Senin, 28 Juni 2010

GUBUK DERITA

KARYA: Mitra

Gemuruh ombak memecahkan pagi itu seolah sebagai tanda bahwa aktivitas di sungai musi mulai ramai, ya mulai dari lalu lintas hilir mudik mulai dari kendaraan bermotor, mobil, sepeda bahkan ada yang sekedar berjalan kaki, seolah jembatan kebanggaan orang Palembang ini sungguh sangat berarti bagi masyarakat Palembang. Bisa dibayangkan jika satu hari saja jembatan ditutup berapa ribu orang yang akan merasa dirugikan, itu seolah menjadi cerminan begitu berharganya sebuah anugrah.
Pagi itu mang Wahid beraktifitas seperti biasanya lelaki paru baya itu merupakan salah satu dari veteran yang hidupnya sangat memprihatinkan disisa umurnya itu ia masih bekerja untuk sekedar melangsungkan kehidupan dan menyekolahkan cucunya. Mang Wahid memang orang yang begitu tegar setelah dia di tinggal oleh istrinya, dia bagaikan hidup sebatangkara anaknya yang sulung telah lama meninggal dan mempunyai anak 1 sedangkan putranya yang kedua juga tidak bersamanya karena putranya sudah lama mendekam di IP Pakjo Palembang, dikarenakan membunuh seseorang yang telah memeras ayahnya, dia pun meninggalkan anak 1 karena sang ibunya sudah lama menceraikan anaknya karena malu mempunyai suami pembunuh.
“Pempek…pempek…, pempek dek??” teriak mang Wahid menawarkan dagangannya, sesekali ia mengusap air keringat yang mengalir tanpa ia sadari di keningnya.
“pak pempek.”
“Lelaki parubaya itu pun menurunkan dagangannya dilantai.”
“ berapa harganya pak?”
“Rp 500 neng 1.”
“aku beli 4 pak.”
“ini neng…”
“terimah kasih pak.”
“iya neng.”
Begitulah kegiatan setiap harinya yang dilakukan oleh mang Wahid, kalau dipikir-pikir tidak seimbang dengan pengeluaran yang dibutuhkan oleh mang Wahid, karena ia menghidupkan anak cucuknya yang masih bersekolah, kalau bukan mang Wahid siapa lagi yang akan membiayai cucunya itu, karena ibunya telah lama pergi meninggalkan anaknya beserta suaminya karena anak mang Wahid telah membunuh, sehingga istrinya tak sanggup menanggung aib, maka ia meninggalkan anak beserta suaminya.
Matahari pun tanpa disadari telah kembali di ufuk Barat, dan suara adzan mulai bergema menandakan shalat magrib. Walaupun mang Wahid tidak mempunyai harta yang banyak dan serba kekurangan ia tak pernah meninggalkan shalat karena dengan jalan itulah ia mampu menopang kehidupannya. Sehabis selesai shalat ia selalu berdoa semoga anaknya diberikan kekuatan dan kesehatan dalam menempu kehidupannya di sebuah tahanan. Kerap kali ia melihat cucunya yang baru berusia 7 tahun meneteskan air mata, ia tak sanggup melihat cucunya yang serba kekurangan, bahkan sehabis pulang sekolah cucunya harus ikut berdagang bersamanya karena tidak ada yang menemani cucunya kalau ditinggal sendirian. Alangkah malang nasib cucunya.
“Nak kakek berharap kau lekas dewasa, sekolah yang tinggi, dan berakhlak baik.” Gumam kakek yang sambil menatap cucunya dengan belas kasih.
Walaupun kakek hidup dengan kekurangan namun ia tak pernah menyuruh cucunya untuk meminta-minta, mengamen, bahkan mencuri. Kakeknya selalu memberikan nasihat dan pembelajaran buat cucu satu-satunya. Ia tak mau cucunya terjerumus dengan hal-hal yang ia khawatirkan.
“Nak sudah belajar?” tanya mang Wahid pada cucunya.
“Ia kek Bayu sudah belajar dan buat PR.”
“Baguslah kalau gitu itu baru cucu kakek…”
“Ia kek.”
“Nak sudah makan?”
“Belum kek.”
“Kenapa belum makan?”
“Kakek saja belum makan?, dan Bayu lihat nasi di meja cuma sedikit dan lauknya pun sudah hampir basi.”
“Ya sudah kakek panasin dulu, yuk ikut kakek ke dapur.”
Mang Wahid beserta cucunya sibuk di dapur memanasi lauk untuk makan bersama.
“Makanlah nak?” ujar mang Wahid pada cucunya, karena nasinya hanya sedikit dan dikaleng tak ada beras lagi maka mang wahid menyuruh cucunya untuk makan terlebih dahulu.
“Loh kok kakek nyuruh Bayu makan sendiri, kita makan sama-sama saja.” Ujar cucu mang wahid yang masih polos belum tahu apa-apa.
“Ya sudah kakek suap bayu ya.”
“Ia kek.”
Begitulah aktivitas setiap harinya menjelang malam, setiap hari kakek memikirkan kelangsungan hidup cucunya supaya bisa makan dan bersekolah, di gubuk yang tua ini menjadi saksi betapa hancurnya hati kakek yang tua renta itu di sela-sela umurnya. Betapa tidak diumurnya yang telah tua ia menyisahkan kehidupan untuk cucunya, dan berpikir sendirian untuk melangsungkan kehidupan mereka berdua. Pada suatu ketika ia teringat perihal yang sangat menyedikan, ya perihal anaknya yang sekarang mendekam ditahanan, sungguh begitu banyak masalah yang dihadapi kakek parubaya itu peristiwa yang paling memiluhkan dalam hidupnya adalah ketika anak yang begitu disayanginya masuk penjara dikarenakan membela dirinya, sebenarnya anaknya tidaklah salah karena anak mana yang tega melihat orang tuanya diperas orang lain. Peristiwa kelabu itu berawal dari masalah yang sangat sepele, siang itu kakek parubaya itu menjajahkan dagangan pempeknya ke setiap orang tanpa diketahuinya dan sungguh diluar dugaannya ada penertipan pedagang yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja atau lebih dikenal dengan Sat Pol PP, naasnya polisi yang tidak berkeprimanusiaan itu sungguh tidak mempunyai sopan santun dan moral tanpa memandang orang, semua pedagang di bawa ke kantor Sat Pol PP tanpa terkecuali, sampai dikantor semua pedagang diperas dengan alasan denda, padahal uang pedagang tidak sampai dengan jumlah yang telah ditentukan, akhirnya lelaki parubaya itu menghubungi anaknya yang memang pulang dari kerja dalam keadaan yang sangat letih, dia sangat terkejut ketika mendengar ayahnya diperas Sat Pol PP ayahnya diancam masuk penjara jika tidak membayar denda. Ketika ia mendengar itu telinganya mendidih tanpa berpikir panjang lagi dia membunuh orang yang memeras tersebut ketika orang itu pulang kerja, dia pun khilaf telah melakukan hal yang seharusnya tidak ia lakukan.
Krek..krek….krek…suara pintu kamar yang dibuka oleh cucunya membangunkan lamunannya….
“Kek kok belum tidur?” ujar cucunya.
“Kakek kangen dengan ayahmu.”
“Sama kek Bayu juga.”
“Kapan kek Bayu bertemu dengan ayah?”
“Ia nanti ya nak.”
“Sekarang kita tidur dan besok Bayu mau sekolah nanti terlambat.”
Kakek dan cucunya pun masuk ke kamar dan tidur dengan begitu pulas. Suara ayam membagunkan sang kakek dan lalu mengambil air wudhu karena waktunya sahalat subuh.
“Bayu bangun nak.” Ujar kakek membagunkan bayu untuk shalat bersama-sama.
“Ia kek, da pagi ya kek?”
“Ia bangun ayo.”
Kakek dan Bayu shalat subuh bersama-sama diruang tengah, dan kakek membeli roti untuk cucunya agar bisa sarapan.
“Nak sarapan dulu, kakek sudah siapkan teh dan roti.”
“Kek rotinya kita makan berdua ya, kan kakek cuma beli satu, jadi kita makan sama-sama.”
“Ya sudah.”
Kakek beserta cucunya mulai berangkat mengantarkan cucunya kesekolah lalu sang kakek menjual dagangannya.
Ya tak ada lagi kegiatan selain kegiatan ini, hanya hal inilah yang dapat kakek tua itu lakukan, kakek parubaya itu hanya berharap semoga anaknya cepat keluar dari penjara, dan melihat anaknya. Ya begitulah keluarga mang Wahid dengan berbagai macam masalah tapi sang kakek tak mau kalah dengan nasib, ia yakin hidup harus dikendalikan oleh dirinya sendiri, bukan kehidupan yang mengendalikan ia. Maka dari itu walaupun ia susah tak tanpak olehnya raut wajah yang pasrah, malah semangat yang menyertai langkah kakinya untuk mencari uang demi kelangsungan hidup mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar