Oleh : Sulastinah
NPM : 2007112281
Dunia ini sangat kental dengan yang namanya uang. Uang merupakan zat pewarna yang selalu menghiasi indahnya kehidupan manusia setiap detiknya. Uang juga dapat menjadi racun dunia bagi makhluknya yang menyembah keindahan dan kemilaunya.
Tuti masih terduduk diam dalam lamunannya. Dia sangat menikmati indahnya khayalan itu, hingga diapun tak sadar kalau di sampingnya sudah ada seseorang yang boleh dibilang sangat mengejutkan dirinya, seseorang yang salah satu muncul di setiap lamunannya. Seseorang yang selalu menghantui di setiap angan-angannya, sebut saja Rendi, laki-laki yang sangat kaya, laki-laki yang sangat tahu akan kebutuhan wanita zaman sekarang, laki-laki yang menjadi idaman wanita baik kalangan bawah maupun kalangan atas.
“Hei…!!!” Tiba-tiba Rendi menyadarkan lamunan Tuti.
“Eh…ehm…kamu Ren? Bikin kaget aja deh, ngapain ke sini?” Tanya Tuti.
“Ciah….ngelamunin apa ni? Kayaknya seru banget deh, ikut dunk!” goda Rendi.
“ Ngelamunin jadi…..apa ya? udah ah…mau tahu aja kamu. Mau ke mana?
“Biasa…jalan yuk!!!ajak Rendi.
“Jalan ke mana? Aku sih mau aja asal seperti biasa juga. Pinta Tuti (sambil tersenyum nakal)”.
“Iya tahu lah, nggak mungkin dunk aku yang ngajak tapi membiarkan cewek yang bayar semuanya, udah kamu tenang aja, kamu mau apa aja pasti aku kasih deh”. Rendi meyakinkan Tuti.
“Oce deh, makasih ya sahabatku tersayang”. Rayu Tuti.
Hari itu, Tuti dan Rendi asyik dengan acara mereka, asyik dengan belanjaan, Rendi pun tidak segan-segan untuk membayar semua belanjaan Tuti karena menurutnya tidak menuruti kehendak Tuti sama saja dengan tidak beribadah satu tahun. Rendi selalu memanjakan Tuti dengan segala keperluan yang dibutuhkan Tuti, Rendi tidak pernah mempermasalahkan apa yang sudah ia berikan untuk sahabatnya itu. Namun, dibalik semua kebaikan yang ia lakukan Rendi menyimpan imbalan yang suatu saat nanti Tuti harus menggantikannya, imbalanya yang harus dituruti Tuti.
“Ren, makasih ya atas semuanya”, ucap Tuti.
“Udah nggak usah dipikirin, aku senang kok bantuin kamu, buat aku itu adalah kewajibanku untuk memenuhi kebutuhanmu, eits….jangan tersinggung dulu, aku tidak pernah menganggap kamu remeh, atau apalah, aku ngelakuin ini semua untuk kamu”.
“Makasih Ren, aku tahu mungkin kalau tidak karena kamu aku tidak akan bisa memiliki ini semua, karena kamu tahu sendiri, uangku hanya cukup untuk makan senin kamis, itu aja kadang aku makan sama kamu”. Keluh Tuti
Seiring berjalannya waktu, maka sering pula pertemuan itu mereka lakukan sehingga tidak disangka terpupuk juga rasa-rasa diantara mereka, tapi walaupun mereka tidak saling mengungkapkan, mereka tahu apa yang mereka rasakan adalah perasaan yang sama, perasaan yang selalu ingin bersama, perasaan yang selalu membuat mereka tidak ingin jauh dari satu sama lain.
Hingga tiba pada waktunya terjadi hal-hal yang membuat mereka tidak bisa untuk menerima semua kenyataan ini, rendi akan dibawa orang tuanya untuk pindah keluar kota, mereka sama-sama tidak ingin hal itu terjadi, sehingga membuat mereka harus melakukan sesuatu, terlebih-lebih Tuti, dia sangat takut kehilangan rendi, karena selain dia mencintai Rendi dia juga tidak munafik akan apa yang dimiliki Rendi, Tuti pun dengan segala nafsu yang terjadi pada dirinya berani untuk melakukan perbuatan yang sangat hina, dia menyerahkan semua keperawanannya untuk Rendi tidak lain dan tidak hal agar dia selalu bersama Rendi, begitupun dengan Rendi, ibarat kata pepatah, buah yang ada di pohon saja masih sanggup diambil untuk dinikmati hasilnya, apalagi buah yang sudah disuguhkan di depan mata tidak mungkin akan ditolaknya.
Dengan perasaan yang sangat menyesal perbuatan mereka diketahui orang tua mereka. Namun walaupun mereka telah melakukan perbuatan yang sangat hina itu, orang tua Rendi tetap akan membawa Rendi pergi ke luar kota, karena menurut orang tua Rendi kalau sampai Rendi masih terus bersama Tuti maka Rendi tidak akan pernah bahagia. Rendi dan Tuti sangat bingung apa yang harus mereka perbuat, mereka tidak ingin berpisah, tapi apa jua orang tua yang harus memaksa mereka agar tetap tidak berhubungan lagi.
“Maafkan aku Tuti, bukan aku yang menginginkan ini semua, aku ingin kita selalu bersama, canda tawa bersama, dan hidup bersama”, ungkap Rendi di stelpon.
“Tapi Ren, gimana dengan aku, apa kamu tidak kasihan padaku, apa kamu tidak tersentuh sedikitpun untuk berpikir dan membicarakan baik-baik dengan orang tuamu, aku tidak ingin kita berpisah (tabgis Tuti makin menjadi).
“Bukan aku tidak mau Tuti, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, “ jawab Rendi.
Dengan terpaksa Rendi menutup gagang teleponnya.
Keesokan harinya Tuti mendengar kabar kalau Rendi sudah tidak ada lagi, Rendi sudah pindah ke luar kota, Tutipun sangat kecewa kepada Rendi. Karena tak sedikitpun Rendi mempertahankan perjuangan mereka, hingga akhirnya Tuti pun memaksa untuk mencari tahu alamat Rendi sebenarnya. Dalam pencariannya itu, Tuti tidak sia-sia karena Tuti menemukan Rendi di salah satu Supermarket, di sana rendi sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
“Rendi!!!” panggil Tuti
“Rendi tunggu!” pinta Tuti.
“Tuti, kok kamu bisa ada di sini?” Tanya Rendi kaget.
“Rendi, aku ingin bicara sebentar dengan kamu, aku minta waktumu sedikit saja, setelah itu aku janji aku tidak akan mengganggumu lagi.” Pinta Tuti.
“Baiklah, kita cari tempat yang lebih nyaman,” ajak Rendi.
“Ren, maafkan aku bila menurutmu aku lancing untuk menemuimu, tapi aku sangat membutuhklanmu Ren, aku janji setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi”. Lirih Tuti
“Ada apa Tuti? Sepertinya kamu sangat membutuhkan pertolonganku”. Tanya Rendi lagi
“Ren, aku mohon padamu, aku butuh bantuanmu, jujur aku malu harus bicara apa padamu, tapi aku ras aku harus mengatakan ini semua, Ren…aku butuh uang, karena ibuku sangat membutuhkannya, ibuku terlilit hutang dengan rentenir, pabila kami tidak membayar hutang-hutang itu, maka aku yang akan menjadi taruhannya, aku yang harus menikah dengan rentenir itu, aku tidak mau Ren”, isak Tuti.
“Tuti, aku pasti akan membantumu, kamu tenang saja, aku tidak mungkin membiarkanmu tersiksa dari semua masalah ini.”
“Makasih Ren, aku janji aku tidak akan meminta pertanggungjawaban apa-apa denganmu karena aklu juga tahu kalau aku yang salah, aku yang sudah menyerahkannya tubuhku untukmu, bukan kamu yang memintanya”
“Eits…..kamu jangan bicara seperti itu Tuti, aku sangat bersalah apa yang sudah aku lakukan padmu, tidak seharusnya aku menuruti semua nafsuku, tidak seharusnya aku meninggalkanmu setelah apa yang aku lakukan pada u, aku sangat menyesal Tuti.
“Sudahlah Ren, kamu tidak salah, aku tidak akan menuntut apa-apa darimu, aku datang ke sini hanya butuh bantuanmu agar hutang-hutang ibuku lunas, dan aku tidak dinikahkan pad rentenir itu, rentenir jelek, rentenir bodoh, dan rentenir sombong itu. Ucap Tuti.
“ Sudahlah Tuti, ini aku ada sedikit uang untuk membantumu semoga uang ini cukup untuk membayar semua hutang-hutang ibumu”.
“Makasih Ren, jujur aku sangat malu atas apa yang aku lakukan, aku malu seolah-olah, apa yang aku lakukan ini adalah sebagai bentuk penjualan diri”.
“Tuti, kamu tidak boleh bicara seperti itu, maafkan aku Tuti, aku memang laki-laki tidak jantan yang lari dari tanggung jawab, aku janji aku pasti bertanggungjawab atas semua perbuatanku.” Ucap Rendi.
“Maksih Rendi, kalau kamu memang benar-benar ingin bertanggungjawab, aku tidak tahu harus ku letakkan di mana mukaku ini. Dengan berlinang air mata Rendi memluk Tuti.
“Oh, Tuhan terima kasih atas semua karuniamu, maafkan aku Tuhan yang salah dalam melangkah. Maafkan aku yang selalu tidak pernah mengahrgai apa yang sudah aku miliki, maafkan aku Tuhan yang sudah mengecewakan-Mu, orang tuaku dan orang yang berada di sekitarku.” Lirih Tuti dalam hati.
“Harta benda yang tak punya batas, membunuh manusia perlahan dengan kepuasan yang berbisa. Kasih sayang membangunkannya dan pedih perih nestapa membuka jiwanya.”
TAMAT
Kamis, 27 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
cerpen yang bagus....
BalasHapuskeren
BalasHapusLatar belakang pengarang ambil dimana???
BalasHapus