Karya: Agus Ardiansyah
Jembatan ampera betengger kokoh, berdiri tegak dengan dua menara yang menjulang tinggi ke langit dan membentang menghubungkan dua daratan bagian hulu dan bagian hilir yang dipisahkan oleh sungai Musi. Jembatan Ampera dan Sungai Musi yang membelah kota Palembang menjadi dua bagian ini menjadi ciri dan kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan. Jembatan yang dihadihkan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia yang diberi nama AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat) itu telah menduduki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat di kota Palembang pada khususnya, karena dengan jembatan ini aktifitas masyarakat di bagian hulu Palembang dapat terhubung dengan masyarakat bagian hilir.
Mentari pagi bersinar sangat terang, menerpa awan-awan dan benembus tingginya benteng Kuto Besak melalui celah-celah dinding benteng yang tinggi. Pagi itu pukul delapan, kesibukan berserta hiruk pikuk aktifitas sudah terlihat di sungai Musi, hilir mudik kapal, ketek, dan sampan sudah menghiasai aliran sungai Musi, ada yang membawa penumpang, ada juga yang membawa barang-barang seperti makanan pokok berupa beras, gula, kelapa, bahkan ada juga kapal tongkang yang mengangkut pasir dan batubara.
Dari jaman kerajaan Sriwijaya sungai Musi telah menjadi urat nadi perdagangan, bahkan sungai Musi menjadi jalur perdagangan internasional yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang dari mancanegara. Bahkan sungai Musi telah mengantarkan kerajaan Sriwijaya di kenal oleh negara-negara luar dimasanya.
Sekarang sungai Musi selain sebagai jalur transportasi juga menjadi objek wisata, rumah rakit yang terapung di atas sungai musi menjadi pemandangan unik bagi wisatawan, rumah makan terapung yang berada di dalam ketek juga menjadi objek wisata kuliner yang menyediakan berbagai penganan khas kota Palembang dan selalu menjadi tujuan wisata para wisatawan yang berkunjung ke kota Palembang.
Disamping sungai Musi, terdapat benteng yang menghadap langsung ke sungai Musi. Benteng peninggalan kolonial Belanda yang dahulu digunakan sebagai pertahanan para penjajah Belanda dari serangan musuh, dan sekarang benteng tersebut bernama Benteng Kuto Besak dan beralih fungsi menjadi perkantoran Kesehatan Daerah Militer kota Palembang.
Dihalaman benteng yang luas dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk bermain, ada anak-anak yang bermain layangan, orang yang sedang memancing, para penjual minuman dan makanan khas Palembang yaitu pempek tak kenal lelah berkeliling menjual dagangannya, bahkan anak-anak yang kurang beruntung mencari nafkah di sini sebagai pengemis, para pengamen yang menjajakan suara sumbang demi mengharapkan sedekah dari para pengunjung, tak pelak jika tidak di beri sedekah para pengemis dan pengamen melontarkan kata-kata kasar bahkan sumpah serapah, hal seperti itu selalu terjadi dan sudah dianggap hal yang wajar bagi penduduk asli Palembang, berbanding terbalik jika bertemu dengan pengunjung yang bukan asli penduduk Palembang, mereka mengatakan bahwa penduduk Palembang bertabiat kasar dan tidak menghormati orang lain. Kejadian-kejadian seperti itu yang membuat pengunjung engan untuk datang ke objek wisata sungai Musi ini.
Pengunjung juga banyak yang mengeluhkan tentang sungai Musi yang menjadi kebanggaan warga Palembang. Penilaian banyak terlontar dari para pengunjung, ada yang berupa pujian ada juga yang berupa cemoohan.
“Sungai Musi sangat bagus, sarat akan sejarah. Tapi sayang ya, kalau siang panas sekali, belum banyak pohon-pohon yang ditanam di tepi sungai musi, padahal itu sangat penting untuk menahan abrasi daratan karena terpaan gelombang dari trasportasi air yang melintas, sungainya sangat kotor, sampah-sampah, minyak yang tumpah dan tanaman eceng gondok hanyut terbawa arus sungai begitu saja, dan satu lagi. Suasananya tidak bersahabat, para pengamen dan pengemis suka memaksa pengunjung untuk memberi uang” komentar Triyana seorang pengunjung yang berasal dari luar kota Palembang.
Hal seperti itu sering sekali terlontar dari mulut para pengunjung objek wisata sungai Musi. Tapi, mau bagaimana lagi bagai jamur di musim hujan. Baru di tertipkan oleh petugas dan diberikan pengarahan bahkan hukuman, tapi tak berapa lama kembali lagi pengemis dan pengamen menjamur di tempat wisata yang seharusnya menjadi tempat yang dapat dinikmati oleh setiap pengunjung tanpa ada ganguan sedikitpun.
“Yah mau kerja dimana, orang minta-minta aja sama orang di sini. Kalau ga dikasih ya kesal aja” bela pengamen jika di tanya oleh petugas ketertiban saat tertangkap oleh petugas keamanan.
Pagi itu aku terus berjalan menyusuri tepi sungai Musi, masih banyak orang-arang yang tidak sadar akan lingkungan. Seolah tanpa rasa berdosa membuang sampah ke aliran sungai Musi dengan sesuka hatinya.
Mataku tertuju ke arah satu rumah rakit yang pintunya terbuka lebar seakan memberi isyarat untuk mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. Dengan langkah ringan aku menuju ke dalam rumah. Rumah rakit yang terbuat dari papan itu hanya di huni oleh seorang kakek, dia duduk di atas kursi ayun.
Ku pandangi atap seng yang karatan dan telah berlobang di sana sini, bendera-bendera parpol berserakan di atas dipan yang terbuat dari besi. Kurasa bendera-bendera itu didapat oleh kakek ini dari pemilu presiden tahun kemarin, karena dianggap tidak ada gunanya lagi, bendera-bendera itu dijadikan selimut untuk tidur si kakek.
“Permisi kek, kakek dengan siapa disini, siapa nama kakek?” tanyaku ingin tahu kepada kakek yang ku perkirakan usianya telah masuk tujuh puluh tahunan.
“Aku sudah tak ingat dengan namaku sendiri, hanya saja setiap aku tidur ada saja yang menggigit kulitku, mungkin itu temanku. Aku rasa mereka ingin bergurau dengan mengigit kulit keriputku agar aku bisa tertawa geli” jawab kakek dengan intonasi yang sangat jelas.
Aku hanya merasa geli, humor tingkat tinggi yang baru saja aku dengar mempengaruhi saraf-saraf sensitifku untuk tertawa. Percuma saja berbicara dengan orang yang kurang waras, pikirku dengan egois.
Sesekali kakek ini menghisap pipa rokoknya dalam-dalam dan menghempuskan asap dari mulutnya ke atas dan berterbangan kesegala arah.
“Sudah lama kakek di sini?” tanyaku lagi.
“Sudah sejak jaman Belanda menjilati kota ini. Dan dulu aku dan teman-temanku berusaha mengusirnya dari sini. Kami sangat tidak suka dengan kekuasaannya yang sewenang-wenang. Aku juga sering menembak mati tentara Belanda yang menjajah negeri ini” jawab kakek dengan sedikit bercerita.
Aku hanya mengangukkan kepala. Dengan namanya saja kakek ini tidak ingat, bisa-bisanya ngelantur sampai penjajahan Belanda. Apalagi menembak mati penjajah.
Aku beranjak dari hadapan kakek yang sedang asik mengemut pipa rokoknya yang terbuat dari tulang ayam dan menghamburkan asap rokok ke berbagai penjuru.
Kulihat baju seperti seragam tentara veteran lengkap dengan lencana dan pangkat di bagian kiri dada depan yang sering ku lihat di televisi saat acara mengingat jasa para tentara veteran yang tidak dianggap oleh bangsa Indonesia.
Wah, benar. Kakek ini bukan orang sembarangan. Dia pasti tentara veteran yang nasipnya sama seperti yang diceritakan di televisi. Tapi kenapa dia tinggal sendiri. Apa jangan-jangan seragam itu bukan miliknya. Banyak pertanyaan yang aku ajukan dengan diriku sendiri hingga membuat aku binggung karena aku tidak tahu jawabannya.
“Ambilkan kotak kayu itu” kakek menyuruhku untuk mengambilkan kotak kayu yang brada di bawah dipan.
Setelah kuambil, kakek itu menyuruhku membukannya. Isinya berupa foto orang-orang yang berseragam sama persis dengan seragam yang berada di rumah ini. Sayang foto itu hitam putih dan gambarnya sudah kabur sehingga aku tidak dapat membedakan wajah kakek ini dengan orang-orang yang ada di dalam foto.
“Itu fotoku dan teman-temanku di tepi sungai Musi ini, dulu sungai ini sangat berpengaruh, sungai yang sangat indah, luas, dalam dan sangat bersih. Semua kebutuhan hidup bisa di dapatkan dari sungai ini. Tapi waktu dan manusia telah merubah semuanya. Kini hanya kotoran dan keruhnya air yang dapat dilihat. Orang-orang sekarang tidak tahu akan besarnya jasa sungai ini. Sekarang sungai ini hanya menjadi saksi bisu dari apa yang dapat dirasakan sekarang” cerita kakek dengan wajah menunduk.
Aku hanya duduk di hadapan kakek tua ini. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan kembali bercerita. Dapat aku simpulkan jika sungai ini benar-benar telah melahirkan sejarah bagi orang-orang yang pernah mengarungi hidup bersama sungai ini. Sungai yang mengantarkan dan menyatukan bangsa Indonesia dari perbedaan suku, budaya, ras, dan agama. Tapi sekarang semata-mata sungai ini hanya menjadi simbol daerah, masyarakat tidak merasakan fungsi dan manfaatnya untuk masa yang akan datang. Membuang sampah dengan sengaja ke dalam aliran sungai seolah-olah telah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
“Apa yang kau pikirkan, kehidupan terus berputar. Kini saatnya dirimu untuk berusaha mengingatkan mereka” kata kakek perlahan dengan menatapku tajam.
Aku hanya terdiam, yang kulakukan hanya menatap mata kakek yang dari tadi sudah berkaca-kaca seolah berkata beban yang berat telah ia lepaskan. Aku hanya berfikir, apa yang kakek tua ini rasakan, penyesalan atau mengenang masa kejayaannya pada masa lalu.
Sinar mentari menerobos melalui lobang-lobang atap yang terbuat dari seng tepat di atas kepalaku. Kulirik jam dinding yang tergantung didinding papan rumah reot ini. Jarum jam telah menunjukkan pukul duabelas siang. Aku berpamitan dengan kakek renta ini untuk pulang. Tangan terbungkus kulit yang mulai layu melepas jabat tanganku, kutingalkan langkah demi langkah untuk meneruskan aktifitas yang masih menunggu. Tepi sungai Musi menjadi tempatku melangkah sangat berbeda dengan cerita kakek yang baru saja aku dengar, kulihat di sana-sini sungai Musi masih saja kotor dan tercemar dengan sampah, kilau minyak tersinari matahari yang tumpah entah dari mana asalnya, dan tumbuhan eceng gondok berkumpul hanyut terbawa arus. Terus saja rumah-rumah rakit mendominasi pembuangan sampah ke dalam sungai, seolah pemerintah tidak tau akan fenomena pembuangan sampah yang terus akan menambah pencemaran sungai musi yang terkenal indah oleh masyarakat Indonesia dan telah di kenal masyarakat dunia.
SELESAI
Senin, 21 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar