Karya: Agus Ardiansyah
Sayup tangis terdengar dari gedung tua di seberang jalan samping gereja yang hampir roboh termakan usia. Malam itu dingin menyelimuti desa Kelabuan yang terletak di lereng gunung Merbabu, udara malam itu terasa meremas tubuh hingga meremukkan tulang belulang yang diselimuti oleh kulit, desa kecil yang dikelilingi perbukitan itu sangat sunyi, hanya kelap-kelip lampu teplok yang menghiasi rumah penduduk yang jumlahnya tidah lebih dari seratus buah dan dihuni lebih dari delapan puluh kepala keluarga. Sinar lampu teplok itu seolah menjelma menjadi kunang-kunag penghias malam. Desa Kelabuan memang sangat sepi, desa terpencil pusat irigasi yang mengairi sawah-sawah desa lain yang berada di bawah bukit. Yang terdengar hanya gemercik air menetes dan deru angin menembus kesunyian menerkam dedaunan hingga menjerit.
Malam itu Arman terus berjalan mengendap-endap di dalam kebun ubi milik mbah Karto, bulan sabit sembunyi di balik awan seolah memperhatikan gerak-gerik Arman yang mencurigakan. Langkah Arman sangat teliti dalam meletakkan telapak kakinya di atas tanah berharap tiada ranting kering yang diinjaknya, sehingga tidak akan mengnimbulkan bunyi berisik. Sambil membungkuk dia sorotkan lampu senternya ke bangunan kelas yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah condong ke barat seolah ingin ikut bersama mentari yang akan kembali keperaduannya. Tak berapa lama sinar senter Arman telah menjamah setiap sudut dinding tanpa ada yang tertinggal.
Arman hanya menggelengkan kepala, sambil menghela nafas panjang menandakan keputus asaan sambil menginjak ranting hingga patah.
“Hayo.. maling ya” teriak seseorang sambil memukul pundak Arman kemudian memegangi tangan Arman dengan erat sehingga membuat Arman menjerit kesakitan.
sumpah serapah Arman keluar tanpa dapat dikontrol karena ada orang yang memegangi dan memukul pundaknya sambil berteriak menuduh dirinya maling.
“Woiiiii…. Setan, siapa yang maling mbah” suara arman lirih mengeram penuh amarah.
“La kamu ngapain di kebunku tengah malam begini kalau tidak mau maling?” tanya mbah Karto geram.
“Sssssssstttttt….” bunyi keluar dari bibir arman yang monyong sambil metakkan jari telunjuknya di depan bibir mbah Karto.
“Mbah saya ini tidak doyan makan ubi seperti ini, kenapa juga saya harus maling ubi mbah Karto” jelas Arman sombong demi meyakinkan mbah Karto.
“La terus kenapa kamu malam-malam mengendap-endap di kebunku ini Man?” tanya mbah Karto sambil memelototkan matanya tepat di depan muka Arman.
“Mbah sudah lama disini?” tanya Arman.
“Sudah dari matahari ngantuk dan kembali ketempat tidurnya Man” jawab mbah Karto
“Mbah tidak dengar ada orang nangis di ruag kelas itu?” tanya Arman lagi
“Ndak tu, embah ndak dengar apa-apa kok” jawab mbah Karto.
“Masak si mbah ga dengar suara orang nangis, budek kali ya
mbah” tegas Arman kesal.
“Man.. Man.. kamu itu masih bau kencur, dibilangin orang tua yang sudah banyak makan asam garam kok ndak percaya” mbah Karto menegaskan dengan nada meninggi.
Mbah Karto berjalan meninggalkan Arman begitu saja, langkah orang tua ini tak sekuat akar pohon pinang yang buahnya selalu menjadi teman makan sirihnya. Tapi pengalaman pemburu penjajah rakyat Indonesia ini patut untuk diacungi jempol. Karena dulu mbah Karto menjadi Veteran perang dan sempat menembak jatuh pesawat tempur Belanda hanya dengan menggunakan senjata rakitannya sendiri.
Dan berkat jasa-jasanya itu rakyat Indonesia dapat merasakan nikmatnya kebebasan meskipun para pejuang kemerdekaan yang sesungguhnya seperti mbah Karto ini telah dikucilkan dan tidak dianggap oleh Negara yang telah dibesarkannya.
Perlahan langkah mbah Karto menuju gedung yang dulu pernah menjadi tempat persembunyian para penjajah Belanda dari kepungan para pejuang gerilya Indonesia pimpinan mbah Karto, dan sekarang gedung yang berdekatan dengan gereja tua itu telah dijadikan ruang belajar bagi anak-anak desa.
“Mbah mau kemana?” tanya Arman setengah berteriak.
Arman kemudian menyusul mbah Karto dengan langkah tergesa-gesa dengan harapan dapat menyusul mbah Karto yang tubuhnya hampir hilang ditelan oleh kerumunan pohon ubi miliknya.
“Mau ronda Man, siapa tau ada arwah orang Belanda yang masih penasaran padaku yang aku bunuh dengan ranjau miliknya sendiri dan mungkin arwah itu ingin balas dendam padaku ” jawab mbah Karto sambil berteriak dengan suara parau yang khas.
Arman menghentikan langkahnya, begitu banyak pertimbangan untuk melebihi nyali mbah Karto. Akhirnya Arman berbalik arah dan kembali mengikuti jalan setapak menuju perkampungan tempat tinggalnya.
Semakin jauh Arman meninggakan bekas telapak kakinya yang awalnya menginjak-injak tanah bersama mbah Karto di kebun ubi dekat bangunan yang dulunya menjadi tempat persembunyian penjajah.
Semakin jauh kaki Arman melangkah dengan tiba-tiba langkahnya dihentikan oleh desiran angin yang berhembus bersama sayup tangis rintih yang mengusik telinganya.
“Suara itu datang lagi” gumam Arman.
Rasa penasaran yang menghantui pikiran Arman semakin besar, dia sangat yakin jika ada orang di dalam gedung yang baru saja dia tinggalkan.
Akhirnya Arman memutuskan untuk kembali melihat gedung tua itu, mantap sekali langkah Arman tanpa ada rasa ragu ataupun rasa takut.
Langkah kaki Arman menyusuri jalan setapak di tengah-tengah kebun ubi milik mbah Karto.
Langkanya tiba-tiba terhenti di depan pintu gereja yang berdekatan dengan gedung tua tersebut, beberapa saat Arman hanya berdiri tanpa bergerak, dengan perlahan Arman mengangkat senter yang digenggamnya kemudian sinar senter itu diarahkan ke dalam ruangan melalui pintu gereja. Dengan perlahan diayunkan langkah Arman menuju pintu dan menerobos masuk kedalam ruang gereja, dengan napas penuh curiga dan rasa takut, disandarkanlah tubuh arman disamping pintu sehingga tidak nampak dari luar, sesekali Arman julurkan lehernya keluar berharap ada orang yang akan membantu mengobati rasa takutnya itu. Keringat mulai bercucuran membasahi tubuh Arman, sinar senter Arman kini diarahkan keluar melalui pintu dan menyoroti rimbun pepohonan dan semak belukar yang bergerak berkilauan terkena sinar senter.
“Kok tak ada orang yang lewat, biasanya banyak orang ronda lewat sini. Mbah Karto tadi juga kemana ya” gumam Arman.
“Wah jangkrek tenan” sumpah serapah keluar dari mulut Arman yang hitam pekat karena terbakar oleh tembakau rokok yang setiap hari diemutnya.
Arman mengerutkan kening dan mengecilkan bola matanya, dia melihat sinar senter di ujung barat menuju kearahnya.
Tak berapa lama dua orang berjalan beriringan dengan memakai topi hitam yang hanya ditempelkan diatas kepala, dan orang disebelahnya terlihat botak berkilau seperti pantat monyet. Berulangkali mereka berhenti melihat kanan kiri seolah mencari puntung rokok yang tercecer di jalanan, kemudian mengencangkan sarung yang diikat dipinggang lalu berjalan lagi sambil mengarahkan sinar senternya tak beraturan kesegala penjuru sudut sesuka tangan mereka bergerak.
Arman pun tercengang diam tak beranjak, disorotkan senter ke arah dua orang yang berada di jalan tepat di depan gereja tua itu, kemudian dilambai-lambaikan tangan Arman, kedua orang itu membalas menyorotkan sinar senternya ke arah Arman.
“Jo.. Jo, siapa yang berani menyoroti muka kita dengan senter itu?” tanya Kiran kepada teman di sampingnya yang sedang sibuk mengencangkan sarung dipingangnya.
“Iya Ran, aku juga merasa disoroti, ayo kita lihat. Jangan-jangan maling Ran” kata Paijo.
Kedua lelaki itu melesat melompati semak belukar disamping jalan menghampiri Arman yang sedang ketakutan.
“Walah kamu to Man, ngapain kamu disini, mau maling ya? tanya Kiran kepada Arman.
“Siapa yang mau maling, dasar pikiran tukang ronda, liat di sana? Arman mengarahkan jari telunjuknya ke dalam gereja di bawah tiang salip yang dengan jelas tertulis “INRI” di atas patung Yesus.
Terdengar isak tangis seorang bersama anaknya yang diapit oleh tangan layu berisi tulang berselimut kulit keriput berwarna gelap kecoklatan.
“Hentikan! Tak sangup aku terbaring dalam gelap sunyi dunia yang penuh amarah ini” isak ibu renta sambil memegangi anak lelaki tanpa busana.
Isak tangis ibu kembali mengema dalam ruang gereja, sesekali tangannya mengelus dahi anak yang dipeluknya.
“Apa Kau tak melihat, anugrahMu tak dapat memejamkan mata dengan hangat, karena perut kosong yang terus menggerus dalam dingin ini. Kini kuhadiahkan malam agar dia bisa tidur dan tidak merasa bersalah. Apa yang Kau lihat?” keluh ibu dengan nada merintih.
“Bu.. apa yang kau lakukan disini?” tanya Arman.
“Aku memohon pada Tuhanku, aku bersujud padaNya agar anakku dapat tersenyum kembali bersama mentari terbit yang menyinari embun pagi.
“Kenapa dengan anak itu” sela Kiran.
“Dia kehausan, sedangkan susuku telah teremas kering bersama kerontang alam karena terbagi oleh musim yang semakin mengila. Dia juga kelaparan, sedangkan tanganku takmampu lagi menggengam” jawab ibu renta itu ringan penuh dengan senyum pucat pasi.
Dengan langkah perlahan Paijo mendekati ibu yang duduk bersimpuh bersama anak kecil yang dipelukknya.
Rasa penasaran membuat Paijo berani untuk memegang pundak ibu dan melirik anak yang dipelukknya. Tangan Paijo menjulur memegang pergelangan tangan dan berganti meletakkan jari telunjuknya tepat di depan hidung anak yang di peluk ibunya.
Dengan kaki gemetar Paijo kembali mundur ke arah Arman dan mengarahkan moncong bibirnya di samping telinga Arman.
“Man, anak itu sudah tak bernyawa lagi” bisik Paijo.
“Yang bener kamu Jo” jawab Arman dengan perlahan.
Karena tidak percaya dengan perkataan Paijo, Arman melangkahkan kakinya ke arah ibu itu lantas melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Paijo
“Benar Jo apa katamu, anak ini sudah meninggal” teriak Arman.
“Lalu apa yang harus kita lakukan Man?” tanya Kiran dengan gugup.
“Beri tahu warga Ran” jawab Arman.
Dengan tunggang langgang Paijo keluar gereja kemudian memukul kentongan yang dibawanya bertubi-tubi sambil berlari menuju perkampungan penduduk.
SELESAI
Selasa, 25 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar