Senin, 28 Juni 2010

TANGKAI TERAKHIR

KARYA: Mitra

Dengan senyum dikulum Bu Sastro memperhatikan suaminya dari ruang tengah. Lelaki yang sangat dicintainya itu selalu begitu jika menghadapi peristiwa besar dalam keluarganya. Hari ini adalah peristiwa yang keempat kalinya dialami oleh keluarga Sastroyudiyono. Perbedaannya, peristiwa tiga kali sebelumnya untuk tiga anak perempuannya, sedangkan pada kali ini adalah Hartawan anak bungsu laki-laki satu-satunya.
Beberapa jam sebelum penghulu hadir, Bapak Sastroyudiyono adalah orang pertama yang sudah berpakaian rapi. Sementara anggota keluarga lainnya masih berseliweran dengan kegiatannya masing-masing. Hartawan sudah mulai dirias di kamarnya. Bu Sastro tampak mondar-mandir, entah apa yang merasuk pikirannya, sehingga tak bisa tenang seperti suaminya di saat-saat seperti itu.
“Tenang saja, Bu. Semuanya sudah beres,” kata Tika sang pembawa acara mencoba menenangkannya.
“Sekarang lebih baik Ibu bersiap-siap, sebentar lagi tamu-tamu datang,”
Dilihatnya lagi suaminya yang sedang duduk di teras. Begitu tenang, beskap kuning kecoklatan, blangkon coklat senada dengan kain panjangnya, tampaknya larut dalam ketenangan dan kewibawaannya. Senyum Bu Sastro kembali tersungging saat melihat suaminya memegang sekuntum bunga mawar yang telah mekar. Dengan santai ia mencium bau keindahan yang berasal dari bunga mawar yang berseri secerah wajahnya. Perlahan sekali Bu Sastro yang kini sudah berpakaian rapi menghampirinya. Pernikahan anak bungsunya dipestakan dikediaman Sastroyudiyono.
“Sarapan Pak?”
“Boleh, tapi jangan banyak-banyak, roti saja kalau ada.”
“Acaranya kan masih lama, tambah susu, ya?”
“Ya, boleh. ibu sudah sarapan ?” ia balik bertanya.
Tanpa memberi jawaban istrinya masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan dua piring di tangannya. Menit-menit berikutnya pasangan yang berbahagia itu asyik menikmati sarapan di teras rumahnya. Lalu-lalang anak-anak dan kerabat yang muai berdatangan seolah tak mereka hiraukan. Pada saat-saat seperti itu, dunia seakan milik mereka berdua.
“Dua minggu lagi kita jadi ke Bali, pak?”
“Hmmm, Hartawan yang menikah, kok ibu yang ingin berbulan-madu.”
“Bukan begitu.., sayang kan kalau nolak ajakan Diana yang kebetulan jadwal terbangnya ke Bali. Ibu ingin sekali melihat matahari terbit di pantai Kuto, kabarnya indah sekali.”
Setelah diam beberapa saat, bu Sastro melirik sekuntum bunga yang tergeletak dekat piring suaminya.
“Mengambil bunga dari mana, Pak?”
“Entahlah aku tak ingat, bunga itu begitu saja ada di tanganku.”
“Ah, Bapak ini. Bunganya jangan dicabuti dulu, acaranya belum selesai kan?” Bu Sastro sedikit menggerutu.
“Kembalikan sajalah,” jawabnya setengah tak acuh.
Bu Sastro mengambil sekuntum bunga itu. Seperti tahun-tahun yang lalu ia membawa sekuntum bunga mawar itu ke kamarnya. Di lemari, sudah ada tiga kuntum bunga mawar yang sudah kering. Namun daun hijaunya masih utuh, dibungkus kertas plastik yang rapi dan begitu indah.
Dengan hati-hati ia membukanya, kemudian di masukkannya bunga yang dipegangnya. Maka jadilah sekuntum empat bunga mawar. Entah disadari atau tidak oleh suaminya, setelah diteliti disetiap bunga kering itu, masing-masing terdapat empat kuntum yang hampir mekar.
“Apakah ini kuntum yang terakhir?” bisik hatinya sambil mengelus bunga yang masih segar, ahhh tidak!”
“Dia akan terus begitu saat cucu-cucunya menikah kelak,” jawab hatinya lagi.
Dan tentu saja Bu Sastro akan terus mengumpulkannya seperti ini, tanpa setahu suaminya. Setelah anak bungsunya menikah, rumah keluarga Sastro terasa sepi. Tak terdengar lagi denting piano dan biola di senja hari atau suara tertawa Hartawan yang mengeli. Tapi perubahan itu tak mengusik kebahagiaan Bu Sastro. Selama Sastroyudiyono masih di sampingnya, suasana akan terasa tentram. Ia bersyukur mendapatkan menantu yang penyabar dan sopan tutur katanya, mudah-mudahan mereka menjadi keluarga yang sakina mawaddah warohma.
“Saya iri pada Bu Sastro,” ucap Tika ketika berkunjung ke rumahnya.
“Kenapa iri? Aku tak memiliki apapun yang bisa membuat kau iri.”
“Kebahagiaan Ibu, tampaknya tak pernah padam.”
“Tak akan pernah padam selama kita mampu menjalin saling pengertian, saling menyayangi dan saling menghormati.”
“Itulah. Tapi tak semua bisa begitu. Bu rupanya teori Ibu hanya mudah diucapkan bagi sebagian orang.”
“Ah bisa saja kalau mau berlatih. Sadarilah bahwa gemerlap dunia hanya sebuah sandiwara yang setiap saat bisa ditutup jika sutradara menghendakinya.”
“Saya ingin belajar seperti Ibu,” bisik Tika sambil mengitarkan bola matanya ke seluruh ruangan rumah.
Hanya perabotan sederhana yang ditata dengan manis dan bersih dari debu.
“Mencari apa, Tik? Pasti kamu sedang membandingkan dengan rumah teman-temanku sesama pensiun.”
“Bukan, Bu,” jawabnya cepat-cepat.
“Saya sedang mencari di mana rahasia ketentraman dan kebahagiaan Ibu.”
“Di sini.” Bu Sastro sambil menempelkan telapak tangan di dadanya.
“Di balik dada ini rahasianya, Tik. Aku selalu meyakini bahwa semua yang kunikmati di dunia ini hanya titipan-Nya, dan sewaktu-waktu bisa diambil Sang Pemilik.”
Dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri. Mungkinkah seorang Ajeng Setia Wati, anak tunggal manja, mampu berkeyakinan demikian? Seandainya tidak dibimbing dengan sabar oleh Sastroyudiyono, seorang abdi Negara ynag cinta dengan kejujuran.
Matahari belum tampak ketika Bu Sastro membuka pintu depan. Ia ingin melihat perkutut kesayangan suaminya yang berbunyi terus sepanjang malam. Sedang ia sendiri nyaris tak sempat memicingkan mata, sibuk membereskan koper yang akan dibawa ke Bali siang nanti. Dibiarkannya suaminya tidur lagi setelah subuh dengan tasbih di tangannya. Mungkin ingin segar dalam perjalanan. Tak urung ia tertawa sendiri mengingat sibuknya mengatur koper tadi malam seperti akan pergi berbulan-bulan.
“Aku bingung bawa baju berapa, ya Pak?”
“Kalau bingung, bawa saja sekalian lemarinya.”
Pak Sastro menggodanya. Digoda begitu ia memoncongkan bibir kearah suaminya. Yang berbaring membelakanginya. Sebetulnya, berpergian dengan Diana anaknya yang pragawati itu tak perlu risau. Diana sangat mengerti apa yang diperlukan orang tuanya dalam perjalanan. Melihat suaminya begitu lelap tidur dalam posisi menghadap tembok, ia tak sampai hati membangunkannya. Tapi ketika matahari sudah mulai tinggi, dengan sangat hati-hati ia mengelus punggung suaminya.
“Pak, bangun. Dua jam lagi kita berangkat, Diana sudah datang dengan suaminya.”
Pak Sastro tak terusik, tetapi tasbih tetap dipegangnya. Seketika jantung wanita itu berdegup agak kencang saat membangunkan untuk kedua kalinya. Tak juga ada reaksi dari suaminya. Dengan perlahan tangannya membalikkan badan suaminya, lelaki itu seperti tak berdaya.
“Dian!!! Ya Allah…Bapak kenapa begini?”
Diana yang baru saja tiba menerobos masuk kamar, dengan gerakan cepat ia memutar nomor telepon Dokter Ria yang tak lama kemudian tiba di rumah. Kini pandangan seisi rumah melekat pada tangan yang sedang memeriksa Sastroyudiyono. Dan suasana menjadi hening ketika Dokter Ria mendongakkan kepalanya kearah Bu Sastro.
“Sudah setengah jam yang lalu, Bu. Semoga Ibu dan keluarga tabah menerimanya. Pak Sastro meninggalkan kita dalam keadaan yang sangat tenang,” katanya sangat lirih.
Ibu Ajeng Setia Wati berdiri terpaku dengan bibir gemetar. Tak terdengar rintihan maupun isak tangisnya. Kemudian ia mendekati suaminya yang terbujur di tempat tidur. Diciumnya kening jenazah lelaki yang amat dicintainya itu.
“Pergilah, Pak. Aku ikhlas melepasmu, karena ini sudah menjadi suratan-Nya, innalillahi wainna ilahi rojiun…”
Semua anggota keluarga yang ada saat itu terhanyut oleh ketenangannya, beberapa jam kemudian, pada saat rumahnya sudah mulai hiruk-pikuk dengan isak tangis anak cucunya, Bu Sastro menyendiri di dalam kamarnya. Dibukanya lemari pakaiannya, dan dibukanya plastik putih yang membungkus empat kuntum bunga mawar yang sudah kering. Kemudian diambilnya kuntum yang paling baru.
“Ternyata kuntum ini adalah kuntum yang terakhir,” bisiknya.
Dan pada saat itulah ia baru melepas tangisnya tanpa didengar orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar