Senin, 28 Juni 2010

KIPRAH GENTA MANUSIA

Karya: Agus Ardiansyah
NPM: 2007112032
Naskah drama.


Suara angin berhembus dan suara tetes-tetes air jatuh dari ketinggian.
Lampu berkilatan berwarna merah berkilatan di segala penjuru panggung.

Di panggung hanya ada satu buah meja, satu buah kursi dan satu buah lilin yang tinggal setengah terletak di atas meja.

Panggung gelap dan lilin menyala. Hanya lilin yang menjadi sumber cahaya. Tokoh lakon masuk berteriak-teriak lalu duduk di kursi kayu.


Lakon: Di mana…. Di mana…. Kenapa hanya diam. Bisu kah kalian. Apa lidah kalian sudah dikebiri. Pantas kalian hanya menjadi pecundang dalam kegelapan.
Bedebah semuanya, kalian bedebah.

Lampu hijau menyala redup mengarah ke muka tokoh yang sedang duduk di kursi.
Kemudian lampu mati, digantikan dengan lilin yang menyala. Lakon berdiri di belakang kursi dan berjalan menuju sudut-sudut panggung.

Lakon: aaaaaaaaaa…….(vokal berhenti tersedak)
(gelisah dan merintih)
Kenapa duniaku terasa seperti magma, aku yang selalu dipojokkan. Menyesal aku menunjuk pelacur. Yang dia bisa hanya melacuri apa saja yang sudah tidak berdaya.
Melucuti yang bukan haknya, mengurusi yang bukan urusannya, mengerogoti apa yang ada.
Bedebah….. kurasa ribuan lusin masih ada yang seperti ini di duniaku.
Apa kalian tak merasa jika dunia ini telah rapuh, telah lapuk, dan berkarat.


Lakon kembali duduk di kursi.
Tokoh lakon hanya memandangi lilin yang hampir habis terbakar.
Dengan ekspresi sedih dan jengkel tokoh merebahkan badannya di kursi.

Suara angin berhembus. Kilatan-kilatan lampu kembali menyala dan seseorang berpakaian serba hitam berlari ke segala sudut panggung sambil memutarkan selendang berwarna putih.

Seseorang: Kau hanya seperti ini. Terombang ambing oleh badai terhempas pada karang cadas dan tak ada sepenggal makhluk yang akan mengulurkan tanggan untuk mu.
Kau bisa berubah haluan tuanku, aku siap arahkan angin untuk lajukan hasrat dan nafsu mu.

(dengan tawa terbahak-bahak seseorang itu hilang ditelan kegelapan)

Di atas kursi Lakon tersentak kaget dari diamnya.
Lalu berteriak histeris….
(lampu kuning menyala redup dari dua sudut panggung dan mengarah ke meja )

Lakon: tidaaaaaak….. tidak akan… aku tidak akan menjadi penentang.
Aku tetap menjadi pelayan Tuhan. Tak semudah itu kau hembuskan angin tuk alihkan haluanku. Tak semudah itu!
Ingat bedebah…! tak semudah itu.
Kalian hanya membuat dunia ini gelisah, membuat dunia ini terbakar dan meleleh, tanpa kau hiraukan mahuk-mahluk penghuni dunia ini.
Kini semua menegadah gersang pada musim yang kian kalut.

(Lakon berbicara dengan lilin, kepalanya mengikuti gerak nyala api lilin)
Lakon tertawa terbahak-bahak, suaranya keras, semakin lama suara tawa Lakon hilang tertelan gelapnya panggung.

(Pangung gelap hanya cahaya lilin yang menyala. Dari sudut panggung lampu kuning dan hijau menyala redup)
Keluarlah beberapa perempuan memutari panggung dengan membawa selendang berwarna putih.

Perempuan 1: Seperti ini yang kau ginkan.
Hidup menyembah kebaikan tapi meyengsarakan.
Sudah, berbaliklah. Ikuti gerakku jika kalian ingin tertawa.
Tak perlu kau takut dengan Tuhan.

Perempuan 2: Tak usah munafik, kalian menyegsarakan diri sendiri.
Benar sekali… kalian hanya budak yang tertindik tembaga.


(selendang dibentangkan membentuk garis vertikal. Dari sudut kanan depan panggung kearah kiri belakang panggung. Kemudian selendang itu menjadi alas berdiri oleh beberapa perempuan)


Lampu merah menyala menyoroti ke arah perempuan.
Lakon kembali masuk ke dalam panggung dengan nafas terengah-engah.

Lakon: Heiii……. Perempuan-perempuan kehausan. Begitu hina kalian menghianati kehidupan. Apa yang kalian cari dalam hidup ini. Nafsu iblis kalian tak dapat dihentikan.

Perempuan: Jaga bicaramu manusia munafik.
Semua di dunia ini tidak ada yang abadi. Maka nikmatilah hidumu dengan cara apapun.

(Perempuan tertawa terbahak-bahak)

Perempuan: Sudah, ikutlah dengan kami. Selesaikan urusanmu dengan Tuhan. Putuskan di sini.
Lakon: Hentikan bualmu. Meskipun dunia berhiskan permata dan merah delima aku tak akan menari dan bersenandung di atas darah yang tersumbat para rakyatku.
Kini yang ku inginkan kalian kembali pada asal kalian.


Lampu mengarah kepada Lakon yang duduk di sudut panggung sambil memegangi selendang yang di injak oleh para perempuan. Dengan perlahan Lakon bangkit dari duduknya dan kemudian menarik selendang hingga para perempuan terhempas berserakan.

Lampu kuning dan merah menyoroti para perempuan dari empat susut panggung
Para permpuan merintih kesakitan dan histeris.

Perempuan 1 : Tidak….. tidak…. Hentikan.
Perempuan 2 : Kenapa harus dihentiakn?
Bukankah kita telah merasakan apa yang kita inginkan.
Perempuan 3 : sekarang kita sudah tersudut, apa kita harus mengambang dan hanyut?
Perempuan 4 : Kita harus bertahan dan kembali berjalan.

(Para perempuan berkumpul dalam berbagai posisi)

Lakon: Sudah cukup bual kalian tertumpah?
Apa aku yang harus tumpahkan amarah para rakyat tertindas.
Buatlah pembelaan sebelum nafas dan detak nadi tak sudi lagi bersemayam pada raga rapuh dan berbentuk bangkai kalian.

(Lakon berputar mengintari perempuan yang terkapar di lantai)

Lakon: Sekarang saatnya.!

(Lakon memukulkan selendang putih kepada para perempuan. Perempuan menjerit histeris dan semua lampu mati. Di panggung hanya lilin di atas meja yang menjadi sumber cahaya).

Lakon kembali duduk di atas kursi sambil memandangi cahaya lilin.

Lakon: seharusnya seperti ini. Kalian lihat? Seharusya seperti ini!

(lakon berteriak dengan keras)

Kemudian lakon merebahkan badannya dikursi dan diam.
Suasana hening. Suara angin berhembus kencang, suara tetes-tetes air kembali hadir memecah sunyinya panggung.


Seseorang masuk dari belakang panggung, sorot lampu hijau menyoroti keluarnya tokoh seseorang ke dalam panggung.
Tokoh mengintari Lakon yang sedang rebahan di atas kursi, sesekali seseorang berusaha mengoyangkan kursi, namun tidak berhasil.

Seseorang kemudian berputar-putar dengan mengibarkan selendang putih dan menyeret selendang dilantai.

Seseorang: Kau….kau… kau….!
Kau telah hentikan perangai angin dan rayuan jiwa-jiwa manusia yang terlunta.
Kini amarahku telah tenggelam pada palung tak berdasar. Biarkan dunia ini meleleh bersama jaman. Karena memang alam telah berkarat. Tak perlu bertahan atas kesucian.

(seseoran berbicara penuh amarah di samping Lakon)

Lakon terjaga, namun seseorang berusaha lari dengan memutarkan selendang berwarna putih.
Dengan secepat kilat, Lakon menagkap selendang dan menghentikan langkah seseorang.

Lakon: Tak perlu kau rayu cemara yang telah menghadap mentari.
Sekarang pergilah bersama ranting dan daun yang akan gugur.
Karena kau tak pantas tumbuh dengan angkara yang tak kenal iba.

Lakon menarik selendang dan seseorang jatuh terhembas.

Lakon: Kini kalian semua yang patut untuk pertahankan dunia. Sembahlah Tuhan karena alam pemberiannya. Coba pikir, apa yang kalian lakukan selama telah tepat pada kehendak Tuhan. Pikirkan, renungkan, dan camkan baik-baik apa yang kalian kerjakan di alam ini, kalian sendiri yang akan menuai hasilnya.

Lakon kembali duduk di atas kursi menyaksikan lilin padam dengan sendirinya.


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar