yang baru saja tiba menerobos masuk kamar, dengan gerakan cepat ia memutar nomor telepon Dokter Ria yang tak lama kemudian tiba di rumah. Kini pandangan seisi rumah melekat pada tangan yang sedang memeriksa Sastroyudiyono. Dan suasana menjadi hening ketika Dokter Ria mendongakkan kepalanya kearah Bu Sastro.
“Sudah setengah jam yang lalu, Bu. Semoga Ibu dan keluarga tabah menerimanya. Pak Sastro meninggalkan kita dalam keadaan yang sangat tenang,” katanya sangat lirih.
Ibu Ajeng Setia Wati berdiri terpaku dengan bibir gemetar. Tak terdengar rintihan maupun isak tangisnya. Kemudian ia mendekati suaminya yang terbujur di tempat tidur. Diciumnya kening jenazah lelaki yang amat dicintainya itu.
“Pergilah, Pak. Aku ikhlas melepasmu, karena ini sudah menjadi suratan-Nya, innalillahi wainna ilahi rojiun…”
Semua anggota keluarga yang ada saat itu terhanyut oleh ketenangannya, beberapa jam kemudian, pada saat rumahnya sudah mulai hiruk-pikuk dengan isak tangis anak cucunya, Bu Sastro menyendiri di dalam kamarnya. Dibukanya lemari pakaiannya, dan dibukanya plastik putih yang membungkus empat kuntum bunga mawar yang sudah kering. Kemudian diambilnya kuntum yang paling baru.
“Ternyata kuntum ini adalah kuntum yang terakhir,” bisiknya.
Dan pada saat itulah ia baru melepas tangisnya tanpa didengar orang lain.

GUBUK DERITA

KARYA: Mitra

Gemuruh ombak memecahkan pagi itu seolah sebagai tanda bahwa aktivitas di sungai musi mulai ramai, ya mulai dari lalu lintas hilir mudik mulai dari kendaraan bermotor, mobil, sepeda bahkan ada yang sekedar berjalan kaki, seolah jembatan kebanggaan orang Palembang ini sungguh sangat berarti bagi masyarakat Palembang. Bisa dibayangkan jika satu hari saja jembatan ditutup berapa ribu orang yang akan merasa dirugikan, itu seolah menjadi cerminan begitu berharganya sebuah anugrah.
Pagi itu mang Wahid beraktifitas seperti biasanya lelaki paru baya itu merupakan salah satu dari veteran yang hidupnya sangat memprihatinkan disisa umurnya itu ia masih bekerja untuk sekedar melangsungkan kehidupan dan menyekolahkan cucunya. Mang Wahid memang orang yang begitu tegar setelah dia di tinggal oleh istrinya, dia bagaikan hidup sebatangkara anaknya yang sulung telah lama meninggal dan mempunyai anak 1 sedangkan putranya yang kedua juga tidak bersamanya karena putranya sudah lama mendekam di IP Pakjo Palembang, dikarenakan membunuh seseorang yang telah memeras ayahnya, dia pun meninggalkan anak 1 karena sang ibunya sudah lama menceraikan anaknya karena malu mempunyai suami pembunuh.
“Pempek…pempek…, pempek dek??” teriak mang Wahid menawarkan dagangannya, sesekali ia mengusap air keringat yang mengalir tanpa ia sadari di keningnya.
“pak pempek.”
“Lelaki parubaya itu pun menurunkan dagangannya dilantai.”
“ berapa harganya pak?”
“Rp 500 neng 1.”
“aku beli 4 pak.”
“ini neng…”
“terimah kasih pak.”
“iya neng.”
Begitulah kegiatan setiap harinya yang dilakukan oleh mang Wahid, kalau dipikir-pikir tidak seimbang dengan pengeluaran yang dibutuhkan oleh mang Wahid, karena ia menghidupkan anak cucuknya yang masih bersekolah, kalau bukan mang Wahid siapa lagi yang akan membiayai cucunya itu, karena ibunya telah lama pergi meninggalkan anaknya beserta suaminya karena anak mang Wahid telah membunuh, sehingga istrinya tak sanggup menanggung aib, maka ia meninggalkan anak beserta suaminya.
Matahari pun tanpa disadari telah kembali di ufuk Barat, dan suara adzan mulai bergema menandakan shalat magrib. Walaupun mang Wahid tidak mempunyai harta yang banyak dan serba kekurangan ia tak pernah meninggalkan shalat karena dengan jalan itulah ia mampu menopang kehidupannya. Sehabis selesai shalat ia selalu berdoa semoga anaknya diberikan kekuatan dan kesehatan dalam menempu kehidupannya di sebuah tahanan. Kerap kali ia melihat cucunya yang baru berusia 7 tahun meneteskan air mata, ia tak sanggup melihat cucunya yang serba kekurangan, bahkan sehabis pulang sekolah cucunya harus ikut berdagang bersamanya karena tidak ada yang menemani cucunya kalau ditinggal sendirian. Alangkah malang nasib cucunya.
“Nak kakek berharap kau lekas dewasa, sekolah yang tinggi, dan berakhlak baik.” Gumam kakek yang sambil menatap cucunya dengan belas kasih.
Walaupun kakek hidup dengan kekurangan namun ia tak pernah menyuruh cucunya untuk meminta-minta, mengamen, bahkan mencuri. Kakeknya selalu memberikan nasihat dan pembelajaran buat cucu satu-satunya. Ia tak mau cucunya terjerumus dengan hal-hal yang ia khawatirkan.
“Nak sudah belajar?” tanya mang Wahid pada cucunya.
“Ia kek Bayu sudah belajar dan buat PR.”
“Baguslah kalau gitu itu baru cucu kakek…”
“Ia kek.”
“Nak sudah makan?”
“Belum kek.”
“Kenapa belum makan?”
“Kakek saja belum makan?, dan Bayu lihat nasi di meja cuma sedikit dan lauknya pun sudah hampir basi.”
“Ya sudah kakek panasin dulu, yuk ikut kakek ke dapur.”
Mang Wahid beserta cucunya sibuk di dapur memanasi lauk untuk makan bersama.
“Makanlah nak?” ujar mang Wahid pada cucunya, karena nasinya hanya sedikit dan dikaleng tak ada beras lagi maka mang wahid menyuruh cucunya untuk makan terlebih dahulu.
“Loh kok kakek nyuruh Bayu makan sendiri, kita makan sama-sama saja.” Ujar cucu mang wahid yang masih polos belum tahu apa-apa.
“Ya sudah kakek suap bayu ya.”
“Ia kek.”
Begitulah aktivitas setiap harinya menjelang malam, setiap hari kakek memikirkan kelangsungan hidup cucunya supaya bisa makan dan bersekolah, di gubuk yang tua ini menjadi saksi betapa hancurnya hati kakek yang tua renta itu di sela-sela umurnya. Betapa tidak diumurnya yang telah tua ia menyisahkan kehidupan untuk cucunya, dan berpikir sendirian untuk melangsungkan kehidupan mereka berdua. Pada suatu ketika ia teringat perihal yang sangat menyedikan, ya perihal anaknya yang sekarang mendekam ditahanan, sungguh begitu banyak masalah yang dihadapi kakek parubaya itu peristiwa yang paling memiluhkan dalam hidupnya adalah ketika anak yang begitu disayanginya masuk penjara dikarenakan membela dirinya, sebenarnya anaknya tidaklah salah karena anak mana yang tega melihat orang tuanya diperas orang lain. Peristiwa kelabu itu berawal dari masalah yang sangat sepele, siang itu kakek parubaya itu menjajahkan dagangan pempeknya ke setiap orang tanpa diketahuinya dan sungguh diluar dugaannya ada penertipan pedagang yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja atau lebih dikenal dengan Sat Pol PP, naasnya polisi yang tidak berkeprimanusiaan itu sungguh tidak mempunyai sopan santun dan moral tanpa memandang orang, semua pedagang di bawa ke kantor Sat Pol PP tanpa terkecuali, sampai dikantor semua pedagang diperas dengan alasan denda, padahal uang pedagang tidak sampai dengan jumlah yang telah ditentukan, akhirnya lelaki parubaya itu menghubungi anaknya yang memang pulang dari kerja dalam keadaan yang sangat letih, dia sangat terkejut ketika mendengar ayahnya diperas Sat Pol PP ayahnya diancam masuk penjara jika tidak membayar denda. Ketika ia mendengar itu telinganya mendidih tanpa berpikir panjang lagi dia membunuh orang yang memeras tersebut ketika orang itu pulang kerja, dia pun khilaf telah melakukan hal yang seharusnya tidak ia lakukan.
Krek..krek….krek…suara pintu kamar yang dibuka oleh cucunya membangunkan lamunannya….
“Kek kok belum tidur?” ujar cucunya.
“Kakek kangen dengan ayahmu.”
“Sama kek Bayu juga.”
“Kapan kek Bayu bertemu dengan ayah?”
“Ia nanti ya nak.”
“Sekarang kita tidur dan besok Bayu mau sekolah nanti terlambat.”
Kakek dan cucunya pun masuk ke kamar dan tidur dengan begitu pulas. Suara ayam membagunkan sang kakek dan lalu mengambil air wudhu karena waktunya sahalat subuh.
“Bayu bangun nak.” Ujar kakek membagunkan bayu untuk shalat bersama-sama.
“Ia kek, da pagi ya kek?”
“Ia bangun ayo.”
Kakek dan Bayu shalat subuh bersama-sama diruang tengah, dan kakek membeli roti untuk cucunya agar bisa sarapan.
“Nak sarapan dulu, kakek sudah siapkan teh dan roti.”
“Kek rotinya kita makan berdua ya, kan kakek cuma beli satu, jadi kita makan sama-sama.”
“Ya sudah.”
Kakek beserta cucunya mulai berangkat mengantarkan cucunya kesekolah lalu sang kakek menjual dagangannya.
Ya tak ada lagi kegiatan selain kegiatan ini, hanya hal inilah yang dapat kakek tua itu lakukan, kakek parubaya itu hanya berharap semoga anaknya cepat keluar dari penjara, dan melihat anaknya. Ya begitulah keluarga mang Wahid dengan berbagai macam masalah tapi sang kakek tak mau kalah dengan nasib, ia yakin hidup harus dikendalikan oleh dirinya sendiri, bukan kehidupan yang mengendalikan ia. Maka dari itu walaupun ia susah tak tanpak olehnya raut wajah yang pasrah, malah semangat yang menyertai langkah kakinya untuk mencari uang demi kelangsungan hidup mereka.

Menjual Mimpi

KARYA: Mitra

Raja siang mulai memancarkan cahayanya di langit yang berawan, sinar putih yang permai menerangi sejagat alam. Dan burung-burung bertebaran seraya mencari suatu kegiatan biasanya. Pada pagi itu terasa letih seluruh tubuh, seakan-akan pekerja keras banting tulang. Tubuhku terbaring diatas kasur yang empuk sehingga diriku teramat nyaman dalam dekapan bantal, namun pagi itu aku terbangun dengan raut wajah yang heran dan terpaku, ya karena aku merasakan hal yang aneh lagi. Sudah ketiga kalinya aku bermimpi dengan hal yang sama, aku bingung mengartikan sebuah mimpi yang tak jelas maksudnya, sehingga kerap kali aku hanya terdiam mengartikan semuanya.
Tiba-tiba suara bunda membangunkan lamunanku!!!
“Guen…bangun nak sudah pagi, katanya mau ke FLP??.” sapa bunda guen yang pada pagi itu bergegas menyiapkan makanan.
“Iya bunda, ne sudah bangun!!.” Guen bergegas turun dari ranjangnya dan menuju kamar mandi.
Guen anak yang culun mengenakan kacamata tebal, berwatak polos, belum pernah pacaran tetapi guen anak yang baik, apabila ada seseorang yang memerlukan pertolongan maka ia akan membantunya sesuai dengan kemampuannya, selain itu ia sangat sopan, penurut dan seorang wanita yang usianya sudah dewasa tetapi ia tak pernah menjadi seorang wanita modern yang biasa mengenal pergaulan. Ia sesosok wanita yang pendiam dan hanya mempunyai satu sahabat karib dari SMP hingga ia telah selesai kuliah yaitu Sheril.
Guen mendekati bunda dan ayahnya yang berada diruang makan lalu menyapanya.
“Pagi ayah, pagi bunda…!!!.”
“Ayo sarapan dulu, nanti berangkat barengan ayah.”
“Iya bunda.”
Pagi itu guen terasa tidak nafsu makan, tetapi karena bundanya sudah menghidangkannya guen mau tidah mau harus menghargai bundanya. Di benah guen hanya selembar dek-dekan yang tersimpan karena guen dipanggil oleh salah satu pemimpin redaksi FLP yang perihalnya tidak diketahui guen. Dua minggu yang lalu guen mengirim satu karya ilmiah dan satu buah artikel. Tetapi belum ada panggilan dan sekarang baru dipanggil. Akhirnya nasi goreng yang dihidangkan oleh bundanya tidak terasa telah habis, dan akhirnya guen beserta ayahnya berangkat ke tempat tujuan masing-masing.
“Bunda guen berangkat ya.” sambil mencium tangan bundanya.
“Ia hati-hati, ayah jangan ngebut-ngebut.” bundanya pun mengecup kening anaknya.
“Ayah pergi juga ya bun.”
“Ia.” bunda mendekati ayah untuk menyalaminya.
Setiba di FLP Guen mendapat telepon dari sahabat karibnya.
“Assalamualaikum, guen lagi dimana?” tanya Sheril.
“Sher, aku lagi di FLP.” Jawab Guen
“Ooo ngapain disana?.”
“Enggak tau ne, aku dipanggil oleh redaksi FLP.”
“Ya udah kalau gitu, good luck ya guen.”
“Iya sher.”
Guen pun memasuki gedung yang mega itu dan seperti biasa ketika ia gugup pasti kacamatanya turun tanpa disadari dan guen pun membenari kacamatanya. Setiba dipintu masuk guen pun bertanya kepada karyawan yang berada didekat areal tersebut.
“Pagi mbak ruang Bu Rita dimana?”
“Maaf ada keperluan apa anda menemui beliau?”
“Saya dapat telepon dari pemimpin redaksi bawasannya saya disuruh menemui beliau.”
“Oh, anda naik lip lantai tiga lalu belok kekiri disana ruang bu Rita.”
“Terima kasih ya mbak.”
“Ia sama-sama.”
Guen pun tancap gas naik ke lantai tiga, ia berharap karya ilmiah dan artikelnya dapat diterima dengan baik, karena dari kecil ia suka dengan dunia menulis dan membaca, baginya sehari tanpa membaca dan menulis tiada lengkap kehidupannya. Guen bercita-cita menjadi seorang penulis yang handal ia ingin membahagiakan orang tuanya dengan hasil ia sendiri. Dulu waktu di bangku SMP, SMA dan Perguruan Tinggi ia dikucilkan oleh banyak orang, tak ada seorang pun yang mau menjadi teman dekatnya terlebih lagi laki-laki, hanya Sherillah yang menjadi teman Guen hingga sekarang, permasalahannya adalah wajah guen yang kusam, dan penampilannya yang seperti makhluk planet mars ditambah kacamata yang tebalnya tak terkirakan, sebenarnya kesalahan guen hanya satu ia tak dapat menghiasi diri selayaknya anak yang tumbuh dewasa, ia lebih cenderung berpenampilan apa adanya. Tiba-tiba lip menuju lantai tiga pun telah sampai, guen pun melangkah ke ruangan bu Rita.
“Assalamualaikum, permisi apakah saya boleh masuk?” tanya guen yang terasa dek-dekan luar biasa.
“Iya masuk saja.” Jawab bu Rita.
Guen pun melangkah dengan hati-hati kerana ia memakai sepatu khaik kill, dan bu Rita mempersilahkan guen untuk duduk dihadapannya. Bu Rita langsung to do point mengenai panggilan terhadap guen.
“Nama kamu siapa?” tanya bu Rita pada guen sambil membaca seberkas karya guen.
“Guen bu.” Ujar guen dengan nada yang gemetar.
Melihat Guen yang tampak gemetar bu Rita mempersilahkan guen untuk minum segelas air putih yang telah disediakan OB.
“Santai aja jangan terlalu kaku, ini pertemuan biasa kok, dan saya enggak makan kamu.” Ujar bu Rita pada guen yang pada saat itu sudah melihat cara penampilan guen.
“Ia bu maaf.” Jawab guen yang berusaha untuk PD menghadapi pertanyaan demi pertanyaan dari bu Rita.
“Okey, saya memanggil kamu karena saya tertarik dengan hasil karya kamu, apakah sebelumnya kamu pernah bekerja disuatu bidang jurnalistik?” tanya bu Rita.
“Saya tidak pernah bekerja di suatu bidang jurnalistik, tetapi saya sering mengirim karya saya dibeberapa media.”
“Okey kalau gitu, tolong buatkan saya satu artikel dan berikan kepada saya, saya tunggu tanggal 10 Juni pukul 11 di ruangan saya.”
“Iya bu.”
Guen pun keluar dari ruangan itu dengan raut wajah yang begitu legah, ia mulai berpikir harus mengangkat permasalahan apa yang akan dibahas. Ia keluar dari gedung itu dan menunggu bus untuk ke rumah Sheril sahabat karibnya. Akhirnya Guen pun sampai juga di rumah Sheril, setiba disana ia menceritakan kepada Sheril tujuannya ke FLP. Mendengar semua cerita dari Guen Sheril sangat mendukung bakat yang dimiliki oleh Guen, dan rencananya Sheril akan bantu Guen dalam memilih masalah artikel. Mereka berdua memang sahabat karib, tak pernah Guen dan Sheril merasakan kesendirian karena ketika salah satu diantara mereka ada yang sedih maka salah satunya akan menghibur dan membantu.
Keesokan paginya Guen mulai mengerjakan artikel tersebut dan dalam waktu tiga hari guen menyelesaikan artikelnya. Besok Guen akan ke FLP untuk mengantarkan artikelnya kepada bu Rita, semalaman Guen berdoa semoga bu Rita tertarik dengan karyanya ini. Dan keesokan paginya Guen diantar oleh Sheril menuju FLP, Sheril tak dapat menemani Guen karena Sheril bekerja sebagai guru honor disalah satu Sekolah Dasar. Sheril hanya berdoa semoga temannya ini mendapatkan yang ia inginkan.
Setiba di ruangan bu Rita, Guen tampak dek-dekan lagi dan yang ini begitu kencang, Guen berdoa semoga dek-dekannya ini hilang dan berubah menjadi ketenangan dan kepercayaan diri. Bu Rita pun cukup lama membaca artikel dari Guen dan ada beberapa pertanyaan yang diajukan bu Rita pada Guen, dan akhirnya bu Rita pun sangat tertarik dengan artikel Guen, sehingga pada saat itulah Guen ditawar untuk menjadi salah satu karyawan dalam pembuatan artikel pada majalah remaja. Selain Guen bekerja sebagai guru privat di dekat rumahnya, ia juga sekarang bekerja sebagai salah satu pengasuh gesit dalam sebuah majalah remaja.
Pada suatu ketika Guen mendapat kesulitan untuk membuat suatu artikel yang bernuansa pergaulan di Kampus, karena ia tidak mengetahui dunia pergaulan yang sebenarnya bagi anak remaja, karena selama di jenjang pendidikan ia tak pernah merasakan dunia pergaulan bersama teman-teman maupun dengan kekasih. Hingga pada akhirnya ada masukan dari mitra kerjanya untuk memberikan usul.
“Guen kamu jangan terlampau memikirkan hal ini, aku yakin kok kamu bisa mengatasinya, kamu kan cerdas?.” Ujar teman mitra kerjanya yang berprofesi sebagai pembuatan artikel.
“Tumben kamu baik sama aku, biasanya kalau aku ada kesulitan mana mau kamu bantu aku.” Ujar guen yang heran pada teman mitra kerjanya yang bernama Rico.
“Ya aku enggak sejahat itu kali!!!” jawab Rico pada Guen dengan terbata-bata.
“Jadi gimana dong, aku sama sekali enggak tau tentang dunia pergaulan remaja, enggak mungkin aku buat tanpa riset yang meyakinkan, aku mau nulis apanya??” dengan raut bingung Guen sambil berpikir, dan tiba-tiba.
“Guen, aku punya ide?”
“Ide apa??”
“Kamu perpura-pura menjadi mahasiswa baru saja di suatu Universitas??”
“Gila kamu.”
“Ya kamu masuk di semester satu aja mereka kan belum saling kenal, ya selama sebulan kamu berpura-pura menjadi mahasiswa di sana, setelah satu bulan kamu get out dari kelas itu, gimana??”
“Enggak ada cara lain apa??”
“Ya…ide aku cuma itu!!!”
Guen pun terdiam memikirkan ide dari Rico, karena terasa sulit baginya melakukan hal itu, terlebih lagi melihat penampilannya yang begitu aneh, mana mau orang jadi temannya. Ia pun pusing memikirkan hal itu semalam ia memikirkan jalan keluar untuk memecahkan masalah ini. Dan akhirnya ia berunding dengan Rico dan bu Rita dan dalam hal ini bu Rita menyetujui ide dari Rico tetapi dengan catatan jangan terlalu lama di universitas tersebut, dan akhirnya Guen memikirkan langkah apa untuk mendekati mereka sehingga mau berteman dengan Guen, dan terlebih lagi membuat permasalahan diartikel menjadi dua variebel selain permasalahan didunia pergaulan permasalahan pada kekasih.
Ia mengeluh pada Rico langkah apa supaya teman-teman sekelasnya mau berteman dengan dirinya, karena pengalaman ia selama di jenjang pendidikan ia tak pernah mempunyai banyak teman karena faktor keuangan, penampilan dan gaya keanak kecilan, sehingga ia dikucilkan padahal Guen anak yang cerdas dan pintar. Kemudian Rico memberi masukan untuk mengubah cara penampilannya, namun Guen bingung berubah penampilan yang bagaimana, sehingga ia menceritakan pada Sheril cara mengubah penampilan, dan Sheril pun membantu Guen dalam merubah penampilannya sehingga ia teramat cantik, anggun, dan bukan lagi si jelek berwajah monster, namun berubah menjadi si cantik berparas anggun, sehingga Guen begitu bersemangat dalam melakukan tugasnya, dan Rico pun kaget melihat Guen yang cantik berbinar-binar, rasanya ia tak percaya kalau Guen bakal berubah menjadi cantik seperti ini, dulu ia juga sempat menjauh karena penampilan Guen, karena merasa kasihan akhirnya Rico mencoba untuk menjadi teman Guen dalam mitra kerjanya. Hari itu pertama Guen masuk kelas, Guen merasa sangat senang karena selama ia duduk di kelas itu ia banyak mendapatkan perhatian dari teman-temannya terlebih Guen cantik, baik dan tidak sombong yang menyebabkan mereka senang bergaul dengan guen, di kelas guen menjadi bintang, termasuk salah satu dosen ada yang mengagumi guen karena sikapnya yang rajin dan cerdas dalam memecahkan masalah. Padahal Guen tidak pernah merasakan kenyaman duduk di jenjang pendidikan selama ini, tapi sekarang guen mempunyai banyak teman, selain itu banyak juga lelaki yang mencintainya. Namun tak terlitas dipikirannya untuk mencari pacar selama berstatus mahasiswa, karena guen tahu tugasnya disini untuk membuat suatu artikel yang menarik. Teman-teman sekelas guen tidak ada yang mengetahui identitas guen yang sebagai jurnalis, maka lancar pula guen dalam menjalankan tugasnya, sehingga tidak terasa sudah hampir 1 bulan guen berada dikelas itu, tapi tiba-tiba ada suatu masalah yang menerpa guen ketika di detik-detik terakhir guen untuk keluar dari kampus tersebut, permasalahannya seorang mahasiswa sangat membenci Guen karena dimatanya guen sesosok wanita yang sok cantik, dan over minta perhatian, sehingga ada salah satu temannya yang membuat gosip bahwa guen pacaran dengan seorang dosen, dan pernah jalan berdua dengan mesra, mendengar itu guen terkejut padahal dosen itu sudah dianggap oleh guen kayak kakaknya sendiri.
“Hei, kamu jahat banget seh, bilang dengan semua orang kalau aku pacaran dengan salah satu dosen dikampus ini.” Labrak guen pada temannya yang membuat gossip tersebut.
“emang ia kan, kamu punya hubungan dengan dosen itu?” cetus Lusi yang membenci Guen.
“hei jangan sembarangan ya, aku akan buktikan kalau omongan kamu itu enggak ada benarnya.”
Guen tanpa gregetan dengan perempuan itu, hampir saja guen ingin menampar Lusy, tapi untung Guen bukan tipikal wanita yang suka menjelakkan dirinya sendiri, hingga pada akhirnya guen berusaha mencari kebenaran dan ia menyakinkan pada teman-temannya bahwa ia tidak ada hubungan apa-apa dengan dosen itu.
“teman-teman percayalah padaku, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan dosen tersebut, memang aku dekat dengan dosen itu, tapi aku mengagap dosen tersebut kayak kakakku sendiri, kalau kalian tidak percaya kalian boleh bertanya pada dosen tersebut, beliau mengagap aku sama seperti kalian, yaitu mahasiswa.”
Guen berusaha meyakinkan seluruh teman-temannya, dan pada akhirnya guen dipercayai oleh teman-temannya, bahwa itu semua gosip seh Lusy yang memang pada dasarnya bersikap jelek pada semua orang yang tidak dia sukai. Sekarang semuanya sudah jelas dan kembali seperti semula, 2 hari lagi Guen akan meninggalkan kampus tersebut karena tugasnya telah selesai ia lakukan. Dari sini Guen banyak mendapat kenangan terindah yang tak pernah ia dapatkan selama di jenjang pendidikan dan dari sini pula ia banyak disukai oleh laki-laki karena sikapnya yang baik, anggun, sopan dan pemberani.
“Rico, besok terakhir aku masuk dikelas itu, rasanya aku pengen kuliah lagi kayak dulu!!!”
“hei kamu ngaur ya, inget tugas kita da selesai, kamu hanya berpura-pura jadi mahasiswa, dan besok hari terakhir kamu menentukan ending artikelnya.” Rico tanpa cemburu dengan teman-teman Guen di kampus, sebenarnya Rico diam-diam mencintai Guen, tapi Guen tanpaknya tak mencitai Rico, karena itu setiap ada lelaki yang ingin PDKT dengan guen ia siap siaga menjaga guen dari jauh.
Keesokkannya guen menemui bu Rita untuk menunjukkan artikel yang dibuatnya selama sebulan ini, di rungan beliau bu Rita banyak sekali bertanya pada guen tentang pengalamannya di kampus tersebut, setelah itu baru bu Rita menilai hasil artikel guen dan ternyata artikel yang dibuat guen menarik tapi bu Rita berkata
“Guen artikel ini ada sesuatu permasalahan remaja yang tidak kamu buat, yaitu tentang kisah cinta ala remaja saat ini.”
Guen pun gugup untuk menjawab pertanyaan bu Rita karena ia tak tahu harus membuat kisah cinta yang bagaimana.
“eeeee anu bu Guen hanya menceritakan dunia pergaulannya dan kalau soal itu tidak guen gubris lebih jauh.”
“kalau kamu membuat artikel ini dengan semua pernasalahan yang biasa ditemui oleh remaja, pasti akan lebih menarik lagi.”
“jadi bagaimana bu?”
“okey saya terima ini tapi saya belum begitu puas dengan hasil kamu, saya harap selanjutnya bisa kamu pikirkan permasalahan yang lebih menarik lagi.”
“ia bu.”
“kalau begitu saya permisi.”
Guen pun tetap berpenampilan gaya sekarang dan ia lebih senang dengan perubahan ini, secara tidak sadar banyak yang perubahan yang terjadi pada dirinya, ia lebih dihargai orang karena penampilannya yang lebih baik dari sebelumnya, dan banyak yang mau berteman dengan dirinya. Bukan itu saja sekarang ia lebih bersyukur lagi karena telah bekerja sebagai karyawan disalah satu majalah remaja terkemuka. Akhirnya impiannya mengantarkan ia lebih baik lagi dari sebelumnya, bahkan ia sedang merintis suatu novel yang digarapnya dari pengalamannya.

MEREKA ANAK BANGSA

Jalanku…kehidupanku…
Menuju kesuksesan impian
Cari-mencari, temu-menemukan
Serta, dapat-mendapatkan

Namun, apa yang ku cari
Tak jua ku temukan
Dan tak jua ku dapatkan
Aku ingin bebas
Menyambut impian yang terpuruk!!!
Diam dalam ketertinggalan
Aku ingin menuju pendidikanku yang maju.

Putih merah…
Awalnya mengenal pendidikan
Baca tulis sedikit hal yang diperoleh wajah lugu
Yang masih jelas terlihat
Saat itu masih kurasakan kemajuanmu…

Putih biru…
Tahap lanjut mencari sekeping pengetahuan
Telah mengenal arti kemerosotan
bangsa pendidikan perlahan hilang
karena yang diutamakan hanyalah perut dan uang.
Putih abu-abu
Layaknya yang harus di tuju
Jangankan ilmu
Badan pun rasanya sudah mati!!!
Pikirkanlah nasib mereka
Pikirkan apa kebodohan akan terus meramai???
Dan pikirkan pendidikan yang dibarangi belas kasihan.

Tak sejentikkah engkau tergugah???
Sembilan tahun minimal
mereka memperoleh pendidikan
bila saja mereka bisa
kemana jalannya pengetahuan???
Apakah kita tidak membutuhkan pengganti???
Mereka kelak berkarya…
Mereka kelak yang akan mengangkat nama Negara
Dan mereka anak bangsa kita.

(Karya: Mitra)

DALAM DIAM

Dalam diam…
Tak selalu sunyi yang menyertai
Tak selalu memiliki arti
Tak selalu membisu
Tak selalu mati.

Dalam memberikan kesempatan
Bagi selain tubuh untuk bicara
Lebih terdengar dari biasanya
Lebih memiliki arti yang mendalam
Lebih hidup…
Lebih bermakna…

Dalam mengasah indera
Untuk semakin peka
Pada tempat
Pada saat kita ada
Pada angin dengan keikhlasan geraknya
Dengan matahari
Dengan hamasah sinarnya
Pada bulan dengan jiddiyahnya
Pada jangkrik yang tak pernah lelah
Mengumandangkan dzikir dan tasbihnya.

Ketika diam menyelimutiku
Aku semakin terhenyak…
Ya…terhenyak akan keadaanku
Akankah diam yang kumiliki benar-benar memiliki arti???
Akankah diam yang kumiliki
Akan merubah keadaanku menjadi lebih baik???
Aku tak tau.

Tapi ku rasa aku tau
Diam yang kumiliki
Sedikit demi sedikit mulai merubah keadaanku
Karena ku tau dalam diamku
Hati, jiwa, dan perasaanku mulai berbicara
Akan hal kebenaran yang sesungguhnya
Kini aku pun mulai bisa tersenyum.

Ya…robbi…
Ya…Tuhanku…
Berikanlah aku sepuluh, seratus, seribu…
Bahkan sejuta diam
Diam yang akan membuatmu tersenyum indah
Kepadaku…
Kini aku tau
Ternyata diam…
Adalah peluang
Untuk berkaca kepada cermin kehidupan.

(Karya: Mitra)

TUAN BERDASI

Tawa laki-laki berjas dan berdasi
Berdesak-desak di kafe perjamuan
Membuat janji merencanakan ilusi
Kata-kata manis dilantunkan.

Sibuk menggumbar simpati
Tapi otak penuh dengki
Mulut rakyat disumpal nasi
Iman dan Tuhan lalu lalang
Tahta mahkota yang disembah
Pikiran liberal tapi kepercayaan diobral.

Tuan berdasi
Zaman reformasi
Ooo, emansipasi aku terlindas demokrasi.

Hutang luar negeri katanya
Antek-antek korupsi ikut saksi
Krisis multidimensi sebagai juri
Basmi diketukkan palu si hakim.




Ooo, pemilu
Gencar mencari kursi
Lupa akan amanat
Tuan berdasi minggat.

Mencari tuan berdasi susah setengah mati
Kemarin demontrasi
Hak asasi
Sekarang ditahan polisi
Tertembak peluruh timah
Ehhh, ada konferensi.

Orang cilik diberi uang logam, diam!!!
Orang cilik diberi BBM gratis, bungkam!!!
Si petinggi jangan heboh aksi
Buat rakyat tabah melarat.

Karya: Mitra

AKHLAQUL QARIMAH

Ada sesuatu yang rasanya mulai datang
Dan meluncur lewat detik-detik waktu
Ada sesuatu yang mulanya
Tak begitu jelas
Tapi kini, kita mulai merindukannya.

Kita saksikan datangnya bulan ramadhan
Kita saksikan muslimin dan muslima
Berlomba-lomba untuk mengambil sebuah pahala
Tapi, diantara muslimin dan muslima bertakwa
Ada salah satunya yang mendurhakai Allah.

Bulan yang semestinya kita isi bertakwa
Tapi engkau tak mematuhi semua perintah-Nya
Astaufirullah Al’azim……………
Astaufirullah Al’azim……………
Astaufirullah Al’azim……………

Sebelum waktumu tiba
Sebelum zaman pula memihak
Cepatlah, engkau merunduk hati
Bersujud di hadapan-Nya.


Keluar sekuncup doa
Yang harus engkau ucapkan
“Ampunilah dosaku ya Allah”
Untuk menghabisi bulan ramadhan
Dengan budi Akhlaqul Qarimah.

Karya: Mitra

BIDADARI SURGA

Nama : Mitra Erchandra
Nim : 2007112026



Semilir angin musim semi memancarkan keindahan di salah satu sudut kamarku. Di sekitar taman-taman dan tunas pepohonan tersinari cahaya matahari berwarna keemasan. Angin yang sejuk, burung-burung bernyanyi, serta kilauan sinarnya membuat diriku semakin bersemangat menapakkan kakiku di universitas yang baru. Aku adalah mahasiswa baru di universitas ini, dan hari ini adalah hari pertamaku menginjak kampus.
Aku duduk di semester 1. A dan betapa senangnya ketika diriku menjadi seorang pemimpin kelas, walaupun pemimpin mempunyai amanat yang begitu besar, tapi aku berusaha menjadi seorang pemimpin yang baik dalam kelas ini. Hingga pada akhirnya aku telah mengenal semua teman-temanku sekelas yang wataknya berbeda-beda. Selama semester ini aku ingin menjadi mahasiswa yang modern tetapi tetap bertakwa. Selama aku mengikuti organisasi aku mempunyai 2 orang teman yang sangat akrab yaitu Benny dan Ferry kami bertiga mempunyai karakter yang berbeda tetapi mempunyai motivasi yang sama yaitu ingin menjadi manusia yang berakhlak baik di mata Allah dan sesama manusia.
“ Bintang, besok kita rapat pemilihan penggurus organisasi 2008-2009!”. Ujar Benny pada bintang yang sedang duduk di Musholah.
“Iya, tolong kabarin teman-teman yang lain ya,!”. Jawab Bintang.
“Iya Bin”. Ujar Benny yang sedang bercakap bersama rekan-rekan organisasinya.
Semester 1 dan 2 tidak ada seseorang yang mengisi hari-hari Bintang, seperti Mahasiswa pada umumnya yang mempunyai seorang pacar. Bintang hanya sibuk dengan organisasi dan pekerjaannya sebagai guru privat. Bintang termasuk seorang laki-laki yang tidak begitu mengedepankan sesosok wanita yang ingin dijadikan pacar, malahan sebaliknya semua teman perempuan dijadikan teman.
Hingga pada penerimaan mahasiswa baru, banyak mahasiswa yang berbondong-bondong untuk mendaftar di Universitas ini. Dan tidak disangkah-sangkah tahun ini adalah tahun di mana bintang mulai merasakan rasa cinta yang tak pernah ia duga.
Bintang berjumpa dengan seorang adik tingkatnya yang satu jurusan dengan dirinya. Awalnya Bintang hanya menganggap adik tingkat saja, tapi lama kelamaam timbul rasa sayang untuk memilikinya.
“Selamat pagi kak!!”. Sapa Linda adik tingkat Bintang yang tengah berpapasan dengan Bintang.
“Pagi juga dek!!”. Sapa Bintang kepada Linda.
Bintang pun berjalan memasuki ruangannya dan meninggalkan Linda.
Bintang seorang laki-laki yang memimpikan seorang bidadari surga, di mana bidadari itu akan dijadikannya penghuni surga dalam hidupnya. Tapi tak semudah yang di inginkan, Bintang seorang laki-laki yang tak mudah untuk jatuh cinta pada keadaan fisik. Wanita berkerudung adalah seorang cerminan wanita yang ia cari. Hingga pada suatu hari perasaan itu semakin besar ketika mereka mempunyai kesempatan untuk bersama.
Linda ingin menghubungi Bintang tetapi ia malu karena terlampau sering meminta bantuan pada Bintang untuk mengajarinya pelajaran yang tidak dimegerti, padahal Bintang dengan senang hati menolong Linda. Dan akhirnya Linda pun terpaksa untuk menelpon Bintang agar besok bisa berjumpa di perpustakaan untuk belajar.
“Assalamualaikum, malam kak Bintang , maaf telah menganggu. Besok kakak kuliah tidak??”. Tanya Linda di dalam telepon.
“Ia dek besok kakak kuliah, ada apa??”. Jawab Bintang.
“Kalau kakak tidak keberatan, besok Linda mau berdiskusi pada kakak mengenai materi yang belum Linda mengerti??”. Ujar Linda dengan nada sedikit malu.
“Ohh gitu, iya kakak bisa, tapi habis kuliah saja atau ba’dah Dzuhur, bagaimana?”
“Tidak apa-apa kak, kita bertemu di perpustakaan saja ya kak”.
“Iya.”. jawab Bintang dengan singkat.
Jauh di lubuk hati yang paling dalam Linda sangat mencintai Bintang tetapi Linda sadar bahwa Bintang hanya menganggap Linda sebagai seorang adik tingkat. Walaupun telah berulang kali Linda mengubur perasaannya, tetap saja perasaan itu selalu hadir, hingga meneteskan air mata.
“Ya Allah jika perasaan ini hanya untuk sesaat maka hilangkanlah dan rubahlah perasaan ini menjadi rasa teman. Apabila dia dipertemukan denganku untuk selalu bersama maka dekatkanlah batin kami”. Gumam Linda dalam hati ketika selesai shalat.
Tetapi doa Linda belum juga diperkenankan oleh Yang Maha Kuasa, karena Linda belum mengetahui isi hati Bintang karena selama berjumpa tak ada tanda-tanda Bintang memberikan sinyal cinta. Akhirnya pupuslah rasa cinta Linda, dan berhentilah seketika.
“Aku akan menghapus namamu jauh-jauh dari hatiku, karena aku tak ingin memperbesar luka di hati, ku ikhlaskan dirimu dengan siapa pun nanti”. Ucap Linda menitihkan air mata.
Seiring luka di hati Linda yang belum sembuh, ternyata diam-diam ada yang menyukai Linda yaitu kakak tingkat Linda, walau begitu, tetap saja Linda tak menyukainya. Semenjak perkataan yang Linda ucapkan untuk membuang jauh-jauh rasa cintanya, Linda tak pernah lagi berjumpa atau menghubungi Bintang.
Karena merasa ada sesuatu yang berbeda, akhirnya Bintang menghubungi Linda untuk menanyakan kabar.
“Assalamualaikum, maaf telah menganggu adik, adik apa kabarnya??”. Tanya Bintang.
“Waalaikum salam, baik kak, ada apa kakak menghubungi Linda??”. Tanya balik oleh Linda.
“Tidak ada apa-apa cuma ingin menanyakan kabar, bagaimana kuliah adik??”.
“Ohh lancar-lancar saja kak”.
“Alhamdulillah kalau begitu, ya sudah adik belajarlah, maaf sekali lagi menganggu wassalamualaikum!!”.
Bintang tau kalau ada yang menyukai Linda, Bintang sedikit takut untuk kehilangan Linda tetapi ia masih belum yakin kalau ia sedang menyukai seseorang.
“Kenapa hatiku gelisah, ketika aku melihat Linda bersama dengan seseorang laki-laki, yang orangnya aku kenal??”. Tanya Bintang dalam hati.
Sambil duduk menghadap komputer, Bintang terus bertanya-tanya, karena selama ini ia tak mudah untuk jatuh cinta terlebih lagi ia tak pernah merasakan yang namanya pacaran. Bintang hanya berkhayal seorang Bidadari yang akan mengisi hidupnya kelak. Bidadari yang salehah, cerdas dan berakhlak mulia.
Akhirnya suara adzan membangunkan lamunannya, dan waktu shalat isha. Bintang pun mengambil udhu untuk shalat di masjid karena kalau tak ada kerjaan ia selalu shalat dimasjid dan kebetulan jarak masjid dari rumahnya tidak begitu jauh. Setelah selesai shalat Bintang mengenadahkan kedua tangannya seraya memohon petunjuk kepada Allah.
“Ya Allah, di mataMu hamba ini terasa tak berdaya, di hadapanMu hamba ini terasa kecil, hanya kekuatanMulah yang mampu membuat segalanya begitu bermakna. Ya Allah, Engkau pasti tau rasa gundah apa yang tengah melandaku, aku tak ingin mengartikan sebuah cinta hanya untuk sesaat. Tolonglah hambaMu ya Allah berikan yang terbaik buat diriku, dan tunjukkan bahwa ia pantas untuk dijadikan bidadari surga”. Pinta ku dengan setulus hati.
Dengan mengadu kepada Allah atas kebimbangan yang menerpahku, terasa nyaman dalam batin untuk mengungkapkan semua rasa yang ada. Akhirnya aku tertidur sehabis pulang dari masjid, aku bermimpi seorang wanita penghuni surga yang begitu cantik tanpa dihiasi sesuatu yang melekat di wajah dan tubuhnya, seraya berkata “Cinta sejati akan terasa, bila telah dijalani dengan terpaan badai dan goncangan, dan ketika itu kita mampu menghadapinya”.
Pagi-pagi diriku masih memikirkan perkataan wanita itu, dan berusaha mencari arti dibalik kata yang ia ucapkan. Seharian diriku masih memikirkan perkataan itu, dengan cermat dan teliti ku tanya hati ku sendiri, dan berulang kali aku bertanya hingga aku mendapatkan jawabannya. Setelah ku dapat jawabannya, aku menemui Linda untuk membicarakan sesuatu.
“Siang dik!!! Maaf telah menganggu adik, bisa tidak kita bertemu ba’dah Dzuhur di perpustakaan??”. Tanya Bintang.
Melihat gerak-gerik Bintang yang aneh, Linda pun bertanya-tanya dalam hati.
“Ada apa kak Bintang kayak gelisah gitu??”.
“Ooh iya kak bisa”. Jawab Linda.
“Terima kasih ya”.
Suara adzan dzuhur terdengar di telinga setiap ingsan, dan menandakan segeralah shalat dzuhur di masjid terdekat. Bintang pun mengambil udhu bersama rekan-rekan organisasinya, dan shalat berjamaah begitu juga Linda.
Setelah selesai shalat Bintang dan Linda menuju perpustakaan di mana tempat mereka biasa bertemu. Mereka pun duduk seperti selayaknya teman biasa, dan Bintang binggung harus memulai dari mana.
“Ada apa kak, kok diam gitu??’. Tanya Linda.
“Eeeemmm kakak cuma mau tanya, apakah adik sudah mempunyai pacar??”.
“Kok kakak tanya begitu?? Bukankah kakak sudah tau bahwa Linda dari SMA kelas 3 tidak berpacaran sama siapa pun??”. Jawab Linda dengan tegas.
“Iya kakak tau, tapi kemarin kayaknya lagi deket dengan seseorang??”.
“Ooh kakak tingkat itu, biasa saja kak hanya teman”.
Suasana yang sunyi membuat Bintang semakin binggung untuk memulai dari mana.
“Dik, kakak tidak tau perasaan apa yang timbul sekarang ini terhadap adik, yang jelas kakak menyayangi adik seperti kakak menyayangi diri kakak”. Ujar Bintang pada Linda.
Mendengar pernyataan dari Bintang, Linda terkejut dan tak menyangkah Bintang akan mengatakan hal yang tak pernah ia bayangkan, Linda hanya bisa terdiam.
“Dik, kok adik diam tanpa kata sepatah pun. Maaf sebelumnya tidak bermaksud untuk bermain-main, hanya berusaha jujur”. Ujar Bintang sedikit malu.
“Tidak apa-apa kak, Linda malahan senang karena kakak telah berusaha jujur”. Jawab Linda dengan lega karena selama ini penantiannya tidak sia-sia walaupun tidak ada yang tau dengan jelas mengenai perasaannya.
“Kakak tidak meminta adik untuk menjawabnya, kakak hanya ingin adik tau dan kakak tidak main-main mengenai hal ini. Kakak berharap adik adalah wanita yang selama ini kakak cari untuk yang pertama hingga yang terkahir, jika adik berkeberatan adik jujur saja jangan membohongi sesuatu yang pada akhirnya akan menyiksa dirimu sendiri”. Ujar Bintang pada Linda untuk meyakinkan arti cinta yang dimiliki Bintang.
Akhirnya mereka selalu bersama-sama dalam suka maupun duka, seraya berta’aruf untuk mengetahui karakter masing-masing, dan mereka berjanji pada diri sendiri, untuk mengartikan cinta sebagai cinta yang bersemi dalam hati yang tulus dengan izin Allah.

TERSAYAT

Nama : Mitra Erchandra
Nim : 200711202



Saat mataku masih bisa melihat
Saat telingaku masih bisa mendengar
Saat lidahku masih bisa mengucap
Saat belaian hangatmu masih bisaku rasakan
Saat bayang wajahmu yang suci selalu menemaniku
Bagiku awan ini tak akan pernah menangis
Bagiku sinar tawa ini tak akan pernah redup

Penggalan puisi ini ku buat saat aku masih berusia 8 tahun, saat hari ibu tapi tak sempat aku selesaikan sampai sekarang, ya hingga aku berusia 21 tahun sekarang. Bagiku puisi ini hanya akan membuka luka lama yang menyayat hati.
“Gabby…!”. Panggil Ariel, kakakku.
Dengan hati bertanya-tanya kuletakkan lemabaran kertas puisi tersebut ke atas meja belajar di kamarku dan segera menuju ruang keluarga menemui kak Ariel.
“Ada apa sih kak, ganggu orang aja!”. Gerutuku seraya menghempaskan tubuh ke sofa. Kak Ariel menyodorkan selembar kertas kepadaku, kuambil juga kertas itu dengan ketidak mengertian.
“Bacalah !”. ujar kak Ariel, wajah kak Ariel serius sekali, kuteliti kertas itu kata demi kata hingga kalimat yang terakhirnya.
“Apa ini kak? Aku tak mengerti?”. Kutatap dalam wajah kak Ariel. Ia mengerutkan dahinya, tampaknya ia tak puas dengan ekspresiku.
“Pikirkanlah, besok aku tanyakan keputusanmu!”. Kak Ariel pergi meninggalkan ku dengan kebimbangan.
Sang mentari tak menampakkan sinarnya lagi, tenggelam bersama senja di upuk barat berganti dengan sang dewi malam. Kepala ku terasa sangat berat dengan ketidak mengertian, sekarang telah larut malam tapi mata ini tetap tak bisa dipejamkan. Haruskah kuturuti apa yang diinginkan kak Ariel? Haruskah kuambil keputusan yang membuat hati ini berontak?. Berjuta pertanyaan menari-nari di rongga kepalaku.
“Bunda..!!”. Ku ucapkan kata itu, tiba-tiba aku merasa ingat kenangan pahit yang selama ini kusimpan telah kembali lagi. Aku tak sadar tiba-tiba air menggalir dari kelopak mataku titik demi titik. Semua orang yang kusayangi pergi dan itu karena aku. Masa depanku tak jelas, itu juga karena kecerobohanku, aku benci diriku sendiri, dan akhirnya aku terkenang dengan suasana yang pahit itu.
Saat itu fajar telah menyongsong, si jago merah mulai berkokoh bersahut-sahutan meramaikan seisi bumi. Sepulang dari pesta ultah Anggie yang ke 17 tahun. Aku memang lebih suka berpesta hura-hura karena itulah aktivitasku yang paling utama, I Love Party, kalau sudah begitu aku pasti lupa segala-galanya. Aku tak akan mendengarkan perkataan orang lain yang penting aku party.
“Gabby dari mana saja kamu? Kami semua cemas apalagi bunda, kamu tau ini sudah jam berapa?, ini sudah jam 02.00 dini hari!”. Tegur kak Mira.
“Apa urusanmu selalu mau tau kemana saja aku pergi”. Jawab Gabby dengan ketus.
“Lihat bunda semalaman tidak tidur karena mencemaskanmu”. Kak Mira kesal.
“Ahhh..bull shit!!!”. Jawabku.
Saat aku benar-benar tak sadar dengan apa yang ku katakan. Aku masih ingat dengan jelas kata-kata terakhirku kepada kak Mira, karena setelah kejadian itu sebuah peristiwa menyakitkan terjadi dan itu semua gara-gara aku. Andai aku tak pergi, maka kak Mira tak perlu mencariku dan kecelakaan itu tak mungkin akan terjadi. Tapi kini kak Mira hanya kenangan bagi kami semua. Setelah peristiwa itu, aku sempat sadar akan segala perbuatan buruk yang selama ini ku lakukan. Namun, setelah sebulan pemakaman kak Mira, aku kembali memasuki dunia gemerlap sekaligus hitam itu. Bahkan, lebih parah dari sebelumnya, karena aku mulai mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Aku begitu ketagihan akan barang jahanam itu. Setiap hari aku menghabiskan uang Rp 200.000 hanya untuk membeli barang haram itu, bayangkan, berapa banyak uang yang ku habiskan, bahkan aku sempat membentak bunda karena tidak mau memberi uang lebih lagi. Hingga akhirnya aku Over Dosis (OD). Saat itu aku dan teman-teman sedang pesta ganja dan semuanya terjadi begitu saja. Aku dilarikan ke RSMH dan awal penderitaanku terjadi lagi. Bunda terserang jantung dan diopname karena mendengar kabar kalau aku Over Dosis, saat itu bunda di temukan tergeletak pingsan di samping telepon.
Dengan susah payah aku berjuang melewati masa-masa kritisku demi mempertahankan hidupku yang hampir direnggut malaikat maut. Usahaku membuahkan hasil, akhirnya aku berhasil melewati masa-masa kritis itu. Setelah beberapa hari dirawat , akhirnya aku diperbolehkan pulang oleh dokter. Berselang satu hari setelah itu , aku menerima kabar mengenai bunda dan bagiku kabar itu adalah kabar yang sangat pahit dan menyakitkan. Langit terasa runtuh di atas kepalaku. Bundaku yang sangat ku sayangi harus pergi meninggalkanku menyusul kak Mira. Rasanya dunia begitu kejam, tapi apalah daya ini semua kesalahanku, aku mengulangi kesalahan yang sama.
“Ohhhh..Tuhan, aku merasa benar-benar sendiri di dunia ini. Ayah yang telah lama pergi menghadapmu, kak Mira dan sekarang bundaku”. Rintihan isak tanggis Gabby dan hanya bergumam di dalam hati.
Bunga tidur membuatku terbayang akan kisahku yang pahit, dan tiba-tiba suara ayam berkokok serta suara adzan yang berkumandang membuatku terbangun dari tidur.
Bergegaslah aku mengambil udhu untuk shalat subuh, dan ku lihat kak Ariel telah mengangkat takbir, selesai shalat aku merenungi semua kesalahan yang kulakukan. “Aku tau semua kesalahanku begitu besar tetapi aku yakin Allah adalah Maha Pengampun, dan semenjak kejadian ini aku ingin merubah hidupku menjadi lebih baik lagi, mungkin selama ini aku tak menghiraukan kehidupan dan masa depanku, tetapi kali ini aku menghiasi kehidupanku dengan cahaya putih nan suci. Kak Ariel aku hanya mempunyai dirimu, hanya engkau yang menjadi tempat sadarku”. Ujar Gabby yang seraya menetes air mata yang tak henti-hentinya.
Kak Ariel sesosok kakak yang sangat bertanggungjawab untuk menjaga keluarganya, semenjak kepergian ayah, kak Ariellah yang menjadi penopang hidup bagi keluarga kami, walaupun kak Ariel hanya seorang PNS kak Ariel mampu membiayai kak Mira hingga selesai kuliah, dan aku tamat SMA, sebenarnya kalau aku tidak mensia-siakan kehidupanku mungkin aku akan segera menyelesaikan pendidikanku S1, tetapi karena kenangan pahit ini kehidupanku menjadi suram.
Sang mentari telah menampakkan senyumnya, kicauan burung menyemarakkan bumi menambah sejuk pagi yang indah ini. Saatnya aku menentukan pilihan yang terbaik buat diriku, yaitu menyetujui apa yang dikehendaki oleh kak Ariel untuk pergi ke manara Prancis melanjutkan kuliahku yang telah pupus di tengah jalan.
Gabby mendekati kak Ariel yang tengah asyik membaca koran di halaman belakang, untuk mengatakan bahwa ia setuju untuk melanjutkan kuliah di sana.
“Pagi kak!!”. Sapa Gabby pada kak Ariel.
“Ohh sudah bangun??”. Ucap kak Ariel yang sedikit mengejek Gabby karena selama ini Gabby selalu bangun kesiagan, tapi itu semua hanya bercanda karena ia telah tau bahwa adiknya kini telah berubah.
“Gabby ingin menjawab tawaran kakak kemarin”. Jawab Gabby.
“Jawabanmu apa?”. Tanya kak Ariel.
“Gabby mau melanjutkan kuliah di Prancis, dan benar-benar berubah”. Ujar Gabby.
“Serius kamu mau??”. Ujar kak Ariel.
“Iya kak dengan ikhlas Gabby mau”. Ucap Gabby.
Mendengar jawaban dari Gabby kak Ariel tampak terlihat senang sekali, tak pernah Gabby melihat kak Ariel terseyum lebar seperti ini. Dan Gabby sangat bahagia sekali karena telah membuat kak Ariel tersenyum.
Setelah membereskan semua barang-barangku, dan kurasa tak ada yang tertinggal, lalu kutatap berkali-kali sekeliling kamarku, terasa berat untuk meninggalkannya, tetapi aku harus berbesar hati menerimanya, lagi pula aku akan kembali ke rumah, ini hanya sementara waktu saja. Akhirnya tibalah aku ke Bandara Sukarno Hatta dengan ditemani kak Ariel, sebelum aku memasuki pesawat aku berpelukkan dengan kakak Ariel hingga meneteskan air mata, betapa sayangnya kak Ariel kepadaku hingga untuk dirinya sendiri pun belum dihiraukan. Dengan semangat dalam hati dengan ada tujuan yang kucapai aku akan bisa melewati hidupku di sana dengan baik seperti yang diharapkan oleh keluargaku.

Senin, 21 Juni 2010

KIDUNG CINTA SUNGAI MUSI

Karya: Agus Ardiansyah

Jembatan ampera betengger kokoh, berdiri tegak dengan dua menara yang menjulang tinggi ke langit dan membentang menghubungkan dua daratan bagian hulu dan bagian hilir yang dipisahkan oleh sungai Musi. Jembatan Ampera dan Sungai Musi yang membelah kota Palembang menjadi dua bagian ini menjadi ciri dan kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan. Jembatan yang dihadihkan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia yang diberi nama AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat) itu telah menduduki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat di kota Palembang pada khususnya, karena dengan jembatan ini aktifitas masyarakat di bagian hulu Palembang dapat terhubung dengan masyarakat bagian hilir.
Mentari pagi bersinar sangat terang, menerpa awan-awan dan benembus tingginya benteng Kuto Besak melalui celah-celah dinding benteng yang tinggi. Pagi itu pukul delapan, kesibukan berserta hiruk pikuk aktifitas sudah terlihat di sungai Musi, hilir mudik kapal, ketek, dan sampan sudah menghiasai aliran sungai Musi, ada yang membawa penumpang, ada juga yang membawa barang-barang seperti makanan pokok berupa beras, gula, kelapa, bahkan ada juga kapal tongkang yang mengangkut pasir dan batubara.
Dari jaman kerajaan Sriwijaya sungai Musi telah menjadi urat nadi perdagangan, bahkan sungai Musi menjadi jalur perdagangan internasional yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang dari mancanegara. Bahkan sungai Musi telah mengantarkan kerajaan Sriwijaya di kenal oleh negara-negara luar dimasanya.
Sekarang sungai Musi selain sebagai jalur transportasi juga menjadi objek wisata, rumah rakit yang terapung di atas sungai musi menjadi pemandangan unik bagi wisatawan, rumah makan terapung yang berada di dalam ketek juga menjadi objek wisata kuliner yang menyediakan berbagai penganan khas kota Palembang dan selalu menjadi tujuan wisata para wisatawan yang berkunjung ke kota Palembang.


Disamping sungai Musi, terdapat benteng yang menghadap langsung ke sungai Musi. Benteng peninggalan kolonial Belanda yang dahulu digunakan sebagai pertahanan para penjajah Belanda dari serangan musuh, dan sekarang benteng tersebut bernama Benteng Kuto Besak dan beralih fungsi menjadi perkantoran Kesehatan Daerah Militer kota Palembang.
Dihalaman benteng yang luas dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk bermain, ada anak-anak yang bermain layangan, orang yang sedang memancing, para penjual minuman dan makanan khas Palembang yaitu pempek tak kenal lelah berkeliling menjual dagangannya, bahkan anak-anak yang kurang beruntung mencari nafkah di sini sebagai pengemis, para pengamen yang menjajakan suara sumbang demi mengharapkan sedekah dari para pengunjung, tak pelak jika tidak di beri sedekah para pengemis dan pengamen melontarkan kata-kata kasar bahkan sumpah serapah, hal seperti itu selalu terjadi dan sudah dianggap hal yang wajar bagi penduduk asli Palembang, berbanding terbalik jika bertemu dengan pengunjung yang bukan asli penduduk Palembang, mereka mengatakan bahwa penduduk Palembang bertabiat kasar dan tidak menghormati orang lain. Kejadian-kejadian seperti itu yang membuat pengunjung engan untuk datang ke objek wisata sungai Musi ini.
Pengunjung juga banyak yang mengeluhkan tentang sungai Musi yang menjadi kebanggaan warga Palembang. Penilaian banyak terlontar dari para pengunjung, ada yang berupa pujian ada juga yang berupa cemoohan.

“Sungai Musi sangat bagus, sarat akan sejarah. Tapi sayang ya, kalau siang panas sekali, belum banyak pohon-pohon yang ditanam di tepi sungai musi, padahal itu sangat penting untuk menahan abrasi daratan karena terpaan gelombang dari trasportasi air yang melintas, sungainya sangat kotor, sampah-sampah, minyak yang tumpah dan tanaman eceng gondok hanyut terbawa arus sungai begitu saja, dan satu lagi. Suasananya tidak bersahabat, para pengamen dan pengemis suka memaksa pengunjung untuk memberi uang” komentar Triyana seorang pengunjung yang berasal dari luar kota Palembang.



Hal seperti itu sering sekali terlontar dari mulut para pengunjung objek wisata sungai Musi. Tapi, mau bagaimana lagi bagai jamur di musim hujan. Baru di tertipkan oleh petugas dan diberikan pengarahan bahkan hukuman, tapi tak berapa lama kembali lagi pengemis dan pengamen menjamur di tempat wisata yang seharusnya menjadi tempat yang dapat dinikmati oleh setiap pengunjung tanpa ada ganguan sedikitpun.

“Yah mau kerja dimana, orang minta-minta aja sama orang di sini. Kalau ga dikasih ya kesal aja” bela pengamen jika di tanya oleh petugas ketertiban saat tertangkap oleh petugas keamanan.

Pagi itu aku terus berjalan menyusuri tepi sungai Musi, masih banyak orang-arang yang tidak sadar akan lingkungan. Seolah tanpa rasa berdosa membuang sampah ke aliran sungai Musi dengan sesuka hatinya.
Mataku tertuju ke arah satu rumah rakit yang pintunya terbuka lebar seakan memberi isyarat untuk mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. Dengan langkah ringan aku menuju ke dalam rumah. Rumah rakit yang terbuat dari papan itu hanya di huni oleh seorang kakek, dia duduk di atas kursi ayun.
Ku pandangi atap seng yang karatan dan telah berlobang di sana sini, bendera-bendera parpol berserakan di atas dipan yang terbuat dari besi. Kurasa bendera-bendera itu didapat oleh kakek ini dari pemilu presiden tahun kemarin, karena dianggap tidak ada gunanya lagi, bendera-bendera itu dijadikan selimut untuk tidur si kakek.

“Permisi kek, kakek dengan siapa disini, siapa nama kakek?” tanyaku ingin tahu kepada kakek yang ku perkirakan usianya telah masuk tujuh puluh tahunan.

“Aku sudah tak ingat dengan namaku sendiri, hanya saja setiap aku tidur ada saja yang menggigit kulitku, mungkin itu temanku. Aku rasa mereka ingin bergurau dengan mengigit kulit keriputku agar aku bisa tertawa geli” jawab kakek dengan intonasi yang sangat jelas.


Aku hanya merasa geli, humor tingkat tinggi yang baru saja aku dengar mempengaruhi saraf-saraf sensitifku untuk tertawa. Percuma saja berbicara dengan orang yang kurang waras, pikirku dengan egois.
Sesekali kakek ini menghisap pipa rokoknya dalam-dalam dan menghempuskan asap dari mulutnya ke atas dan berterbangan kesegala arah.

“Sudah lama kakek di sini?” tanyaku lagi.

“Sudah sejak jaman Belanda menjilati kota ini. Dan dulu aku dan teman-temanku berusaha mengusirnya dari sini. Kami sangat tidak suka dengan kekuasaannya yang sewenang-wenang. Aku juga sering menembak mati tentara Belanda yang menjajah negeri ini” jawab kakek dengan sedikit bercerita.

Aku hanya mengangukkan kepala. Dengan namanya saja kakek ini tidak ingat, bisa-bisanya ngelantur sampai penjajahan Belanda. Apalagi menembak mati penjajah.
Aku beranjak dari hadapan kakek yang sedang asik mengemut pipa rokoknya yang terbuat dari tulang ayam dan menghamburkan asap rokok ke berbagai penjuru.
Kulihat baju seperti seragam tentara veteran lengkap dengan lencana dan pangkat di bagian kiri dada depan yang sering ku lihat di televisi saat acara mengingat jasa para tentara veteran yang tidak dianggap oleh bangsa Indonesia.
Wah, benar. Kakek ini bukan orang sembarangan. Dia pasti tentara veteran yang nasipnya sama seperti yang diceritakan di televisi. Tapi kenapa dia tinggal sendiri. Apa jangan-jangan seragam itu bukan miliknya. Banyak pertanyaan yang aku ajukan dengan diriku sendiri hingga membuat aku binggung karena aku tidak tahu jawabannya.

“Ambilkan kotak kayu itu” kakek menyuruhku untuk mengambilkan kotak kayu yang brada di bawah dipan.


Setelah kuambil, kakek itu menyuruhku membukannya. Isinya berupa foto orang-orang yang berseragam sama persis dengan seragam yang berada di rumah ini. Sayang foto itu hitam putih dan gambarnya sudah kabur sehingga aku tidak dapat membedakan wajah kakek ini dengan orang-orang yang ada di dalam foto.

“Itu fotoku dan teman-temanku di tepi sungai Musi ini, dulu sungai ini sangat berpengaruh, sungai yang sangat indah, luas, dalam dan sangat bersih. Semua kebutuhan hidup bisa di dapatkan dari sungai ini. Tapi waktu dan manusia telah merubah semuanya. Kini hanya kotoran dan keruhnya air yang dapat dilihat. Orang-orang sekarang tidak tahu akan besarnya jasa sungai ini. Sekarang sungai ini hanya menjadi saksi bisu dari apa yang dapat dirasakan sekarang” cerita kakek dengan wajah menunduk.

Aku hanya duduk di hadapan kakek tua ini. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan kembali bercerita. Dapat aku simpulkan jika sungai ini benar-benar telah melahirkan sejarah bagi orang-orang yang pernah mengarungi hidup bersama sungai ini. Sungai yang mengantarkan dan menyatukan bangsa Indonesia dari perbedaan suku, budaya, ras, dan agama. Tapi sekarang semata-mata sungai ini hanya menjadi simbol daerah, masyarakat tidak merasakan fungsi dan manfaatnya untuk masa yang akan datang. Membuang sampah dengan sengaja ke dalam aliran sungai seolah-olah telah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.

“Apa yang kau pikirkan, kehidupan terus berputar. Kini saatnya dirimu untuk berusaha mengingatkan mereka” kata kakek perlahan dengan menatapku tajam.

Aku hanya terdiam, yang kulakukan hanya menatap mata kakek yang dari tadi sudah berkaca-kaca seolah berkata beban yang berat telah ia lepaskan. Aku hanya berfikir, apa yang kakek tua ini rasakan, penyesalan atau mengenang masa kejayaannya pada masa lalu.

Sinar mentari menerobos melalui lobang-lobang atap yang terbuat dari seng tepat di atas kepalaku. Kulirik jam dinding yang tergantung didinding papan rumah reot ini. Jarum jam telah menunjukkan pukul duabelas siang. Aku berpamitan dengan kakek renta ini untuk pulang. Tangan terbungkus kulit yang mulai layu melepas jabat tanganku, kutingalkan langkah demi langkah untuk meneruskan aktifitas yang masih menunggu. Tepi sungai Musi menjadi tempatku melangkah sangat berbeda dengan cerita kakek yang baru saja aku dengar, kulihat di sana-sini sungai Musi masih saja kotor dan tercemar dengan sampah, kilau minyak tersinari matahari yang tumpah entah dari mana asalnya, dan tumbuhan eceng gondok berkumpul hanyut terbawa arus. Terus saja rumah-rumah rakit mendominasi pembuangan sampah ke dalam sungai, seolah pemerintah tidak tau akan fenomena pembuangan sampah yang terus akan menambah pencemaran sungai musi yang terkenal indah oleh masyarakat Indonesia dan telah di kenal masyarakat dunia.

SELESAI

TETES-TETES ENERGI KEHIDUPAN

Karya: Agus Ardiansyah

Debur-debur ombak bergemuruh bergulung bekejar-kejaran menerjang apa yang dilewatinya hingga menghempas tiang-tiang konstruksi bangunan yang berdiri kokoh terbuat dari besi baja berjajar bembentuk pilar-pilar menompang beban berupa bangunan yang didominasi oleh besi-besi raksasa.
Angin berhembus kencang menerobos apa saya yang dapat dilewatinya, bahkan celah-celah fentilasi pun mendesis ketika angin berjejalan memaksa untuk masuk pada ruangan yang udaranya bertekanan lebih rendah.
Dini hari itu matahari masih pulas serta enggan untuk beranjak dari peraduannya, hanya detak jam dinding yang trus bergerak dan jarum yang paling pendek mengarah pada angka satu. Dan waktu seperti ini memang digunkan oleh ke enam penghuni bangunan untuk beristirahat.
Pagi itu memang tidak seperti biasanya, angin berhembus sangat kencang mengarah dengan membabi buta dan membuat ombak berterbangan ke segala penjuru mengikuti arah angin dan menciptakan badai yang sangat dasyat. Badai mulai berguncang, angin bercampur air laut mulai meporak-porandakan bangunan yang berada di lepas pantai itu. Bunyi besi baja yang tercipta dari gesekan antara satu baja dengan baja yang lainnya semakin terdengar kuat.
Tak selang berapa lama sirine berbunyi dibarengi dengan lampu berwarna merah yang terus berputar di atas menara bangunan.
Semua penghuni bangunan yang difungsikan sebagai tempat menambangan minyak bumi yang di tempatkan di laut lepas pantai sebelah utara Indonesia ini berhamburan keluar ruangan tempat mereka beristirahat.

“Keluar, cepat. Keadaan darurat di sektor barat. Pakai semua pengaman dan bawa peralatan” teriak pak Anton dengan keras sambil meletakkan HT di depan mulutnya sembari tangan kanannya menunjuk ke arah barat.

Keadaan di pertambangan minyak lepas pantai ini sudah dalam keadaan mengkhawatirkan. Badai benar-benar membuat tepat itu berubah, air memporakporandakan apa yang ada.
Pak Anton sebagai menanggung jawab bersama sepuluh anggotanya bekerja keras untuk memperbaiki keadaan tempat menambang minyak tersebut. Deburan air, dan hembusan badai serta halilintar terus beriringan melampiaskan amarahnya. Meski keadaan sangat berbahaya, tapi tak menyurutkan nyali para pekerja yang sedang melaksanakan tugas.

“Pak, plat penyangga pipa nomor dua hampir lepas. Jika ini lepas pipa akan bocor dan minyak akan tumpah ke laut. Kita tidak bisa menjangkau untuk melakukan perbaikan karena angin dan air masih sangat kuat menerpa tempat yang mengalami kerusakan pak” kata Jito, salah satu pekerja teladan yang memang sangat di percaya oleh pak Anton dalam berkerja di bidangnya ini.

Pak Anton mengeleng-gelengkan kepala dan melepaskan helm dari kepalanya, terlihat rambut yang kelimis karena minyak rambut yang selalu lengket pada rambut bagian belakang dan di atas telinga, bagian atas kepalanya telah botak mengkilap.

“Pak Anton, karena cuaca yang sangat tidak mendukung, kita harus memperbaiki secara manual. Jika terlambat, plat penyangga akan lepas kemudian pipa akan pecah. Minyak akan mencemari laut dan dampaknya akan sangat fatal bagi kehidupan di laut ini pak, dan juga bagi Negara Indonesia” ujar Sakri menambahkan perkataan Jito kepada pak Anton dengan nada agak meninggi.


Suasana sudah sangat runyam, emosi untuk menghadapi badai saja sudah terkuras, belum lagi untuk memperbaiki bagian-bagian peralatan pengeboran minyak yang rusak. Tapi para pekerja tambang ini tidak pernah mengela napas panjang dan mengeluh. Semua yang di jalani dan dihadapi dianggap resiko dari profesi yang tidak mudah untuk dijalani. Kehidupan yang jauh dari keluarga, tersekat dalam ruang yang monoton, tidak ada hiburan kecuali mereka dapat memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan oleh perusahaan.
Pagi itu jam masih menunjukkan pukul dua, sudah satu jam badai mengamuk, tapi belum juga menunjukkan tanda-tanda badai mereda, kilatan petir dan guntur masih saja menghiasi langit di atas tempat pengeboran minyak lepas pantai itu.
“Jito, ajak tiga temanmu untuk ikut bersamamu, cepat perbaiki bagian yang rusak” perintah pak Anton kepada Jito.

“Teman-teman siapkan peralatan kalian, saya minta tiga orang untuk membantu saya” minta Jito kepada teman-temannya.

Setelah Jito memberikan instruksi kepada teman-temannya, mereka berempat menyusuri rangkaian besi yang membentuk persegi empat dan di dalam kurungan besi yang berbentuk persegi empat itu terdapat pipa besar berdiameter sepuluh meter berisikan minyak mentah yang mengalir ke tempat tank penampungan. Ada bagian plat penyangga pipa di bagian paling ujung pipa yang letakknya mengarah ke laut mengalami kerusakan.

Tak berapa lama para pekerja sampai ke tempat yang mengalami kerusakan dan mulai bekerja, badai terus saja menggangu proses perbaikan itu. Sudah tiga jam proses perbaikan belum juga selesai.

“Pak Jito, besi penyangga sudah tidak kuat lagi pak. Pipa sudah 20 % mengalami kebocoran. Minyak akan mencemari laut” kata Sakri.

“Pertahankan keadaan, upayakan sebelum kebocoran membesar. Ingat dampak dari fenomena yang terjadi jika minyak dalam pipa ini tumpah ke dalam air laut” kata pak Jito memberikan semangat kepa teman-temannya.

Memang benar, sekian banyak laut yang tercemar dan rusaknya ekosistem air laut disebabkan karena bocornya pipa minyak dan tumpahnya minyak dari kapal tenker pengankut minyak. Tidak saja air laut yang tercemar, terumbu karang, ikan dan mahluk hidup yang berada di dalam air laut teramcam kelangsungan hidupnya.
Hal itu lah yang menjadi komitmen para pekerja tambang minyak lepas pantai untuk sangat memperhatikan prosedur yang telah di tetapkan oleh perusahaan minyak terbesar di Indonesia ini agar tidak hanya mengutamakan keuntungan yang diperoleh tetapi harus tetap memperhatikan keselamatan lingkungan dan alam guna kelangsungan kehidupan generasi berikutnya.

“Pak. Pipa sudah selesai diperbaiki. Hanya saja bagian-bagian penyangga pipa belum 100% kembali kuat seperti sebelumnya. Gangguan air dan angin masih menggangu proses pengelasan” kata sakri kepada pak Jito.

Pak Jito tersenyum dan menunjukkan kedua jempolnya.

Badai sudah mereda, hanya sesekali angin yang masih berhembus kencang.
Pagi itu matahari mulai memperlihatkan sinarnya, segumpalan awan coklat masih mengantung tenang. Para pekerja masih saja memeperbaiki komponen yang masih rusak, percikan-percikan las masih gemerlapan sepereti kembang api menghiasi pagi itu setara dengan semangat para pekerja yang masih membara untuk menyelesaikan kewajiban untuk menciptakan suasana yang kondusip di penambangan minyak.
Jam tangan pak Jito sudah menunjukkan pukul tujuh, pekerjaan telah selesai. Plat penyangga yang rusak dan pipa minyak yang sempat bocor telah kembali kuat seperti semula, lautan biru berserta kandungan di dalamnya yang maha kaya akan sumber daya alam dapat terselamatkan. Sangat disayangkan ada sedikit minyak yang sempat jatuh ke permukaan air laut, namun minyak yang mencemari permukaan air laut tersebut dalam proses pembersihan oleh kru yang lainnya.

“Terimakasih rekan-rekan semua, kerja keras kita selesai sebelum hal terburuk terjadi. Sekarang saatnya istirahat, setelah istirahat kita akan mengontrol ulang apa saya kerusakan yang terjadi dan apa masih ada yang harus diperbaiki” kata pak Anton dengan senyum yang tersungging dari bibirnya.

Air laut berombak dengan tenang, berkaca-kaca tersinari oleh mentari yang mulai meninggi dan diiringgi udara yang berhembus sepoi-sepoi. Seolah berusaha melepaskan kelelahan yang dirasakan oleh para pekerja tambang minyak. Mereka melepaskan penat dengan berbaring dalam ruangan ber AC setelah bergelut dengan badai untuk mempertahankan tanggungjawab besar yang dibebankan kepada semua pekerja. Kewajiban telah mereka laksanakan dan saatnya mereka untuk merasakan hasil dari pada jerih payah atas pekerjaaan yang telah diemban dengan penuh disiplin dan rasa solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan dan alam sebagaimana telah memberikan energi kehidupan yang tiada ternilai.


SELESAI