Sabtu, 03 Juli 2010

Cerpen "Panorama BKB"

PANORAMA BKB
Oleh : Sulastinah

Desiran angin pagi yang terus melambai tubuhku, rambutku yang terurai panjang melayang-layang, dan deburan air sungai Musi menghiasi indahnya panorama Benteng Kuto Besak. Hiruk pikuk orang lalu lalang dan canda tawa yang meramaikan suasana pinggiran sungai Musi.
Aku duduk di pinggiran sungai Musi dan menatap indahnya air yang mengalir di pusat kota Palembang. Ku pandangi ketek yang melintasi sungai Musi yang sibuk membawa barang dagangan untuk dijual di pasar 16.
“Sungguh Palembang yang indah, kota kelahiranku yang tak pernah aku sesali telah tinggal kurang lebih 20 tahun ini,” benakku.
“Maaf, sendirian ya?” tanya laki-laki asing itu padaku.
“Ya, aku sendirian, aku sedang menikmati keindahan kota kelahiranku ini.” Jawabku.
“Palembang memang indah, dengan air sungai Musi yang mengalir di pusat kota dan keramaian Benteng Kuto Besak yang seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat kota Palembang”, tambahnya lagi.
“ Aku Bangga kok menjadi bagian dari masyarakat kota Palembang, kota yang bersih dan indah ini”, jawabku ketus.
“ Ups…maaf maksudku bukan begitu, aku tahu kau adalah puteri daerah yang Sangat setia dan Bangga akan kota kelahiranmu, tapi lihatlah banyak orang yang lebih mementingkan untuk berlibur ke tempat lain dengan rela menghabiskan uangnya yang susah payah ia cari”. Jawabnya lagi.
“ Ya memang benar, banyak orang yang tidak Bangga dengan tempat asalnya sendiri, bahkan kalau mereka sedang menuntut ilmu di tempat lain mereka dengan terbata-bata dan suara yang berbisik menyebutkan kota asalnya Palembang, padahal mereka harus Bangga karena Palembang Sekarang sudah diperhatikan oleh pemerintah pusat”. Jawabku dengan antusias.
Sejak pertemuan itu, aku lebih sering duduk di BKB ( Benteng Kuto Besak), dan Sejak pertemuan itu juga aku lebih sering bertemu dengan pemuda asing itu.
“ Bu, aku membereskan piring-piring kotor dulu ya, setelah itu aku akan menyusul ibu dan Sandi ke depan,” pintaku setelah makan siang selesai.
” Ya udah kalau begitu, ibu ke depan dulu ya kasihan Sandi bengong sendiri, ntar kesambet juga (sambil pergi meninggalkan aku sendiri di dapur).
Aku sibuk dengan pekerjaaan ku, hingga aku lupa kalau Sandi masih di depan bersama ibuku, dan aku langsung masuk ke kamar dan menutup rapat mataku, karena kecapekan. Sedang asyik tidur aku dikejutkan dengan suara-suara yang membuat tidurku menjadi tidak nyaman lagi, aku bangun dari tempat tidurku dan mencari asal suara itu, sungguh bukan hal yang tak pernah aku bayangkan, bagaikan mimpi di siang bolong, dan kaki ku terasa lumpuh dan mulutku sangat kaku, aku diam berdiri di dekat pintu ruang tamu, ku lihat apa yang sedang terjadi, sepertinya mereka sangat menikmati permainan ini.
Ibu dan Sandi pun kaget melihat aku sudah berada di dekat pintu ruang tamu yang tidak begitu luas, ruangan itu ibarat neraka dunia yang membuat mataku seperti tertusuk duri dan api panas, kaki ku seperti dicambuk dengan rotan.
“ Sari jangan salah paham dulu,” bantah Sandi dengan gugup.
“ Ya, aku hanya salah paham San, tidak apa-apa, aku tidak melihat apapun, mataku sudah dibutakan, dibutakan dengan hawa nafsu dan perasaan yang membisu,” jawabku.
” Sari, maafkan ibu, ini semua tidak ada artinya apa-apa,” tambah ibuku lagi.
“ Sudahlah bu, aku mau keluar dulu, ibu bersenang-senang saja di sini.
Isak tangisku tak terbendung lagi, tulang belulangku rasanya remuk dan tak berbekas sedikitpun, hatiku hancur dan perih, entah apa yang harus aku lakukan saat ini, ingin rasanya aku berteriak, di sini tempat ini merupakan tempat yang indah bagiku, tempat di mana pertama kali aku bertemu Sandi, tempat yang menjadi saksi bisu dalam hubungan kami, tapi tempat ini akan menjadi kenangan terburuk dalam hidupku.
Satu minggu sudah aku tidak pulang ke rumah, aku benci dengan rumah itu, rumah yang sudah membuat hatiku hancur untuk kedua kalinya, lima tahun terakhir peristiwa yang melukai hatiku, karena ayahku pergi meninggalkan kami berdua, di rumah itu aku menjalani hari-hari dengan ibuku, dengan susah payah kami mencukupi kebutuhan, dan hingga kini rumah itu juga telah neremukkan tulang belulang tubuhku, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ibuku berkencan dengan pemuda asing yang bertemu dengan ku di Benteng Kuto Besak. Kini aku sendirian, aku hanya ditemani oleh penderitaanku.
” Sari,” panggil seseorang.
Aku menoleh ke arah yang memanggil namaku. Ku lihat perempuan paruh baya yang sudah tak asing lagi di penglihatanku.
“ Bibi,” jawabku.
“ Sari, pulanglah nak ke rumah, ibumu menunggumu, ibumu sangat merindukanmu nak,” ajak bibi.
“ Tidak bi, aku tidak mau pulang, aku hanya hidup sebatang kara, aku tidak punya siapa-siapa lagi, biarkan aku di sini, aku ingin menikmati desiran angin sungai Musi.” Tolakku.
“ Pulanglah dulu nak, lihat keadaan ibumu, setelah itu terserah kamu mau ke mana, kami tidak akan memaksamu lagi.” Paksa bibi.
“ Sudahlah bi, jangan pedulikan aku, sampaikan saja pada ibuku, aku pun merindukannya, aku pun sangat menyanyanginya, tapi aku tidak pernah punya niat untuk melukai dan menyakiti perasaanya.”
“ Baiklah Nak kalau itu kehendakmu, bibi turuti, tapi kamu jangan pernah menyesal dengan apa yang sudah menjadi keputusanmu itu, karena bibi sudah mengajakmu untuk pulang.” Jawab bibi.
Seketika itu pula bibi meninggalkan ku seorang diri di pinggiran Musi ini, tapi entah kenapa perasaan ku sungguh tidak enak, aku memikirkan ibuku, aku sangat merindukan ibuku, atau mungkin karena kau tidak terbiasa pisah dari ibuku sehingga membuatku sangat merindukannya.
Sudah hampir dua minggu aku tidak pulang ke rumah, selama itu juga perasaanku sangat tidak enak, ku paksakan kaki ku untuk melangkahkan kaki menuju gubuk kediamanku bersama perempuan paruh baya itu.
Aku langsung masuk ke rumah, dan sektika itu juga rumah ini menjadi saksi keperihan hatiku untuk kesekian kalinya, seseorang yang sedang terguling tak berdaya, dan ditutupi sehelai kain panjang yang menyelimuti tubuh perempuan paruh baya itu. Kaki ku terasa lumpuh untuk kesekian kalinya, mataku berkunang-kunang, hingga beberapa menit saja bertahan, aku tidak sadarkan diri.
Aku terbangun, ku dengar suara pengajian yang ada di sekitar telingaku, aku masih diam menatap langit-langit dinding, dan ku perhatikan satu persatu orang yang ada di sekitar ku.
“ Apa yang terjadi di rumah ini?” tanyaku pada orang di sampingku yaitu bibi yang menjemputku di BKB.
“ Janganlah kau sesali lagi nak, ini mungkin sudah kehendak yang Kuasa, dia lebih menginginkan ini, kita hanya bisa berdoa dan pasrah, Dialah yang menentukan semua ini,” jawab bibi kaku.
“ Bi, tolong bantu aku untuk bangun dari tempat tidurku, aku ingin melihat apa yang sedang terjadi di rumah ini sejak kepergianku.” Pintaku pada bibi.
Ku lihat orang yang terguling tak berdaya itu, ku dekati dan kutatap wajahnya yang sayu, sungguh hal yang diluar dugaanku, ibuku telah pergi meninggalkan ku sendiri, dia tidak sayang padaku, hingga ia rela meninggalkan tanpa harus menunggu ada orang yang menjagaku.
“ Ibu………teriak ku, tangisku tak terbendung lagi dan ku peluk tubuh ibuku yang kaku itu, ibu, jangan tinggalkan Sari, dengan siapa Sari nanti, Sari nggak mau tidur sendirian bu, Sari ingin bersama ibu,” tangisku makin menjadi.
:” Kau tidak menjaga ibuku Sandi, kau hanya ingin bersenang-senang saja dengan ibuku, kau jahat Sandi…kau jahat…”
“ Sari, selama kau pergi ibumu jatuh sakit, hingga aku meminta pertolongan pada bibi agar membujukmu pulang untuk melihat sebentar saja keadaan ibumu setelah itu kau boleh pergi dan membenci kami, karena aku tahu kami bersalah padamu, dan kau pasti sangat membenci kami, makanya aku meminta pertolongan pada bibi agar membujukmu pulang, kalau aku yang membujukmu aku yakin kau tidak akan mungkin menghiraukannya, tapi apa daya bibi pulang dengan tangan kosong, hingga ibumu merasa sangat terpukul dan bersalah sekali padamu, sakitnya makin hari makin parah, dan aku sudah membawanya ke dokter,” jawabnya.
“ Sari ibumu sangat menyanyagimu kami sangat menyesal atas perbuatan kami, kami minta maaf Sar, aku juga yang telah membuat semua ini terjadi, andaikan aku tidak ada diantara kalian mungkin semua ini tidak akan terjadi.” Sesal Sandi.
“ Sudahlah San, aku hanya ingin ibuku tidak lebih….”
Sejak kepergian ibuku, aku sangat merasa kesepian, aku tidak tahu harus ke mana, dan sejak itu juga aku tahu kalau ibuku sangat menyesali atas perbuatannya, ini aku ketahui dari surat yang ibu berikan untukku, surat yang menjadi tanda mata terakhir dari ibuku untukku, sejak saat itu juga aku tahu kalau ibuku adalah wanita yang baik walaupun dia telah melakukan hal yang salah, tapi ia telah menceritakan apa yang sudah terjadi, dia lakukan ini karena terpaksa, dia mengetahui kalau ayahku akan datang ke rumahku untuk kembali pada ibuku, setelah semua hartanya habis, ibuku berpura-pura bermesraan dengan Sandi agar ayahku tidak mengganggunya lagi. Ayahku pergi untuk wanita lain dan setelah hartanya habis dia kembali dengan seenaknya saja. Aku sangat menyesali perbuatanku yang sangat konyol dan kekanak-kanakan. Tapi, ibu sudah berpesan agar Sandi menjagakku dan bersedia untuk menikahiku, Sandi tidak keberatan dengan permintaan terakhir ibuku itu, Sandi mengajak kedua orang tuanya untuk melamarku, Sejak itu aku tidak lagi melihar BKB (Benteng Kuto Besak) dan keindahan sungai Musi, karena aku dbawa Sandi untuk tinggal bersamanya di kota lain.
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar