Minggu, 04 Juli 2010

Cerpen "Surat Nurani"

Aku gemetar saat menerima surat dari ibuku. Aku heran, bagaimana ibuku bisa tahu alamatku ? aku merasa tidak pernah memberitahu kepada siapa pun. Seingat ku, tak dan yang tahu jika aku tinggal di sebuah desa di pesisir pantai yang jauh dari keramaian. Sebuah daerah yang tidak tertera dalam peta. Para penduduk asli hidup dari menangkap ikan di laut. Hampir seluruh penduduk di sana bekerja sebagai nelayan. Ikan tangkapan mereka tak menjanjikan kekenyangan. Bahkan, banyak yang pulang dengan tangan hampa.
Aku masih tertegun. Surat dari ibuku belum kubuka. Berbagai perasaan teraduk dalam rongga dadaku. Aku masih penasaran dengan kedatangan surat itu. Lembaga Swadaya Masyarakat yang menugaskan ku mengabdikan diri di desa ini telah berjanji untuk tidak membocorkan alamatku. “Apakah mereka berkhianat ?” pikirku. Ketika memutuskan untuk berangkat, aku memang sengaja tidak memberitahu keluargaku. Alasannya sederhana, kalau aku pamit pasti keluargaku tak mengizinkan. Dan akhirnya, dorongan kemanusiaan lebih berbicara daripada pertimbangan keluarga.
Lamunanku berantakan oleh suara anak-anak didikku yanng ribut. Meskipun jumlah mereka hanya sekitar dua puluh anak, suara mereka terasa sangat dahsyat menghentak-hentak gendang telinga. “Apakah pekerjaan kalian sudah selesai ?” ujarku dengan nada yang agak keras. Mendadak kelas menjadi hening.
“Coba kamu maju !” aku menunjuk salah seorang anak yang duduk di bagian belakang. Mirwan anak yang ku tunjuk itu pelan-pelan maju ke depan.
“Coba baca karanganmu !” Mirwan diam. Aku mengulangi perintahku.
“Saya belum membuat, Bu...” jawab Mirwan setengah takut.
“Kamu ini bagaimana, Cuma bikin karangan soal keluargamu saja tidak bisa. Kamu kenal bapakmu, kan ? kenal ibumu, kan ? kenal saudara-saudaramu, kan ?”
Mirwan menggeleng. Aku heran, bahkan setengah jengkel.
“Saya tidak pernah tahu siapa bapak saya, ibu saya, saudara-saudara saya...”, seluruh isi kelas tertawa. Mirwan mendadak menangis.
“Kamu sekarang tinggal bersama siapa ?”
“Nenek...”, Mirwan mengusap air matanya. Kelas kembali dipenuhi tawa. Aku menenagkan anak-anak.
“Lantas di mana bapakmu ? ibumu ? saudara-saudaramu ?” aku mencoba mendesak, namun Mirwan tetap menggeleng.
“Kamu tidak harus mengumpulkan karanganmu sekarang. Besok pagi, ibu tunggu, kamu harus membuat, ya, semampu kamu”, ujarku menenangkan Mirwan.
Di tempat tinggalku yang lebih layak disebut barak, aku membuka surat dengan perasaan ringan. Namun, hatiku bergetar ketika menatap tulisan tangan yang rapi, halus dan teratur dari ibuku. Terbayang wajah ibuku dengan tatapan mata tua yang teduh dan menentramkan. Namun, sekejap kemudian aku terperanjat dengan isi surat yang sangat pendek. Murni, ibu menunggumu untuk pulang. Ibu sangat mengkhawatirkan keselamatanmu. Dalam layar benakku terbayang wajah cemas ibu, tetesan air matanya yang menganak sungai di parit-parit pipinya. Sekejap kemudian, muncul wajah bapakku yang sakit-sakitan, wajah bapak dan ibu yang merindukan kehadiranku.
Aku kembali mengenag ketika pertama kalinya menjejakkan kaki di desa itu. Di bawah putaran baling-baling helikopter yang membawaku ke desa terpencil ini. Aku di songsong puluhan anak. Mereka mengelu-elukan kedatanganku. Ada yang menyanyi dan ada yang menari. Sambutab hangat itu membuat mataku barkaca-kaca. Orang-orang tua menyambut hangat. Aku pun merasa bangga, meskipun sambutan itu tanpa kalungan bunga.
Surat yang ada di genggamanku membuat pita ingatanku terputus seketika. Yang terngiang kemudian adalah ucapan ibuku yang begitu singkat dan pendek. Kata “pulang” kembali terngiang. Malam-malam di barak pengungsian ini menjadi sangat panjang dan memilukan. Waktu terasa berhenti, bahkan mati. Hari memang terus berganti, tapi tidak dalam soal penderitaan. Penderitaan selalu menjadi raksasa yang kuat mencengkram leher siapa saja.
“Kenapa begitu banyak orang harus dilenyapkan hanya karena punya perbedaan ? Apakah tuhan memang sengaja menciptakan perbedaan agar manusia saling berbunuhan ? uhh...kehidupan yang diasuh oeh prasangka...”, keluhku dalam hati.
Satu persatu aku pun mmemeriksa hasil karangan murid-muridku. Aku mencium aroma anyir darah dalam kalimat-kalimat mereka. Mendadak aku terhenyak membaca karangan Mirwan. Tulisan itu lebih pantas disebur surat.
Ibu, maaf aku tidak bisa menuliskan karangan yang seperti ibi harapkan, aku tak lagi punya keluarga. Ayahku mati entah ditembak oleh siapa, ibuku hilang entah diculik oleh siapa, saudara-saudaraku.....ah, maaf aku tak mampu melanjutkan.
Aku ingin mengungkapkan seluruh pengalaman ini dalam surat untuk ibuku. Namun, mendadak niat itu aku batalkan. Aku tak ingin menambah kesedihan ibuku, bapakku, dan saudara-saudaraku. Dalam surat itu, akhirnya aku hanya menulis, ibu, tapi, aku pasti pulang entah kapan.

SELESAI

Karya : Febriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar