Minggu, 04 Juli 2010

Naskah Drama "Tanda Bahaya"

Panggung menggambarkan suatu kelas. Ada tiga atau empat meja, kursi murid, sebuah meja dan kursi untuk guru dan sebuah papan tulis. Letak perlengkapan itu diatur sedemikian rupa sehingga memberi kesan sebuah kelas.
Yanti : (seorang pelajar tampak duduk di atas meja sambil membaca sebuah buku pelajaran).
Mirna : (Masuk dan terkejut melihat Yanti masih di kelas). “Kau masih di sini, Yanti. Belum pulang ?”
Yanti : (Tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala dan terus melanjutkan membaca)
Mirna : “Ada sesuatu?”.
Yanti : (Menggeleng)
Mirna : “Aku mengerti persoalanmu sebenarnya, Yanti. Lebih baik kau mengatakan kepadaku persoalanmu. Kalau aku tahu persis duduk perkaramu mungkin aku bisa membantumu”.
Yanti : “Aku mengerti, aku memang harus mengatakannya, tetapi aku tidak tahu dari mana dan bagaimana aku tahu memulainya”.
Mirna : “Kenapa?”
Yanti : “Sangat ruwet”.
Mirna : “Kau dipaksa kawin sama orangtuamu?”
Yanti : “Antara lain itu, tetapi banyak lagi soalnya”.
Mirna : “Apa?”
Yanti : “Ah, sudahlah. Sebaiknya kau tak usah memaksaku untuk mengatakannya. Sulit. Terlalu sulit”.
Mirna : “Yah, aku tahu kau tidak betah di rumah”.
Yanti : (Memandang).
Mirna : “Itu persoalan yang banyak kita rasakan bersama”.
Yanti : “Kau juga mengalami hal seperti itu?’
Mirna : “Memang. Cuma persoalanku tidak seberat persoalanmu. Aku selalu menghibur diri dengan cara pergi dengan teman-teman pria kalau hari Minggu “.
Yanti : “Dulu aku mencoba demikian, tetapi kalau aku pergi, sesudah sampai di rumah aku mengalami peristiwa yang sama, bahkan terasa lebih berat. Maka, aku menghentikan semua itu”.
Mirna : “Tetapi, kita harus menghibur diri, Yanti”.
Yanti : “Lebih dari itu, aku ingin menyelesaikan persoalan. Cara seperti itu tidak menyelesaikan persoalan. Itu bahkan menyiksa. Makin menyiksa”.
Mirrna : “Lalu, mesti gimana?”
Yanti : “Aku tidak mengerti”.
Mirna : “Tidak mengerti?”
Yanti : “Itulah yang menyedihkan. Kita mengalami sesuatu, tetapi kita tak mengerti bagaimana memahami pengalaman itu sendiri”.
Mirna : (Tersenyum).
Yanti : “Kau tersenyum mengejekku?”
Mirna : “Kau tidak tahu, Yanti, bahwa kau sebenarnya gelisah bukan ? Aku juga gelisah. Nah...”
Yanti : “Benar. Kupikir, kita ini mau apa? Setelah sekolah ini, lalu kiata akan melanjutkan sekolah lagi. Barangkali hanya satu atau dua tahun. Paling banter tiga tahun sudah itu kita dipinang orang. Kita menjadi seorang ibu...Apa artinya semua pelajaran yang kita terima selama ini”.
Mirna : “Nah...” (Tersenyum).
Yanti : “Kita mempersiapkan diri kita untuk menjadi sesuatu yang tidak ada artinya.”
Mirna : “Maksudmu?”
Yanti : “Menjadi istri dan ibu. Apa artinya tiu ? Apa pula hubungannya dengan sekolah kita tempuh selama ini?”
Mirna : “Makanya kita gelisah karena sebenarnya kita tak pernah mengerti nasib kita yang akan datang”.
Yanti : “Dan persoalan yang kita hadapi itu, tidak bisa dipecahkan dengan ilmu pengetahuan yang kita terima di sekolah sekarang ini”.
Mirna : “Kau mau?” (Mengeluarkan sebatang rokok).
Yanti : “Apa ini?”
Mirna : “Bawalah kalau kau mau. Kau akan memperoleh ketenangan”.
Yanti : (Menerima lalu meletakkannya di atas meja).
Mirna : “Ambillah simpan di tasmu. Jangan sampai kelihatan guru”.
Yanti : (Memandang dengan penuh keheranan).
Mirna : “Kalau kau tak mau, biarlah ku simpan sendiri. Ini cukup mahal. Kau bisa datang ke rumahku kalau kau mau. Nanti Anto, Yusman, dan Joko akan datang untuk menjemput aku pergi...”
Yanti : (Berdiri) “Pergi ke mana?”
Mirna : “Pergi ke suatu tempat pokoknya... sip. Deh”.
Yanti : “Aku mendengar bahwa kesenanganmu pergi ke tempat-tempat itu. Itu...”
Mirna : “Berdosa?”
Yanti : “Bukan”
Mirna : “Maksiat”.
Yanti : “Bukan”.
Mirna : “Itulah dunia muda masa kini”.
Yanti : “Barangkali benar”.
Mirna : “Nah...akhirnya kau menerima juga, toh.”
Yanti : “Tapi mengapa harus begitu? Itu berbahaya bagi kesehatan. Kita masih sangat muda. Bayangkan kalau masa remaja kita habiskan dengan cara-cara itu, nanti tua kita dapat apa?Lagipula, tujuanmu mencari kebebasan, kok, dengan menempuh jalan itu ? Apakah sebenarnya kau telah membuat dirimu diperbudak kembali oleh kebiasaanmu itu?”
Mirna : “Aku tak mengerti omonganmu, Yanti. Kalau kau tak mau, tak usah bertele-tele menasehatiku”.
Yanti : (Diam).
Mirna : “Baiklah. Kau pulang nggak? Itu Husni dan Surti sudah menunggumu di luar. Kalau nggak pulang, aku pulang duluan...dan kalau kau mau, ku tunggu nanti sore di rumahku”.
Yanti : “Kenapa kau takut ketahuan guru kita ?”
Mirna : “Karena mereka akan marah. Merampas dan menyetrap kita”.
Yanti : “Kau tahu sebabnya?”
Mirna : “Nggak. Mereka kolot seperti orang tua kita saja”.
Yanti : “Itu berbahaya. Obat bius dilarang diedarkan secara bebas”.
Mirna : “Tapi mereka toh tak sanggup menyelesaikan kegelisahanku. Sedikit-sedikit bilang dosa, maksiat, porno, huhh !”
Husni : “Astaga. Ngapain, nih, kalian di sini? Ku tunggu di luar sampai lama banget”.
Mirna : “Mau nolong Yanti. Akibatnya malah dapat kuliah”.
Surti : “Pantesan. Habis cita-cita Yanti mau jadi dosen”.
Yanti : “Aku memperingati Mirna bahaya main-main rokok begituan.”
Surti : “Sudahlah. Mari kita pulang saja. Ini sudah jam setengah dua. Sebentar lagi kelas ini dipakai anak–anak sore.”
Yanti : “Pulanglah dulu kalau kalian mau pulang. Aku butuh belajar...”
Surti : “Ahh...kau menunggu pak Lukas, kan !” (Surti, Mirna, Husni, tertawa bersama).
Yanti : “Pergi!”
Mirna : “Sekolah ini memang konyol”.
Yanti : “Sekolah ini tidak salah. Tapi kita yang salah. Kita terlalu menuntut banyak”.
Husni : “Kita membutuhkan sesuatu di sekolah ini kalau sesuatu yang kita butuhkan tidak kita temukan di rumah”.
Yanti : “Ya, benar”.
Husni : “Sukar sekali”.
Yanti : “Sedih bukan.”
Mirna : “Agar kita betah di sekolah, tapi apa itu mungkin....?”
Yanti : “Sedih sekali”.
Mirna : (Berjalan mau mengambil rokok yang sudah dibuang)
Yanti : “Biarkan di situ !”
Mirna : “Kalu ketahuan?”
Yanti : “Biar guru-guru kita mengerti,, inilah dunia kita yang sebenarnya”.
Mirna : “Tapi aku akan dimarahi lagi”.
Yanti : “Akulah yang akan bilang bahwa aku yang membawa rokok itu.”
Mirna : “Yanti !”
Yanti : “Aku mau tah sesudah guru marah, lalu berbuat apa pada kita”.
Husni : “Aku akan ikut dimarahi, Yanti. Ayo, ambil !”.
Yanti : “Jangan !”
Surti : “Kau jangan aneh-aneh, Yanti. Kalau kita dikelurkan bagaimana...?
Yanti : “Percayalah. Guru-guru kita perlu mengerti apa yang kita pikirkan, kita butuhkan, kita gelisahkan setiap hari....agar mereka tidak sekedar menempa kita dengan rumus-rumus yang harus kita hafal setiap hari...” (Yanti pergi yang lain menatap terus mengikuti perginya).
Mirna : “Yanti.., Yanti tunggu...”


SELESAI

Karya : Febriani

2 komentar: