Oleh: Sulastinah
NPM : 2007112281
Ketika cinta mengatakan bahwa dunia ini milik manusia sendiri, tak ada seorangpun yang mampu untuk mencegahnya. Akupun sangat menyakini kalau dunia ini hanya milik manusia yang sedang asyik merasakan indahnya jatuh cinta.
Hari masih sangat gelap, tapi mataku sudah tak ingin bersahabat tuk memejamkan mata, aku pun terbangun dan langsung beranjak menuju kamar kecil yang selalu ku kunjungi setiap aku bangun tidur, aku langsung mengambil air dan membasuhkannya di muka ku. Setelah itu aku segera membasahi tubuhku dengan tetesan air dingin yang telah lama menantiku.
Aku bersiap untuk pergi ke kampus, sebelum pergi ke kampus seperti biasa aku menunggu teman-teman ku di tempat kontrakannya, kami selalu pergi bersama, kami selalu kompak dalam segala hal, walaupun kami bersahabat kadang kami sering berselisih paham, namun walaupun kami sering bertengkar kecil kami selalu menjaga persahabatan agar tidak terjadi pertengkaran yang maha dahsyat.
“Pagi semua….. “ sapa ku. Aku langsung duduk diantara kumpulan teman-temanku yang telah menunggu ku sejak tadi.
“Waw, kayaknya lagi seneng banget ni!!!!” jawab Dewi.
“ Iya dunk, secara kemarin abis belanja, seneng de” dengan semangat aku membalas pembicaraan sahabatku.
“Oya hari ni nonton bareng yuk! Udah lama ni kita nggak nonton, ada film terbaru loh” ajak Mala.
“Boleh, aku udah lama pengen nonton” jawab Zaskia.
“Duh, gimana ya??? Kayaknya aku nggak bisa deh, maaf ya! Hari ini aku mau istirahat, lagian tugas kemaren belum aku kerjakan, lain kali aja ya!” jawab ku.
Perut mulai keroncongan rasanya sudah memaksa untuk memanggil ku pergi ke salah satu tempat yang tidak asing lagi untuk manusia yang lainnya kalau perut sudah mulai mencaci maki tidak mau diajak kompromi, seperti biasa pulang kuliah aku pergi ke rumah pacarku, langsung saja aku pamit kepada teman-teman ku untuk pergi ke rumah pacarku. Sesampai di sana aku melihat senyum manis yang mengibar ke arah ku, senyum yang tidak asing lagi bagiku.
“Hai yank!!! Sapa ku.
“Eh, udah datang, sini masuk!!! Ajaknya.
“ Mama ke mana yank?? Tanya ku pada pacarku.
“Mama pergi ke luar kota jenguk keluarga yang sakit, mungkin sekitar satu mingguanlah di sana” jawabnya.
Seperti biasa pacarku mengajak untuk duduk di sofa, di sana kami sudah tidak canggung lagi untuk melepaskan segala hasrat yang membara di dada, aku terdiam sejenak memandang wajah pacarku.
“Kok diam???tanyanya.
“Ehm, tidak aku Cuma takut aja yank, apa yang kita lakukan ini akan menjadi bumerang untuk kita”. Jawabku.
“Emang takut kenapa sayang? Kita kan tidak ngapa-ngapain, kita Cuma melakukan yang sama seperti yang dilakukan kebanyakan orang pacaran, tidak berlebihan kan?” rengeknya.
“ Entahlah, aku sangat takut nanti apa yang kita lakukan ini akan merambat ke arah yang sangat dilarang oleh agama”. Jawabku.
“Memangnya kenapa kalau kita melakukanya, apa salah? Kita kan sama-sama saling mencintai, toh kita juga akan menikah”. Bantahnya.
“Aku tau, tapi itu kan masih lama yank, aku juga masih kuliah, gimana kalau terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan?tanyaku lagi.
“ Kamu tenang saja, aku nggak mungkin melakukan hal-hal yang membuat kita malu, lagian nggak apa-apa juga kan, aku janji kalau terjadi sesuatu hal di luar kendali kita, aku pasti akan tanggung jawab.
Seharian kami berada dalam rumah, dan melakukan hal-hal yang masih dianggap wajar oleh kami, padahal kami tau hal yang kami anggap wajar itu merupakan hal yang tercela, entah setan apa yang merasuki tubuh kami sehingga kami lupa diri untuk membentengi hati dan pikiran kami. Tanpa rasa malu dan canggung kami saling melepaskan helaian benang yang melakat di tubuh kami. Tidak terasa hari sudah malam, akupun minta antar pulang ke kontrakanku, pacarku pun mengantarkanku untuk pulang ke rumah kontrakan ku, tapi sesampai di sana, pacarku membujuk agar dia menginap di rumah kontrakan ku untuk satu malam ini saja, katanya dia tidak enak kalau pulang ke rumah, karena di sana dia sendirian, semua keluarganya pergi ke luar kota. Tanpa rasa ragu aku pun mengizinkan pacarku untuk menginap di tempatku.
Keesokan harinya setelah aku bangun dari tidurku, aku sangat terkejut melihat pacarku sudah berada di sampingku tanpa menggunakan sehelai benang yang melekat di tubuhnya, begitupun dengan diriku, tapi di saat itu pacarku menyakinkan aku bahwa apa yang sedang terjadi ini bukanlah hal memalukan, dia meyakinkan aku kalau kami tidak melakukan hal-hal yang melebihi batas yang membuat putus harapanku & kedua orang tuaku. Namun, selain itu, kami juga dikejutkan oleh sepasang mata yang melihat ke arah kami, aku diam dan melihat mata yang sangat aku kenal itu, aku tidak bisa mengucapkan apa-apa, bibir ku sangat kaku untuk mengucapkan sesuatu.
“Jujur, aku tidak menyangka seorang Fandi dan Kiran bisa melakukan hal yang memalukan seperti ini, seorang Kiran yang polos, lugu, dan rajin beribadah, ternyata goyah juga imannya hanya untuk kepuasan batin semata. Kepuasan yang tidak ada habisnya, kepuasan yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami istri yang terikat ikatan janji suci”. Ucap Zaskia.
“Maaf Zas, kamu salah kami tidak melakukan hal yang sangat keji, kamu jangan berbicara seperti itu, memang apa yang kamu lihat ini mungkin hina bagimu, tapi yakinlah kalau Kiran masih virgin, Kiran tidak ternodai”, bela Fandi.
“Sudahlah, itu bukan urusan ku, aku hanya tidak menyangka kalau kalian benar-benar hina di mataku, di mata sang pencipta”, Zaskia langsung pergi dan meninggalkan kami.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah bicara atau bergurau dengan sahabat-sahabatku lagi, mereka lebih banyak diam kalau aku hadir diantara mereka, atau mereka lebih banyak menjauhiku apabila terlihat aku ingin mendekati mereka. Sejak peristiwa itu juga hubungan ku dengan teman-temanku hancur. Peristiwa yang sangat memalukan, aku tau kalau perbuatan kami salah, tapi aku masih sangat yakin kalu aku belum ternodai, karena akupun tidak merasakan terjadi apa-apa pada diriku di mana aku tidak terpengaruh obat-obatan atau minuman beralkohol.
Di sela-sela istirahat jam mata kuliah, ku lihat teman-temanku seperti biasa berkumpul, bercanda gurau, tertawa-tawa, dan saling mengolok-olokkan satu sama lain, aku memberanikan diri untuk mendekati meraka, ku sapa mereka, tapi mereka masih saja tetap dingin seperti tidak melihatku berada diantara mereka. Nada bicaraku pun berubah tinggi melihat tingkah mereka yang menjengkelkanku.
“Hei, kalian merasa kalian lebih baik, kalian merasa kalian lebih bersih, padahal dengan cara kalian seperti ini menunjukkan sifat buruk kalian, sifat yang amat dibenci oleh sang Pencipta, di mana sifat ingin memutuskan tali silaturahmi. Kalian berhak unguk menjauhiku tapi bukan berarti kalian tidak untuk mendengarkan penjelasan dariku, kita sudah lama bersahabat, kita sudah lama bersama-sama, menjadi seorang sahabat yang baik bukan berarti menjauhi teman yang bermasalah, aku bisa terima saran dari kalian jika kalian ingin bicara baik-baik dengan ku”.lirihku. Isak Tangisku pun makin meninggi.
“Kiran, maaf kami tau kalau apa yang kami lakukan ini salah, tapi kami hanya tidak ingin satu diantara kita salah dalam bergaul, jangan jadikan nafsu sebagai selimut dari cinta”, jawab Dewi.
“Aku tau Wi, kalau aku salah dalam mengartikan hubunganku, tapi kalian juga harus dengar ucapanku, jangan memfonisku bersalah”, ucapku. Tangisku semakin menjadi tak terbendungkan lagi, orang di sekeliling kamipun memperhatikan kami.
“Maafkan kami Kiran, tenangkanlah dulu dirimu, nanti katakan apa yang ingin kamu katakana!” sambung Mala. Zaskia hanya diam saja, dan tak sedikitpun memandang ke arah Kiran.
“Teman-teman maafkan aku kalu menurut kalian aku pantas untuk dijauhkan, aku rela, kalau kalian ingin memutuskan tali persahabtan kitapun aku rela, tapi aku mohon dengarkanlah ucapanku kali ini, aku bicara bukan untuk membela diri tapi aku hanya ingin meluruskan masalah saja” jawab Kiran. Sambil sesekali menghapus air yang mengalir di pipinya. “Memang kami salah dan terlalu jauh dalam berhubungan, tapi percayalah kemarin kami tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas kami lakukan, kami berani bersumpah”, bela Kiran.
“Benar apa yang dikatakan Kiran”, tiba-tiba Fandi muncul dari belakang. “Kami tau kalau apa yang kami lakukan itu salah tapi kami juga masih di alam sadar, jadi kami tidak melakukan apa yang kalian sangka itu. Kalian berteman sudah lama, jangan jadikan masalah ini sebagai bom untuk memecahkan tali persabatan kalian, karena apabila itu terjadi maka aku adalah orang yang paling bersalah, akulah orang yang tidak akan pernah merasa tenang atas perbuatan ku, aku berjanji kalau aku akan menjaga Kiran, aku tidak akan melakukan yang membuat Kiran terluka, malu dan menjadi hina, aku akan bertanggung jawab atas apa yang aku perbuat, karena aku sangat mencintai Kiran, aku akan meminta maaf pada orang tua Kiran”.
“Kiran, Fandi kami hanya tidak ingin terjadi apa-apa pada kalian, karena masa depan kita masih panjang, kalian masih muda, jangan pernah kalian hancur karena nafsu setan, nafsu yang berselimutkan cinta, kami juga minta maaf sudah membuat kalian susah”. Jawab Zaskia.
“Tidak apa-apa Zas, kami maklum apa yang kalian lakukan demi kebaikan kita bersama, marilah kita mulai hari-hari kita dengan hal-hal yang bermakna dan mengisinya dengan penuh angan-angan yang baik”. Ajak Kiran.
TAMAT
Kamis, 27 Mei 2010
CERPEN "DUNIAKU HARTAKU"
Oleh : Sulastinah
NPM : 2007112281
Dunia ini sangat kental dengan yang namanya uang. Uang merupakan zat pewarna yang selalu menghiasi indahnya kehidupan manusia setiap detiknya. Uang juga dapat menjadi racun dunia bagi makhluknya yang menyembah keindahan dan kemilaunya.
Tuti masih terduduk diam dalam lamunannya. Dia sangat menikmati indahnya khayalan itu, hingga diapun tak sadar kalau di sampingnya sudah ada seseorang yang boleh dibilang sangat mengejutkan dirinya, seseorang yang salah satu muncul di setiap lamunannya. Seseorang yang selalu menghantui di setiap angan-angannya, sebut saja Rendi, laki-laki yang sangat kaya, laki-laki yang sangat tahu akan kebutuhan wanita zaman sekarang, laki-laki yang menjadi idaman wanita baik kalangan bawah maupun kalangan atas.
“Hei…!!!” Tiba-tiba Rendi menyadarkan lamunan Tuti.
“Eh…ehm…kamu Ren? Bikin kaget aja deh, ngapain ke sini?” Tanya Tuti.
“Ciah….ngelamunin apa ni? Kayaknya seru banget deh, ikut dunk!” goda Rendi.
“ Ngelamunin jadi…..apa ya? udah ah…mau tahu aja kamu. Mau ke mana?
“Biasa…jalan yuk!!!ajak Rendi.
“Jalan ke mana? Aku sih mau aja asal seperti biasa juga. Pinta Tuti (sambil tersenyum nakal)”.
“Iya tahu lah, nggak mungkin dunk aku yang ngajak tapi membiarkan cewek yang bayar semuanya, udah kamu tenang aja, kamu mau apa aja pasti aku kasih deh”. Rendi meyakinkan Tuti.
“Oce deh, makasih ya sahabatku tersayang”. Rayu Tuti.
Hari itu, Tuti dan Rendi asyik dengan acara mereka, asyik dengan belanjaan, Rendi pun tidak segan-segan untuk membayar semua belanjaan Tuti karena menurutnya tidak menuruti kehendak Tuti sama saja dengan tidak beribadah satu tahun. Rendi selalu memanjakan Tuti dengan segala keperluan yang dibutuhkan Tuti, Rendi tidak pernah mempermasalahkan apa yang sudah ia berikan untuk sahabatnya itu. Namun, dibalik semua kebaikan yang ia lakukan Rendi menyimpan imbalan yang suatu saat nanti Tuti harus menggantikannya, imbalanya yang harus dituruti Tuti.
“Ren, makasih ya atas semuanya”, ucap Tuti.
“Udah nggak usah dipikirin, aku senang kok bantuin kamu, buat aku itu adalah kewajibanku untuk memenuhi kebutuhanmu, eits….jangan tersinggung dulu, aku tidak pernah menganggap kamu remeh, atau apalah, aku ngelakuin ini semua untuk kamu”.
“Makasih Ren, aku tahu mungkin kalau tidak karena kamu aku tidak akan bisa memiliki ini semua, karena kamu tahu sendiri, uangku hanya cukup untuk makan senin kamis, itu aja kadang aku makan sama kamu”. Keluh Tuti
Seiring berjalannya waktu, maka sering pula pertemuan itu mereka lakukan sehingga tidak disangka terpupuk juga rasa-rasa diantara mereka, tapi walaupun mereka tidak saling mengungkapkan, mereka tahu apa yang mereka rasakan adalah perasaan yang sama, perasaan yang selalu ingin bersama, perasaan yang selalu membuat mereka tidak ingin jauh dari satu sama lain.
Hingga tiba pada waktunya terjadi hal-hal yang membuat mereka tidak bisa untuk menerima semua kenyataan ini, rendi akan dibawa orang tuanya untuk pindah keluar kota, mereka sama-sama tidak ingin hal itu terjadi, sehingga membuat mereka harus melakukan sesuatu, terlebih-lebih Tuti, dia sangat takut kehilangan rendi, karena selain dia mencintai Rendi dia juga tidak munafik akan apa yang dimiliki Rendi, Tuti pun dengan segala nafsu yang terjadi pada dirinya berani untuk melakukan perbuatan yang sangat hina, dia menyerahkan semua keperawanannya untuk Rendi tidak lain dan tidak hal agar dia selalu bersama Rendi, begitupun dengan Rendi, ibarat kata pepatah, buah yang ada di pohon saja masih sanggup diambil untuk dinikmati hasilnya, apalagi buah yang sudah disuguhkan di depan mata tidak mungkin akan ditolaknya.
Dengan perasaan yang sangat menyesal perbuatan mereka diketahui orang tua mereka. Namun walaupun mereka telah melakukan perbuatan yang sangat hina itu, orang tua Rendi tetap akan membawa Rendi pergi ke luar kota, karena menurut orang tua Rendi kalau sampai Rendi masih terus bersama Tuti maka Rendi tidak akan pernah bahagia. Rendi dan Tuti sangat bingung apa yang harus mereka perbuat, mereka tidak ingin berpisah, tapi apa jua orang tua yang harus memaksa mereka agar tetap tidak berhubungan lagi.
“Maafkan aku Tuti, bukan aku yang menginginkan ini semua, aku ingin kita selalu bersama, canda tawa bersama, dan hidup bersama”, ungkap Rendi di stelpon.
“Tapi Ren, gimana dengan aku, apa kamu tidak kasihan padaku, apa kamu tidak tersentuh sedikitpun untuk berpikir dan membicarakan baik-baik dengan orang tuamu, aku tidak ingin kita berpisah (tabgis Tuti makin menjadi).
“Bukan aku tidak mau Tuti, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, “ jawab Rendi.
Dengan terpaksa Rendi menutup gagang teleponnya.
Keesokan harinya Tuti mendengar kabar kalau Rendi sudah tidak ada lagi, Rendi sudah pindah ke luar kota, Tutipun sangat kecewa kepada Rendi. Karena tak sedikitpun Rendi mempertahankan perjuangan mereka, hingga akhirnya Tuti pun memaksa untuk mencari tahu alamat Rendi sebenarnya. Dalam pencariannya itu, Tuti tidak sia-sia karena Tuti menemukan Rendi di salah satu Supermarket, di sana rendi sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
“Rendi!!!” panggil Tuti
“Rendi tunggu!” pinta Tuti.
“Tuti, kok kamu bisa ada di sini?” Tanya Rendi kaget.
“Rendi, aku ingin bicara sebentar dengan kamu, aku minta waktumu sedikit saja, setelah itu aku janji aku tidak akan mengganggumu lagi.” Pinta Tuti.
“Baiklah, kita cari tempat yang lebih nyaman,” ajak Rendi.
“Ren, maafkan aku bila menurutmu aku lancing untuk menemuimu, tapi aku sangat membutuhklanmu Ren, aku janji setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi”. Lirih Tuti
“Ada apa Tuti? Sepertinya kamu sangat membutuhkan pertolonganku”. Tanya Rendi lagi
“Ren, aku mohon padamu, aku butuh bantuanmu, jujur aku malu harus bicara apa padamu, tapi aku ras aku harus mengatakan ini semua, Ren…aku butuh uang, karena ibuku sangat membutuhkannya, ibuku terlilit hutang dengan rentenir, pabila kami tidak membayar hutang-hutang itu, maka aku yang akan menjadi taruhannya, aku yang harus menikah dengan rentenir itu, aku tidak mau Ren”, isak Tuti.
“Tuti, aku pasti akan membantumu, kamu tenang saja, aku tidak mungkin membiarkanmu tersiksa dari semua masalah ini.”
“Makasih Ren, aku janji aku tidak akan meminta pertanggungjawaban apa-apa denganmu karena aklu juga tahu kalau aku yang salah, aku yang sudah menyerahkannya tubuhku untukmu, bukan kamu yang memintanya”
“Eits…..kamu jangan bicara seperti itu Tuti, aku sangat bersalah apa yang sudah aku lakukan padmu, tidak seharusnya aku menuruti semua nafsuku, tidak seharusnya aku meninggalkanmu setelah apa yang aku lakukan pada u, aku sangat menyesal Tuti.
“Sudahlah Ren, kamu tidak salah, aku tidak akan menuntut apa-apa darimu, aku datang ke sini hanya butuh bantuanmu agar hutang-hutang ibuku lunas, dan aku tidak dinikahkan pad rentenir itu, rentenir jelek, rentenir bodoh, dan rentenir sombong itu. Ucap Tuti.
“ Sudahlah Tuti, ini aku ada sedikit uang untuk membantumu semoga uang ini cukup untuk membayar semua hutang-hutang ibumu”.
“Makasih Ren, jujur aku sangat malu atas apa yang aku lakukan, aku malu seolah-olah, apa yang aku lakukan ini adalah sebagai bentuk penjualan diri”.
“Tuti, kamu tidak boleh bicara seperti itu, maafkan aku Tuti, aku memang laki-laki tidak jantan yang lari dari tanggung jawab, aku janji aku pasti bertanggungjawab atas semua perbuatanku.” Ucap Rendi.
“Maksih Rendi, kalau kamu memang benar-benar ingin bertanggungjawab, aku tidak tahu harus ku letakkan di mana mukaku ini. Dengan berlinang air mata Rendi memluk Tuti.
“Oh, Tuhan terima kasih atas semua karuniamu, maafkan aku Tuhan yang salah dalam melangkah. Maafkan aku yang selalu tidak pernah mengahrgai apa yang sudah aku miliki, maafkan aku Tuhan yang sudah mengecewakan-Mu, orang tuaku dan orang yang berada di sekitarku.” Lirih Tuti dalam hati.
“Harta benda yang tak punya batas, membunuh manusia perlahan dengan kepuasan yang berbisa. Kasih sayang membangunkannya dan pedih perih nestapa membuka jiwanya.”
TAMAT
NPM : 2007112281
Dunia ini sangat kental dengan yang namanya uang. Uang merupakan zat pewarna yang selalu menghiasi indahnya kehidupan manusia setiap detiknya. Uang juga dapat menjadi racun dunia bagi makhluknya yang menyembah keindahan dan kemilaunya.
Tuti masih terduduk diam dalam lamunannya. Dia sangat menikmati indahnya khayalan itu, hingga diapun tak sadar kalau di sampingnya sudah ada seseorang yang boleh dibilang sangat mengejutkan dirinya, seseorang yang salah satu muncul di setiap lamunannya. Seseorang yang selalu menghantui di setiap angan-angannya, sebut saja Rendi, laki-laki yang sangat kaya, laki-laki yang sangat tahu akan kebutuhan wanita zaman sekarang, laki-laki yang menjadi idaman wanita baik kalangan bawah maupun kalangan atas.
“Hei…!!!” Tiba-tiba Rendi menyadarkan lamunan Tuti.
“Eh…ehm…kamu Ren? Bikin kaget aja deh, ngapain ke sini?” Tanya Tuti.
“Ciah….ngelamunin apa ni? Kayaknya seru banget deh, ikut dunk!” goda Rendi.
“ Ngelamunin jadi…..apa ya? udah ah…mau tahu aja kamu. Mau ke mana?
“Biasa…jalan yuk!!!ajak Rendi.
“Jalan ke mana? Aku sih mau aja asal seperti biasa juga. Pinta Tuti (sambil tersenyum nakal)”.
“Iya tahu lah, nggak mungkin dunk aku yang ngajak tapi membiarkan cewek yang bayar semuanya, udah kamu tenang aja, kamu mau apa aja pasti aku kasih deh”. Rendi meyakinkan Tuti.
“Oce deh, makasih ya sahabatku tersayang”. Rayu Tuti.
Hari itu, Tuti dan Rendi asyik dengan acara mereka, asyik dengan belanjaan, Rendi pun tidak segan-segan untuk membayar semua belanjaan Tuti karena menurutnya tidak menuruti kehendak Tuti sama saja dengan tidak beribadah satu tahun. Rendi selalu memanjakan Tuti dengan segala keperluan yang dibutuhkan Tuti, Rendi tidak pernah mempermasalahkan apa yang sudah ia berikan untuk sahabatnya itu. Namun, dibalik semua kebaikan yang ia lakukan Rendi menyimpan imbalan yang suatu saat nanti Tuti harus menggantikannya, imbalanya yang harus dituruti Tuti.
“Ren, makasih ya atas semuanya”, ucap Tuti.
“Udah nggak usah dipikirin, aku senang kok bantuin kamu, buat aku itu adalah kewajibanku untuk memenuhi kebutuhanmu, eits….jangan tersinggung dulu, aku tidak pernah menganggap kamu remeh, atau apalah, aku ngelakuin ini semua untuk kamu”.
“Makasih Ren, aku tahu mungkin kalau tidak karena kamu aku tidak akan bisa memiliki ini semua, karena kamu tahu sendiri, uangku hanya cukup untuk makan senin kamis, itu aja kadang aku makan sama kamu”. Keluh Tuti
Seiring berjalannya waktu, maka sering pula pertemuan itu mereka lakukan sehingga tidak disangka terpupuk juga rasa-rasa diantara mereka, tapi walaupun mereka tidak saling mengungkapkan, mereka tahu apa yang mereka rasakan adalah perasaan yang sama, perasaan yang selalu ingin bersama, perasaan yang selalu membuat mereka tidak ingin jauh dari satu sama lain.
Hingga tiba pada waktunya terjadi hal-hal yang membuat mereka tidak bisa untuk menerima semua kenyataan ini, rendi akan dibawa orang tuanya untuk pindah keluar kota, mereka sama-sama tidak ingin hal itu terjadi, sehingga membuat mereka harus melakukan sesuatu, terlebih-lebih Tuti, dia sangat takut kehilangan rendi, karena selain dia mencintai Rendi dia juga tidak munafik akan apa yang dimiliki Rendi, Tuti pun dengan segala nafsu yang terjadi pada dirinya berani untuk melakukan perbuatan yang sangat hina, dia menyerahkan semua keperawanannya untuk Rendi tidak lain dan tidak hal agar dia selalu bersama Rendi, begitupun dengan Rendi, ibarat kata pepatah, buah yang ada di pohon saja masih sanggup diambil untuk dinikmati hasilnya, apalagi buah yang sudah disuguhkan di depan mata tidak mungkin akan ditolaknya.
Dengan perasaan yang sangat menyesal perbuatan mereka diketahui orang tua mereka. Namun walaupun mereka telah melakukan perbuatan yang sangat hina itu, orang tua Rendi tetap akan membawa Rendi pergi ke luar kota, karena menurut orang tua Rendi kalau sampai Rendi masih terus bersama Tuti maka Rendi tidak akan pernah bahagia. Rendi dan Tuti sangat bingung apa yang harus mereka perbuat, mereka tidak ingin berpisah, tapi apa jua orang tua yang harus memaksa mereka agar tetap tidak berhubungan lagi.
“Maafkan aku Tuti, bukan aku yang menginginkan ini semua, aku ingin kita selalu bersama, canda tawa bersama, dan hidup bersama”, ungkap Rendi di stelpon.
“Tapi Ren, gimana dengan aku, apa kamu tidak kasihan padaku, apa kamu tidak tersentuh sedikitpun untuk berpikir dan membicarakan baik-baik dengan orang tuamu, aku tidak ingin kita berpisah (tabgis Tuti makin menjadi).
“Bukan aku tidak mau Tuti, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, “ jawab Rendi.
Dengan terpaksa Rendi menutup gagang teleponnya.
Keesokan harinya Tuti mendengar kabar kalau Rendi sudah tidak ada lagi, Rendi sudah pindah ke luar kota, Tutipun sangat kecewa kepada Rendi. Karena tak sedikitpun Rendi mempertahankan perjuangan mereka, hingga akhirnya Tuti pun memaksa untuk mencari tahu alamat Rendi sebenarnya. Dalam pencariannya itu, Tuti tidak sia-sia karena Tuti menemukan Rendi di salah satu Supermarket, di sana rendi sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
“Rendi!!!” panggil Tuti
“Rendi tunggu!” pinta Tuti.
“Tuti, kok kamu bisa ada di sini?” Tanya Rendi kaget.
“Rendi, aku ingin bicara sebentar dengan kamu, aku minta waktumu sedikit saja, setelah itu aku janji aku tidak akan mengganggumu lagi.” Pinta Tuti.
“Baiklah, kita cari tempat yang lebih nyaman,” ajak Rendi.
“Ren, maafkan aku bila menurutmu aku lancing untuk menemuimu, tapi aku sangat membutuhklanmu Ren, aku janji setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi”. Lirih Tuti
“Ada apa Tuti? Sepertinya kamu sangat membutuhkan pertolonganku”. Tanya Rendi lagi
“Ren, aku mohon padamu, aku butuh bantuanmu, jujur aku malu harus bicara apa padamu, tapi aku ras aku harus mengatakan ini semua, Ren…aku butuh uang, karena ibuku sangat membutuhkannya, ibuku terlilit hutang dengan rentenir, pabila kami tidak membayar hutang-hutang itu, maka aku yang akan menjadi taruhannya, aku yang harus menikah dengan rentenir itu, aku tidak mau Ren”, isak Tuti.
“Tuti, aku pasti akan membantumu, kamu tenang saja, aku tidak mungkin membiarkanmu tersiksa dari semua masalah ini.”
“Makasih Ren, aku janji aku tidak akan meminta pertanggungjawaban apa-apa denganmu karena aklu juga tahu kalau aku yang salah, aku yang sudah menyerahkannya tubuhku untukmu, bukan kamu yang memintanya”
“Eits…..kamu jangan bicara seperti itu Tuti, aku sangat bersalah apa yang sudah aku lakukan padmu, tidak seharusnya aku menuruti semua nafsuku, tidak seharusnya aku meninggalkanmu setelah apa yang aku lakukan pada u, aku sangat menyesal Tuti.
“Sudahlah Ren, kamu tidak salah, aku tidak akan menuntut apa-apa darimu, aku datang ke sini hanya butuh bantuanmu agar hutang-hutang ibuku lunas, dan aku tidak dinikahkan pad rentenir itu, rentenir jelek, rentenir bodoh, dan rentenir sombong itu. Ucap Tuti.
“ Sudahlah Tuti, ini aku ada sedikit uang untuk membantumu semoga uang ini cukup untuk membayar semua hutang-hutang ibumu”.
“Makasih Ren, jujur aku sangat malu atas apa yang aku lakukan, aku malu seolah-olah, apa yang aku lakukan ini adalah sebagai bentuk penjualan diri”.
“Tuti, kamu tidak boleh bicara seperti itu, maafkan aku Tuti, aku memang laki-laki tidak jantan yang lari dari tanggung jawab, aku janji aku pasti bertanggungjawab atas semua perbuatanku.” Ucap Rendi.
“Maksih Rendi, kalau kamu memang benar-benar ingin bertanggungjawab, aku tidak tahu harus ku letakkan di mana mukaku ini. Dengan berlinang air mata Rendi memluk Tuti.
“Oh, Tuhan terima kasih atas semua karuniamu, maafkan aku Tuhan yang salah dalam melangkah. Maafkan aku yang selalu tidak pernah mengahrgai apa yang sudah aku miliki, maafkan aku Tuhan yang sudah mengecewakan-Mu, orang tuaku dan orang yang berada di sekitarku.” Lirih Tuti dalam hati.
“Harta benda yang tak punya batas, membunuh manusia perlahan dengan kepuasan yang berbisa. Kasih sayang membangunkannya dan pedih perih nestapa membuka jiwanya.”
TAMAT
Selasa, 25 Mei 2010
JANGAN SALAHKAN TUHAN
Karya: Agus Ardiansyah
Sayup tangis terdengar dari gedung tua di seberang jalan samping gereja yang hampir roboh termakan usia. Malam itu dingin menyelimuti desa Kelabuan yang terletak di lereng gunung Merbabu, udara malam itu terasa meremas tubuh hingga meremukkan tulang belulang yang diselimuti oleh kulit, desa kecil yang dikelilingi perbukitan itu sangat sunyi, hanya kelap-kelip lampu teplok yang menghiasi rumah penduduk yang jumlahnya tidah lebih dari seratus buah dan dihuni lebih dari delapan puluh kepala keluarga. Sinar lampu teplok itu seolah menjelma menjadi kunang-kunag penghias malam. Desa Kelabuan memang sangat sepi, desa terpencil pusat irigasi yang mengairi sawah-sawah desa lain yang berada di bawah bukit. Yang terdengar hanya gemercik air menetes dan deru angin menembus kesunyian menerkam dedaunan hingga menjerit.
Malam itu Arman terus berjalan mengendap-endap di dalam kebun ubi milik mbah Karto, bulan sabit sembunyi di balik awan seolah memperhatikan gerak-gerik Arman yang mencurigakan. Langkah Arman sangat teliti dalam meletakkan telapak kakinya di atas tanah berharap tiada ranting kering yang diinjaknya, sehingga tidak akan mengnimbulkan bunyi berisik. Sambil membungkuk dia sorotkan lampu senternya ke bangunan kelas yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah condong ke barat seolah ingin ikut bersama mentari yang akan kembali keperaduannya. Tak berapa lama sinar senter Arman telah menjamah setiap sudut dinding tanpa ada yang tertinggal.
Arman hanya menggelengkan kepala, sambil menghela nafas panjang menandakan keputus asaan sambil menginjak ranting hingga patah.
“Hayo.. maling ya” teriak seseorang sambil memukul pundak Arman kemudian memegangi tangan Arman dengan erat sehingga membuat Arman menjerit kesakitan.
sumpah serapah Arman keluar tanpa dapat dikontrol karena ada orang yang memegangi dan memukul pundaknya sambil berteriak menuduh dirinya maling.
“Woiiiii…. Setan, siapa yang maling mbah” suara arman lirih mengeram penuh amarah.
“La kamu ngapain di kebunku tengah malam begini kalau tidak mau maling?” tanya mbah Karto geram.
“Sssssssstttttt….” bunyi keluar dari bibir arman yang monyong sambil metakkan jari telunjuknya di depan bibir mbah Karto.
“Mbah saya ini tidak doyan makan ubi seperti ini, kenapa juga saya harus maling ubi mbah Karto” jelas Arman sombong demi meyakinkan mbah Karto.
“La terus kenapa kamu malam-malam mengendap-endap di kebunku ini Man?” tanya mbah Karto sambil memelototkan matanya tepat di depan muka Arman.
“Mbah sudah lama disini?” tanya Arman.
“Sudah dari matahari ngantuk dan kembali ketempat tidurnya Man” jawab mbah Karto
“Mbah tidak dengar ada orang nangis di ruag kelas itu?” tanya Arman lagi
“Ndak tu, embah ndak dengar apa-apa kok” jawab mbah Karto.
“Masak si mbah ga dengar suara orang nangis, budek kali ya
mbah” tegas Arman kesal.
“Man.. Man.. kamu itu masih bau kencur, dibilangin orang tua yang sudah banyak makan asam garam kok ndak percaya” mbah Karto menegaskan dengan nada meninggi.
Mbah Karto berjalan meninggalkan Arman begitu saja, langkah orang tua ini tak sekuat akar pohon pinang yang buahnya selalu menjadi teman makan sirihnya. Tapi pengalaman pemburu penjajah rakyat Indonesia ini patut untuk diacungi jempol. Karena dulu mbah Karto menjadi Veteran perang dan sempat menembak jatuh pesawat tempur Belanda hanya dengan menggunakan senjata rakitannya sendiri.
Dan berkat jasa-jasanya itu rakyat Indonesia dapat merasakan nikmatnya kebebasan meskipun para pejuang kemerdekaan yang sesungguhnya seperti mbah Karto ini telah dikucilkan dan tidak dianggap oleh Negara yang telah dibesarkannya.
Perlahan langkah mbah Karto menuju gedung yang dulu pernah menjadi tempat persembunyian para penjajah Belanda dari kepungan para pejuang gerilya Indonesia pimpinan mbah Karto, dan sekarang gedung yang berdekatan dengan gereja tua itu telah dijadikan ruang belajar bagi anak-anak desa.
“Mbah mau kemana?” tanya Arman setengah berteriak.
Arman kemudian menyusul mbah Karto dengan langkah tergesa-gesa dengan harapan dapat menyusul mbah Karto yang tubuhnya hampir hilang ditelan oleh kerumunan pohon ubi miliknya.
“Mau ronda Man, siapa tau ada arwah orang Belanda yang masih penasaran padaku yang aku bunuh dengan ranjau miliknya sendiri dan mungkin arwah itu ingin balas dendam padaku ” jawab mbah Karto sambil berteriak dengan suara parau yang khas.
Arman menghentikan langkahnya, begitu banyak pertimbangan untuk melebihi nyali mbah Karto. Akhirnya Arman berbalik arah dan kembali mengikuti jalan setapak menuju perkampungan tempat tinggalnya.
Semakin jauh Arman meninggakan bekas telapak kakinya yang awalnya menginjak-injak tanah bersama mbah Karto di kebun ubi dekat bangunan yang dulunya menjadi tempat persembunyian penjajah.
Semakin jauh kaki Arman melangkah dengan tiba-tiba langkahnya dihentikan oleh desiran angin yang berhembus bersama sayup tangis rintih yang mengusik telinganya.
“Suara itu datang lagi” gumam Arman.
Rasa penasaran yang menghantui pikiran Arman semakin besar, dia sangat yakin jika ada orang di dalam gedung yang baru saja dia tinggalkan.
Akhirnya Arman memutuskan untuk kembali melihat gedung tua itu, mantap sekali langkah Arman tanpa ada rasa ragu ataupun rasa takut.
Langkah kaki Arman menyusuri jalan setapak di tengah-tengah kebun ubi milik mbah Karto.
Langkanya tiba-tiba terhenti di depan pintu gereja yang berdekatan dengan gedung tua tersebut, beberapa saat Arman hanya berdiri tanpa bergerak, dengan perlahan Arman mengangkat senter yang digenggamnya kemudian sinar senter itu diarahkan ke dalam ruangan melalui pintu gereja. Dengan perlahan diayunkan langkah Arman menuju pintu dan menerobos masuk kedalam ruang gereja, dengan napas penuh curiga dan rasa takut, disandarkanlah tubuh arman disamping pintu sehingga tidak nampak dari luar, sesekali Arman julurkan lehernya keluar berharap ada orang yang akan membantu mengobati rasa takutnya itu. Keringat mulai bercucuran membasahi tubuh Arman, sinar senter Arman kini diarahkan keluar melalui pintu dan menyoroti rimbun pepohonan dan semak belukar yang bergerak berkilauan terkena sinar senter.
“Kok tak ada orang yang lewat, biasanya banyak orang ronda lewat sini. Mbah Karto tadi juga kemana ya” gumam Arman.
“Wah jangkrek tenan” sumpah serapah keluar dari mulut Arman yang hitam pekat karena terbakar oleh tembakau rokok yang setiap hari diemutnya.
Arman mengerutkan kening dan mengecilkan bola matanya, dia melihat sinar senter di ujung barat menuju kearahnya.
Tak berapa lama dua orang berjalan beriringan dengan memakai topi hitam yang hanya ditempelkan diatas kepala, dan orang disebelahnya terlihat botak berkilau seperti pantat monyet. Berulangkali mereka berhenti melihat kanan kiri seolah mencari puntung rokok yang tercecer di jalanan, kemudian mengencangkan sarung yang diikat dipinggang lalu berjalan lagi sambil mengarahkan sinar senternya tak beraturan kesegala penjuru sudut sesuka tangan mereka bergerak.
Arman pun tercengang diam tak beranjak, disorotkan senter ke arah dua orang yang berada di jalan tepat di depan gereja tua itu, kemudian dilambai-lambaikan tangan Arman, kedua orang itu membalas menyorotkan sinar senternya ke arah Arman.
“Jo.. Jo, siapa yang berani menyoroti muka kita dengan senter itu?” tanya Kiran kepada teman di sampingnya yang sedang sibuk mengencangkan sarung dipingangnya.
“Iya Ran, aku juga merasa disoroti, ayo kita lihat. Jangan-jangan maling Ran” kata Paijo.
Kedua lelaki itu melesat melompati semak belukar disamping jalan menghampiri Arman yang sedang ketakutan.
“Walah kamu to Man, ngapain kamu disini, mau maling ya? tanya Kiran kepada Arman.
“Siapa yang mau maling, dasar pikiran tukang ronda, liat di sana? Arman mengarahkan jari telunjuknya ke dalam gereja di bawah tiang salip yang dengan jelas tertulis “INRI” di atas patung Yesus.
Terdengar isak tangis seorang bersama anaknya yang diapit oleh tangan layu berisi tulang berselimut kulit keriput berwarna gelap kecoklatan.
“Hentikan! Tak sangup aku terbaring dalam gelap sunyi dunia yang penuh amarah ini” isak ibu renta sambil memegangi anak lelaki tanpa busana.
Isak tangis ibu kembali mengema dalam ruang gereja, sesekali tangannya mengelus dahi anak yang dipeluknya.
“Apa Kau tak melihat, anugrahMu tak dapat memejamkan mata dengan hangat, karena perut kosong yang terus menggerus dalam dingin ini. Kini kuhadiahkan malam agar dia bisa tidur dan tidak merasa bersalah. Apa yang Kau lihat?” keluh ibu dengan nada merintih.
“Bu.. apa yang kau lakukan disini?” tanya Arman.
“Aku memohon pada Tuhanku, aku bersujud padaNya agar anakku dapat tersenyum kembali bersama mentari terbit yang menyinari embun pagi.
“Kenapa dengan anak itu” sela Kiran.
“Dia kehausan, sedangkan susuku telah teremas kering bersama kerontang alam karena terbagi oleh musim yang semakin mengila. Dia juga kelaparan, sedangkan tanganku takmampu lagi menggengam” jawab ibu renta itu ringan penuh dengan senyum pucat pasi.
Dengan langkah perlahan Paijo mendekati ibu yang duduk bersimpuh bersama anak kecil yang dipelukknya.
Rasa penasaran membuat Paijo berani untuk memegang pundak ibu dan melirik anak yang dipelukknya. Tangan Paijo menjulur memegang pergelangan tangan dan berganti meletakkan jari telunjuknya tepat di depan hidung anak yang di peluk ibunya.
Dengan kaki gemetar Paijo kembali mundur ke arah Arman dan mengarahkan moncong bibirnya di samping telinga Arman.
“Man, anak itu sudah tak bernyawa lagi” bisik Paijo.
“Yang bener kamu Jo” jawab Arman dengan perlahan.
Karena tidak percaya dengan perkataan Paijo, Arman melangkahkan kakinya ke arah ibu itu lantas melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Paijo
“Benar Jo apa katamu, anak ini sudah meninggal” teriak Arman.
“Lalu apa yang harus kita lakukan Man?” tanya Kiran dengan gugup.
“Beri tahu warga Ran” jawab Arman.
Dengan tunggang langgang Paijo keluar gereja kemudian memukul kentongan yang dibawanya bertubi-tubi sambil berlari menuju perkampungan penduduk.
SELESAI
Sayup tangis terdengar dari gedung tua di seberang jalan samping gereja yang hampir roboh termakan usia. Malam itu dingin menyelimuti desa Kelabuan yang terletak di lereng gunung Merbabu, udara malam itu terasa meremas tubuh hingga meremukkan tulang belulang yang diselimuti oleh kulit, desa kecil yang dikelilingi perbukitan itu sangat sunyi, hanya kelap-kelip lampu teplok yang menghiasi rumah penduduk yang jumlahnya tidah lebih dari seratus buah dan dihuni lebih dari delapan puluh kepala keluarga. Sinar lampu teplok itu seolah menjelma menjadi kunang-kunag penghias malam. Desa Kelabuan memang sangat sepi, desa terpencil pusat irigasi yang mengairi sawah-sawah desa lain yang berada di bawah bukit. Yang terdengar hanya gemercik air menetes dan deru angin menembus kesunyian menerkam dedaunan hingga menjerit.
Malam itu Arman terus berjalan mengendap-endap di dalam kebun ubi milik mbah Karto, bulan sabit sembunyi di balik awan seolah memperhatikan gerak-gerik Arman yang mencurigakan. Langkah Arman sangat teliti dalam meletakkan telapak kakinya di atas tanah berharap tiada ranting kering yang diinjaknya, sehingga tidak akan mengnimbulkan bunyi berisik. Sambil membungkuk dia sorotkan lampu senternya ke bangunan kelas yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah condong ke barat seolah ingin ikut bersama mentari yang akan kembali keperaduannya. Tak berapa lama sinar senter Arman telah menjamah setiap sudut dinding tanpa ada yang tertinggal.
Arman hanya menggelengkan kepala, sambil menghela nafas panjang menandakan keputus asaan sambil menginjak ranting hingga patah.
“Hayo.. maling ya” teriak seseorang sambil memukul pundak Arman kemudian memegangi tangan Arman dengan erat sehingga membuat Arman menjerit kesakitan.
sumpah serapah Arman keluar tanpa dapat dikontrol karena ada orang yang memegangi dan memukul pundaknya sambil berteriak menuduh dirinya maling.
“Woiiiii…. Setan, siapa yang maling mbah” suara arman lirih mengeram penuh amarah.
“La kamu ngapain di kebunku tengah malam begini kalau tidak mau maling?” tanya mbah Karto geram.
“Sssssssstttttt….” bunyi keluar dari bibir arman yang monyong sambil metakkan jari telunjuknya di depan bibir mbah Karto.
“Mbah saya ini tidak doyan makan ubi seperti ini, kenapa juga saya harus maling ubi mbah Karto” jelas Arman sombong demi meyakinkan mbah Karto.
“La terus kenapa kamu malam-malam mengendap-endap di kebunku ini Man?” tanya mbah Karto sambil memelototkan matanya tepat di depan muka Arman.
“Mbah sudah lama disini?” tanya Arman.
“Sudah dari matahari ngantuk dan kembali ketempat tidurnya Man” jawab mbah Karto
“Mbah tidak dengar ada orang nangis di ruag kelas itu?” tanya Arman lagi
“Ndak tu, embah ndak dengar apa-apa kok” jawab mbah Karto.
“Masak si mbah ga dengar suara orang nangis, budek kali ya
mbah” tegas Arman kesal.
“Man.. Man.. kamu itu masih bau kencur, dibilangin orang tua yang sudah banyak makan asam garam kok ndak percaya” mbah Karto menegaskan dengan nada meninggi.
Mbah Karto berjalan meninggalkan Arman begitu saja, langkah orang tua ini tak sekuat akar pohon pinang yang buahnya selalu menjadi teman makan sirihnya. Tapi pengalaman pemburu penjajah rakyat Indonesia ini patut untuk diacungi jempol. Karena dulu mbah Karto menjadi Veteran perang dan sempat menembak jatuh pesawat tempur Belanda hanya dengan menggunakan senjata rakitannya sendiri.
Dan berkat jasa-jasanya itu rakyat Indonesia dapat merasakan nikmatnya kebebasan meskipun para pejuang kemerdekaan yang sesungguhnya seperti mbah Karto ini telah dikucilkan dan tidak dianggap oleh Negara yang telah dibesarkannya.
Perlahan langkah mbah Karto menuju gedung yang dulu pernah menjadi tempat persembunyian para penjajah Belanda dari kepungan para pejuang gerilya Indonesia pimpinan mbah Karto, dan sekarang gedung yang berdekatan dengan gereja tua itu telah dijadikan ruang belajar bagi anak-anak desa.
“Mbah mau kemana?” tanya Arman setengah berteriak.
Arman kemudian menyusul mbah Karto dengan langkah tergesa-gesa dengan harapan dapat menyusul mbah Karto yang tubuhnya hampir hilang ditelan oleh kerumunan pohon ubi miliknya.
“Mau ronda Man, siapa tau ada arwah orang Belanda yang masih penasaran padaku yang aku bunuh dengan ranjau miliknya sendiri dan mungkin arwah itu ingin balas dendam padaku ” jawab mbah Karto sambil berteriak dengan suara parau yang khas.
Arman menghentikan langkahnya, begitu banyak pertimbangan untuk melebihi nyali mbah Karto. Akhirnya Arman berbalik arah dan kembali mengikuti jalan setapak menuju perkampungan tempat tinggalnya.
Semakin jauh Arman meninggakan bekas telapak kakinya yang awalnya menginjak-injak tanah bersama mbah Karto di kebun ubi dekat bangunan yang dulunya menjadi tempat persembunyian penjajah.
Semakin jauh kaki Arman melangkah dengan tiba-tiba langkahnya dihentikan oleh desiran angin yang berhembus bersama sayup tangis rintih yang mengusik telinganya.
“Suara itu datang lagi” gumam Arman.
Rasa penasaran yang menghantui pikiran Arman semakin besar, dia sangat yakin jika ada orang di dalam gedung yang baru saja dia tinggalkan.
Akhirnya Arman memutuskan untuk kembali melihat gedung tua itu, mantap sekali langkah Arman tanpa ada rasa ragu ataupun rasa takut.
Langkah kaki Arman menyusuri jalan setapak di tengah-tengah kebun ubi milik mbah Karto.
Langkanya tiba-tiba terhenti di depan pintu gereja yang berdekatan dengan gedung tua tersebut, beberapa saat Arman hanya berdiri tanpa bergerak, dengan perlahan Arman mengangkat senter yang digenggamnya kemudian sinar senter itu diarahkan ke dalam ruangan melalui pintu gereja. Dengan perlahan diayunkan langkah Arman menuju pintu dan menerobos masuk kedalam ruang gereja, dengan napas penuh curiga dan rasa takut, disandarkanlah tubuh arman disamping pintu sehingga tidak nampak dari luar, sesekali Arman julurkan lehernya keluar berharap ada orang yang akan membantu mengobati rasa takutnya itu. Keringat mulai bercucuran membasahi tubuh Arman, sinar senter Arman kini diarahkan keluar melalui pintu dan menyoroti rimbun pepohonan dan semak belukar yang bergerak berkilauan terkena sinar senter.
“Kok tak ada orang yang lewat, biasanya banyak orang ronda lewat sini. Mbah Karto tadi juga kemana ya” gumam Arman.
“Wah jangkrek tenan” sumpah serapah keluar dari mulut Arman yang hitam pekat karena terbakar oleh tembakau rokok yang setiap hari diemutnya.
Arman mengerutkan kening dan mengecilkan bola matanya, dia melihat sinar senter di ujung barat menuju kearahnya.
Tak berapa lama dua orang berjalan beriringan dengan memakai topi hitam yang hanya ditempelkan diatas kepala, dan orang disebelahnya terlihat botak berkilau seperti pantat monyet. Berulangkali mereka berhenti melihat kanan kiri seolah mencari puntung rokok yang tercecer di jalanan, kemudian mengencangkan sarung yang diikat dipinggang lalu berjalan lagi sambil mengarahkan sinar senternya tak beraturan kesegala penjuru sudut sesuka tangan mereka bergerak.
Arman pun tercengang diam tak beranjak, disorotkan senter ke arah dua orang yang berada di jalan tepat di depan gereja tua itu, kemudian dilambai-lambaikan tangan Arman, kedua orang itu membalas menyorotkan sinar senternya ke arah Arman.
“Jo.. Jo, siapa yang berani menyoroti muka kita dengan senter itu?” tanya Kiran kepada teman di sampingnya yang sedang sibuk mengencangkan sarung dipingangnya.
“Iya Ran, aku juga merasa disoroti, ayo kita lihat. Jangan-jangan maling Ran” kata Paijo.
Kedua lelaki itu melesat melompati semak belukar disamping jalan menghampiri Arman yang sedang ketakutan.
“Walah kamu to Man, ngapain kamu disini, mau maling ya? tanya Kiran kepada Arman.
“Siapa yang mau maling, dasar pikiran tukang ronda, liat di sana? Arman mengarahkan jari telunjuknya ke dalam gereja di bawah tiang salip yang dengan jelas tertulis “INRI” di atas patung Yesus.
Terdengar isak tangis seorang bersama anaknya yang diapit oleh tangan layu berisi tulang berselimut kulit keriput berwarna gelap kecoklatan.
“Hentikan! Tak sangup aku terbaring dalam gelap sunyi dunia yang penuh amarah ini” isak ibu renta sambil memegangi anak lelaki tanpa busana.
Isak tangis ibu kembali mengema dalam ruang gereja, sesekali tangannya mengelus dahi anak yang dipeluknya.
“Apa Kau tak melihat, anugrahMu tak dapat memejamkan mata dengan hangat, karena perut kosong yang terus menggerus dalam dingin ini. Kini kuhadiahkan malam agar dia bisa tidur dan tidak merasa bersalah. Apa yang Kau lihat?” keluh ibu dengan nada merintih.
“Bu.. apa yang kau lakukan disini?” tanya Arman.
“Aku memohon pada Tuhanku, aku bersujud padaNya agar anakku dapat tersenyum kembali bersama mentari terbit yang menyinari embun pagi.
“Kenapa dengan anak itu” sela Kiran.
“Dia kehausan, sedangkan susuku telah teremas kering bersama kerontang alam karena terbagi oleh musim yang semakin mengila. Dia juga kelaparan, sedangkan tanganku takmampu lagi menggengam” jawab ibu renta itu ringan penuh dengan senyum pucat pasi.
Dengan langkah perlahan Paijo mendekati ibu yang duduk bersimpuh bersama anak kecil yang dipelukknya.
Rasa penasaran membuat Paijo berani untuk memegang pundak ibu dan melirik anak yang dipelukknya. Tangan Paijo menjulur memegang pergelangan tangan dan berganti meletakkan jari telunjuknya tepat di depan hidung anak yang di peluk ibunya.
Dengan kaki gemetar Paijo kembali mundur ke arah Arman dan mengarahkan moncong bibirnya di samping telinga Arman.
“Man, anak itu sudah tak bernyawa lagi” bisik Paijo.
“Yang bener kamu Jo” jawab Arman dengan perlahan.
Karena tidak percaya dengan perkataan Paijo, Arman melangkahkan kakinya ke arah ibu itu lantas melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Paijo
“Benar Jo apa katamu, anak ini sudah meninggal” teriak Arman.
“Lalu apa yang harus kita lakukan Man?” tanya Kiran dengan gugup.
“Beri tahu warga Ran” jawab Arman.
Dengan tunggang langgang Paijo keluar gereja kemudian memukul kentongan yang dibawanya bertubi-tubi sambil berlari menuju perkampungan penduduk.
SELESAI
GALAU bagian satu
Malam ini, terhambur
Hiruk pikuk dunia masih menyala
Kawan, bagiku masih sangat hening
Kemana kau berlari!
Kawan, ayo kembali. Bantu aku kemasi hati terserak
Sepi kawan, sepi sekali, sangat sepi
Kemana kau, apa sudah mati?
Oh, jangan kawan, jangan mati
Kalau kau mati dengan siapa aku disini?
Dengan arwahmu?
Aku tak sudi!
Lebih baik aku mati sepi
Tiada jua peduli pada jasat ini
Kawan, tungu aku
Kita bermain sampai esok dunia mati
(Karya: Agus Ardiansyah)
Hiruk pikuk dunia masih menyala
Kawan, bagiku masih sangat hening
Kemana kau berlari!
Kawan, ayo kembali. Bantu aku kemasi hati terserak
Sepi kawan, sepi sekali, sangat sepi
Kemana kau, apa sudah mati?
Oh, jangan kawan, jangan mati
Kalau kau mati dengan siapa aku disini?
Dengan arwahmu?
Aku tak sudi!
Lebih baik aku mati sepi
Tiada jua peduli pada jasat ini
Kawan, tungu aku
Kita bermain sampai esok dunia mati
(Karya: Agus Ardiansyah)
GALAU Bagian dua
Kawan, dunia telah rapuh
Rumah kita telah renta
Sebentar lagi, sebentar lagi mati
Sekejap lagi aku tak sendiri sepi
Tunggu aku di persimpangan keramaian
Gantungkan tanda biar aku tau
Bawakan kereta paling indah
Kawan, kan ku pacu sendiri
Kan ku tinggal sepi
(karya: Agus Ardiansyah)
Rumah kita telah renta
Sebentar lagi, sebentar lagi mati
Sekejap lagi aku tak sendiri sepi
Tunggu aku di persimpangan keramaian
Gantungkan tanda biar aku tau
Bawakan kereta paling indah
Kawan, kan ku pacu sendiri
Kan ku tinggal sepi
(karya: Agus Ardiansyah)
BAJINGAN!!!
Persetan dengan bualmu
Mati terkutuk
Terpendam pada liang tak bernisan
Jiwaku tak ringan
Hidup, bukan permainan
Aku tak sudi tenggelam
(Karya: Agus Ardiansyah)
Mati terkutuk
Terpendam pada liang tak bernisan
Jiwaku tak ringan
Hidup, bukan permainan
Aku tak sudi tenggelam
(Karya: Agus Ardiansyah)
Senin, 24 Mei 2010
Sederhana
Tak terasa liburan telah tiba dan besok sepupu-sepupu Ani akan berlibur di Palembang. Ani pun sudah menyiapkan semuanya serapi-rapinya. Mulai dari kamar untuk tidur telah disiapkan, para sepupunya pastiakan nyaman tidur di kamar itu. Bukan itu saja, Ani bahkan telah menyiapkan rencana kegiatan mereka selama dua minggu. Hari pertama, mereka istirahat saja di rumah pohin di belakang rumah.
Hari kedua, ketiga, keempat semua sudah terencana dengan rapi. Rumah Ani terletak di salah satu perkampungan di kota Palembang dapat dikatan jauh dari pusat kota, rumahnya pun tidak sebagus dan seluas rumah para sepupunya di Jakarta, tetapi di perkampungan itu semua tempat boleh untuk bermain. Tanpa takut ditabrak, tanpa takut dimarahi siapapun, dan yang pasti tanpa bayar. Namun ada satu hal yang masih menganjal Ani, yaitu soal makanan. Ani tahu, para sepupunya itu susah sekali makan, mereka hanya suka ayam goring tepung, nugget, sosis, dan sejenisnya.
Masalahnya, di rumah Ani yang jauh dari pusat kota itu, tidak ada makanan seperti itu. Kalau sekali-kali mau makan ayam goring, ibu akan memotong ayam untuk dimasak itupun untuk dihari istimewa. Selama ini keluarga Ani lebih banyak makan sayur yang tinggal ambil saja dari kebun.lauknya sekedar tempe atau tahu yang diantar langsung penjualnya tiap pagi. Terkadang ikan di kolam samping rumah diambil. Begitu-begitu saja, tapi karena ibu pintar mengolahnya semua terasa enak saja. Tapi apa para sepupunya itu juga akan beranggapan sama? Ani ragu.
“kalau nanti Nova, Rudi dan Farid ke sini mereka makan apa, bu?” Tanya Ani. “ya makan seperti yang kita biasa makan.” Jawab ibu. “apa mereka mau makanan kampung, bu? Lauk mereka di sana kan enak terus.” “Ani, makanan lezat dan enak itu bukannya terbuat dari bahan mahal. Tapi bahan baku makanan enak itu, rasa lapar.” Ani bingung. ibu aneh ya? Mana ada makanan yang bahan bakunya rasa lapar? “maksud ibu begini. Kalau misalnya kamu disuruh makan makanan yang terbuat dari bahan mahal tapi saat itu kamu sedang tidak lapar. Rasanya seperti apa? Lalu bandingkan dengan saat kamu hanya makan dengan tempe, lalap, dan sambal, tapi saat itu sedang lapar betul. Lebih enak yang mana?” ya. . . lebih enak yang kedua, jawab Ani. Kita jadi, lebih mensyukuri makanan kita, rezeki kita. Tegas Ani. Seletah hal tersebut terjawab Ani pun tidak memusungkan lagi masalaah makanan untuk para sepupunya itu.
Karya m. syawaludin
Hari kedua, ketiga, keempat semua sudah terencana dengan rapi. Rumah Ani terletak di salah satu perkampungan di kota Palembang dapat dikatan jauh dari pusat kota, rumahnya pun tidak sebagus dan seluas rumah para sepupunya di Jakarta, tetapi di perkampungan itu semua tempat boleh untuk bermain. Tanpa takut ditabrak, tanpa takut dimarahi siapapun, dan yang pasti tanpa bayar. Namun ada satu hal yang masih menganjal Ani, yaitu soal makanan. Ani tahu, para sepupunya itu susah sekali makan, mereka hanya suka ayam goring tepung, nugget, sosis, dan sejenisnya.
Masalahnya, di rumah Ani yang jauh dari pusat kota itu, tidak ada makanan seperti itu. Kalau sekali-kali mau makan ayam goring, ibu akan memotong ayam untuk dimasak itupun untuk dihari istimewa. Selama ini keluarga Ani lebih banyak makan sayur yang tinggal ambil saja dari kebun.lauknya sekedar tempe atau tahu yang diantar langsung penjualnya tiap pagi. Terkadang ikan di kolam samping rumah diambil. Begitu-begitu saja, tapi karena ibu pintar mengolahnya semua terasa enak saja. Tapi apa para sepupunya itu juga akan beranggapan sama? Ani ragu.
“kalau nanti Nova, Rudi dan Farid ke sini mereka makan apa, bu?” Tanya Ani. “ya makan seperti yang kita biasa makan.” Jawab ibu. “apa mereka mau makanan kampung, bu? Lauk mereka di sana kan enak terus.” “Ani, makanan lezat dan enak itu bukannya terbuat dari bahan mahal. Tapi bahan baku makanan enak itu, rasa lapar.” Ani bingung. ibu aneh ya? Mana ada makanan yang bahan bakunya rasa lapar? “maksud ibu begini. Kalau misalnya kamu disuruh makan makanan yang terbuat dari bahan mahal tapi saat itu kamu sedang tidak lapar. Rasanya seperti apa? Lalu bandingkan dengan saat kamu hanya makan dengan tempe, lalap, dan sambal, tapi saat itu sedang lapar betul. Lebih enak yang mana?” ya. . . lebih enak yang kedua, jawab Ani. Kita jadi, lebih mensyukuri makanan kita, rezeki kita. Tegas Ani. Seletah hal tersebut terjawab Ani pun tidak memusungkan lagi masalaah makanan untuk para sepupunya itu.
Karya m. syawaludin
ARAH HIDUP
Detik – detik waktu mengalir
Mengantar sampan hidup menuju ajal
Terbuang, terluka, terhina…….
Hanya kesabaran perhiasan hati
Ingat akan tuhan
Membimbing Qalbu menuju damai
Membuka mata, hancurkan hina
S’moga TUHAN selalu dihati
Selamanya……
Karya: Meliyanti
Mengantar sampan hidup menuju ajal
Terbuang, terluka, terhina…….
Hanya kesabaran perhiasan hati
Ingat akan tuhan
Membimbing Qalbu menuju damai
Membuka mata, hancurkan hina
S’moga TUHAN selalu dihati
Selamanya……
Karya: Meliyanti
JEJAK
Andai jejak adalah masa lalu
Maka izinkan aku menapaki
Jejak – jejak itu
Andai jejak adalah masa lalu
Biar, biar aku mengenang saat – saat itu
Dalam pekat malam merayap
Dan menahan hampa dalam dekapan jauh
Sinar sang dewi malam
Biarlah, biarlah tenang dalam dekapanya
Di puncak singgah sana tertinggi
Karya M. Syawaludin
Maka izinkan aku menapaki
Jejak – jejak itu
Andai jejak adalah masa lalu
Biar, biar aku mengenang saat – saat itu
Dalam pekat malam merayap
Dan menahan hampa dalam dekapan jauh
Sinar sang dewi malam
Biarlah, biarlah tenang dalam dekapanya
Di puncak singgah sana tertinggi
Karya M. Syawaludin
HARAPAN TULUS
Terima AKU apa adanya
Aku ingin berikankan kasih sayangku
hanya untukmu
semampu dan sekuat cintaku hanya untuk mu
maafkan jika cinta ku tak sempurna
seperti cinta yang kau harapkan
dan ku ingin selalu bersama mu
moga cinta dan kasih sayang ini akan kekal abadi
By: Humairoh
Aku ingin berikankan kasih sayangku
hanya untukmu
semampu dan sekuat cintaku hanya untuk mu
maafkan jika cinta ku tak sempurna
seperti cinta yang kau harapkan
dan ku ingin selalu bersama mu
moga cinta dan kasih sayang ini akan kekal abadi
By: Humairoh
Minggu, 16 Mei 2010
Puisi "Entah di Mana"
Resah....
Gelisah...
selalu menghantui diriku
yang selau datang menghampiri setiap denyut jantungku
haruskah ku mencari sesuatu?
Tapi,
Apa itu?
apa yang kucari berbentuk bintang yang gemerlapan
Tapi,
kapan dan dimana harus kudapatkan bintang itu?
bintang yang menyinari kegelapan dan kesunyian hatiku.
Bintang yang menerangi hidup dan jiwaku
andaikan bintang itu ada di depan mataku
kan ku raih dengan tanganku sendiri
tak seorangpun ku biarkan meraih bintang itu
karena bintang itu
milik ku
selamanya
dan selamanya
(karya: Sulastinah)
Gelisah...
selalu menghantui diriku
yang selau datang menghampiri setiap denyut jantungku
haruskah ku mencari sesuatu?
Tapi,
Apa itu?
apa yang kucari berbentuk bintang yang gemerlapan
Tapi,
kapan dan dimana harus kudapatkan bintang itu?
bintang yang menyinari kegelapan dan kesunyian hatiku.
Bintang yang menerangi hidup dan jiwaku
andaikan bintang itu ada di depan mataku
kan ku raih dengan tanganku sendiri
tak seorangpun ku biarkan meraih bintang itu
karena bintang itu
milik ku
selamanya
dan selamanya
(karya: Sulastinah)
Keraguan
Di hatiku menyimpan sejuta keraguan
keraguan akan cintamu
keraguan akan sayangmu
dan keraguan akan ketulusanmu
kau biarkan aku memilikimu
tetapi mengapa menyakiti aku
hatiku selalu bertanya-tanya
apakah yang sebenarnya yang kau rasakan padaku
karena mungkin rasa itu sangat menyiksaku
rasa yang merenggut hari-hariku yang ceria
yang membuat aku ragu padamu
(karya: Maleni)
keraguan akan cintamu
keraguan akan sayangmu
dan keraguan akan ketulusanmu
kau biarkan aku memilikimu
tetapi mengapa menyakiti aku
hatiku selalu bertanya-tanya
apakah yang sebenarnya yang kau rasakan padaku
karena mungkin rasa itu sangat menyiksaku
rasa yang merenggut hari-hariku yang ceria
yang membuat aku ragu padamu
(karya: Maleni)
Harapanku
Memang sulit
untuk memahami seseorang
berucap satu kata
salah....
tak akan lagi aku sangup
mengepak sayap mengintari bumi
menyibak kabut dipagi,
sungguh.....
aku tak sangup walau hanya
memandang dunia
sampai terdiam tersentak tanpa kata
seakan dunia gelap oleh kabut
cahaya hilang ditelannya
aku merindukannya
tapi apakah
pernah terfikir olehmu
jika satu kata itu
dapat membawamu
ke jalan Tuhan
(karya: Roaidah)
untuk memahami seseorang
berucap satu kata
salah....
tak akan lagi aku sangup
mengepak sayap mengintari bumi
menyibak kabut dipagi,
sungguh.....
aku tak sangup walau hanya
memandang dunia
sampai terdiam tersentak tanpa kata
seakan dunia gelap oleh kabut
cahaya hilang ditelannya
aku merindukannya
tapi apakah
pernah terfikir olehmu
jika satu kata itu
dapat membawamu
ke jalan Tuhan
(karya: Roaidah)
Rasa Itu
ketika rasa itu hadir
aku terpesona oleh indahnya
hatikupun bertanya
apakah ini mimpi atau halusinasi
kuhayati dan kuresapi
tapi rasa itu semakin nyata
dengan satu harapan
kiranya akan hadir dihati ini
dengan sejuta warna
rasa itu adalah kamu
selamanya dengan cinta
(karya: Sutriani)
aku terpesona oleh indahnya
hatikupun bertanya
apakah ini mimpi atau halusinasi
kuhayati dan kuresapi
tapi rasa itu semakin nyata
dengan satu harapan
kiranya akan hadir dihati ini
dengan sejuta warna
rasa itu adalah kamu
selamanya dengan cinta
(karya: Sutriani)
Inilah Aku
Semua dari filsafat hidup
membuat untuk berpandangan luas
arti sebuah harapan dan pesan
berharap matahari akan tetap datang
aku akan tetaplah menjadi aku
walau takdir tak akan berubah
hidup akan tetap ada
walau luka tetap menganga
aku akan tetap menjadi diriku
walau takdir tidak mengikuti
seuntai harap akan terucap
untuk menanti di puncak gunung yang tinggi
(karya: Mitra R. Candra)
membuat untuk berpandangan luas
arti sebuah harapan dan pesan
berharap matahari akan tetap datang
aku akan tetaplah menjadi aku
walau takdir tak akan berubah
hidup akan tetap ada
walau luka tetap menganga
aku akan tetap menjadi diriku
walau takdir tidak mengikuti
seuntai harap akan terucap
untuk menanti di puncak gunung yang tinggi
(karya: Mitra R. Candra)
Jerit Kemiskinan
Jerit nurani mereka
tangis air mata mereka
lelahnya menatap matahari
hingga mereka tak mampu bernyawa
tuk menatap hari mereka
mereka menangis
mereka terenyuh
di dalam setip gubuk emiskinan
mereka menjerit
menjerit akan ketidak berdayaan
menjerit akan perihnya sebuah kemiskian
kadang mereka tertawa
tertawa dalam tangis
tertawa dalam kesengsaraan
yang terus menggerogoti kehidupan mereka
(karya: Febriani)
tangis air mata mereka
lelahnya menatap matahari
hingga mereka tak mampu bernyawa
tuk menatap hari mereka
mereka menangis
mereka terenyuh
di dalam setip gubuk emiskinan
mereka menjerit
menjerit akan ketidak berdayaan
menjerit akan perihnya sebuah kemiskian
kadang mereka tertawa
tertawa dalam tangis
tertawa dalam kesengsaraan
yang terus menggerogoti kehidupan mereka
(karya: Febriani)
Lukisan Dinda
wanita telanjang di atas batu
terselip sepengal kuas
disembah anak kecil merangkak
membawa sehelai kain putih
dia berkata, ini!
apa ada raut wajah ibuku disini?
(karya: Agus Ardiansyah)
Langganan:
Postingan (Atom)