Minggu, 04 Juli 2010

Cerpen "Kopi Darat Buaya Darat"

Terik siang di hari Sabtu, pukul satu.
“Hei...! Ema, ya ?”
“Betul....kak Agus kan ?
Agus mengangguk tersenyum. Tangan kanannya bergerak maju. Ema membalas. Keduanya berjabat tangan.
“Ke mana kita ?”
“Terserah kak Agus, deh...”
“Oke... kita makan pizza aja, ya ? Ema belum makan siang, kan ?”
Ema menjawab dengan sesungging senyum. Keduanya lalu berjalan. Menelusuri setiap outlet yang ada di PIM.
Ini namanya kejatuhan duren. Sungguh di luar dugaan Agus. Minggu lalu ia sempat ikut-ikutan chatting bareng Bogi, kawan sekelasnya di kampus, di sebuah warung internet. Tak disangka seorang gadis dengan nama akun Jelita menghampirinya lewat obrolan di Facebook. Agus terlena di depan monitor komputer. Mereka membuat janji untuk bertemu dan hari ini janji itu pun terlaksana. Janji yang telah dipersiapkan dengan keringat dan penuh kecemasan. Karena sebenarnya Ema menolak diajak jalan. Karena Agus memohon dengan amat sangat, maka terlaksanalah rencana ini.
Sedikit melongok, Agus memperhatikan outlet Pizza. Padat oleh orang yag sedang memperhatikan mengunyah makanan Italia itu. Semuanya berwajah asing bearti semua aman terkendali. Tak ada yang dikenalnya ataupun mengenalnya.
Ya, Agus tidak mau keberadaannya diketahui di tempat ini, apalagi ia bersama seorang wanita cantik. Bisa bahaya kalo sampe tindakannya ini bocor. Bukan apa-apa, di kalangan tetangga, Agus dikenal sebagai jomblo sejati. Selain itu, sehari-hari ia adalah warga yang rada-rada miring, tapi rajin. Makanya, banyak yang suka dengannya dari pak RT sampai ibu-ibu menyukainya.
Setelah mendapat tempat di sudut ruang, Agus kembali bersikap awas.
“Sepertinya kak Agus gelisah....”
“Oh, nggak. Aku cuma lihat-lihat kalau aja teman disini”.
“Mau diajak juga?”
“Iyalah...”
“Kak Agus orangnya baik hati, ya”
Wajah Agus memerah. Ia menundukan kepalanya berusaha menyembunyikan kebohongannya.
“Sebenarnya kak Agus pekerjaannya apa?” Ema menyambung percakapan.
“Mmmmhh..,apa, ya ? Wiraswasta gitu...” jawab Agus.
“Oh, wiraswasta. Bidangnya ?”
“Jasa transportasi”
“Wah, hebat dong ! Pasti perusahaan kak Agus maju, ya. Itu milik sendiri ?”
Agus tersedak. Ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu sungguh menkhawatirkannya.
“Nggak, juga. Masih kecil-kecilan”.
“Ah, kak Agus suka merendah. Ema suka banget dengan sifat seperti kakak.”
Agus melayang. Sungguh, kalimat terakhir tadi seperti membuat tubuhnya melayang tinggi ke angkasa. Ada semacam kebanggaan yang begitu memuncak ketika pujian tersebut terucap dari mulut Ema.
“Kita ke tempat lain yuk ! Ema sudah kenyang, kan ?”
Keduanya berjalan keluar. Lengan kanan Agus memeluk erat pinggul Ema.
Keesokan harinya pada hari Minggu tepatnya pukul empat sore, Agus bertemu dengan seorang gadis yang bernama Lena yang juga kenalan melalui obrolan di facebook.
“Hei, mas Agus, kan ?”
“Kok, kamu tahu ?”
“Iyalah, kan janjian di sini. Cuma satu orang kan...”
“Eh, iyaaa...”, Agus menunduk menyembunyikan wajah bloonnya.
“Sekarang kita ke mana mas agus ?”
“Terserah kamu, deh”.
Mereka bertemu di toko buku Gramedia. Mereka menyusuri trotoar di jalan tersebut. Matahari sore seakan tersenyum melihat dua sejoli berbunga-bunga. Matahari menyelimuti mereka dengan sinar emas yang terindah.
Tepat di Senin pagi yang kebetulan diliputi suasana mendung seorang teman Agus menghampirinya.
“Halo, kawan, gimana ? Bisa hari ini, kan ?”
“Maaf, Din. Aku belum punya duit”.
Wajah Agus pucat. Ia memperbaiki posisi duduknya.
“Wah, gimana, sih kamu ini ? Apa kamu lupa ?”
“Aku ingat, Din. Sangat ingat tapi....”
Udin langsung memotong ucapan Agus. “Ah, begini aja deh. Aku kasih waktu sampai besok sore, tapi janji harus dilunasi”.
“Aku minta waktu seminggu, Din. Tolonggg..”, Agus memelas.
“Hah! Seminggu. Jangan bercanda, Gus”.
“Aku ngak bercanda dompetku benar-benar tipis”.
Udin memandang tajam ke arah Agus. Ingin betul rasanya ia menelan hidup-hidup kawannya itu. Kalo saja dia tidak ingat Agus adalah sahabatnya mungkin dari tadi sebuah bogem sudah mendarat di pipinya. Namun, kerut wajah Udin tiba-tiba mengendur. Dia lalu tertawa terbahak-bahak. Lucu melihat wajah Agus yang mulai tidak terbentuk. Rasa iba pun menggelayut.
“Hey, kawan ! Kau apakan duit yang aku pinjamkan itu ?”
“Mentraktir kawan”. Jawab Agus gelagapan.
“Traktir siapa ?”
“Teman chatting”.
“Hah ! teman chatting. Pantesan motor ojek bututmmu itu belum bisa jalan. Bukannya duit dipakai untuk servis !”
Suasana menjadi senyap. Mereka saling bergantian memandang. Tidak lama kemudian senyum Agus merekah. Udin menepuk pundaknya, tapi belum sempat keduanya berpelukan, sebuah teriakn keras seakan mengaum di balik pagar.
“Heh, Agus ! Kau ada di mana ? Sewa ojek minggu lalu belum kau setor.”
Agus dan Udin lalu lari terbirit-birit.

SELESAI

Karya : Febriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar