Minggu, 04 Juli 2010

Cerpen "Temanku Malang"

Pagi yang indah sekali di pelataran Benteng Kuto Besak. Matahari bersinar cerah menimpa sungai musi yang terus mengalir. Jembatan Ampera berdiri dengan kokohnya menampakan kegagahan kota Palembang. Langit sangat bersih, biru cerah, menjadi latar belakang yang menonjolkan kegagahan Jembatan Ampera.
Keindahan alam pagi itu saya potret dari beberapa sudut. Selesai memotret, saya menoleh berkeliling dan menangkap sesosok tubuh berjalan ke arah saya. Segera saja saya ingin memotretnya. Cepat-cepat saya bidikan lensa ke arahnya. Melalui lensa saya melihat seorang wanita berpakaian sangat sederhana menggendong sebuah baskom dengan sehelai kain yang sudah pudar warnanya. Tidak terlihat kesegaran dan kecerahan diwajahnya yang masih muda. Ia bahkan tampak tidak peduli, memandang ke depan dengan pandangan kosong. Dua kali saya berhasil memotretnya, tetapi dia tampaknya tidak menyadari apa yang telah saya lakukan. Tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat keras dari arah belakangnya. Sebuah mobil angkot jurusan Plaju-Ampera berjalan kencang. Dia kelihatan tersentak, segera menepi, dan bersamaan dengan itu dia mula melihat saya.
“Pempek, mbak”, katanya sambil mengangkat baskom dari kain gendongnya. Di balik daun pisang penutup baskom itu kelihatan bermacam-macam pempek yang dijualnya. Saya langsung saja menikmati pempek itu. Pada suatu saat saya merasa wanita itu memperhatikan saya. Saya menengok ke arahnya. betul saja. Dia menatap saya.
“Dita, ya ?” katanya sambil menunjuk ke arah saya dengan ibu jarinya. Saya kaget. Dari mana dia tahu nama kecil saya ? siapa sih dia ? rasanya saya tidak kenal siapa pun di sini.
“Ayolah,Dita, seharusnya kamu tidak melupakan saya”, sambungnya dengan suara lirih memelas sambil menundukan kepalanya. Saya amati wajahnya dalam-dalam. Saya berusaha mengingat-ingat. Pelan-pelan terasa bahwa saya pernah mengenalnya. Tapi, siapa ?
“Kamu lupa sama saya, Tari, Utariah,” lanjutnya, dengan wajah yang betul-betul menghancurkan perasaan. Saya tidak dapat berkata-kata. Rasanya seperti ingin menangis. Dia, Utariah teman sekelas saya di SD. Seingat saya, dia sangat pintar. Dalam persaingan pelajaran dia selalu dapat mengalahkan saya. Banyak orang yang memuji otaknya yang cemerlang. Tapi, apa yang terjadi dengannya ?
“Mikirin apa ?” tanyanya tiba-tiba.
“Anu...”, kata saya gugup, terbata-taba. “Lama sekali kita berpisah, ya ? terakhir waktu kelas enam. Sesudah itu saya pindah ke Jakarta. Saya tidak tahu harus mengatakan apa. Rasanya saya ingin sekali dia yang terus berbicara, menceritakan apa saja yang terjadi pada dirinya. Tapi maukah dia bercerita ? bagaimana cara terbaik memancingnya, tanpa dia merasa tersinggung ?
Lama juga kami terdiam. Kelihatannya dia tidak bersedia bercerita. Seetelah menekan perasaan kuat-kuat, akhirnya saya memecahkan kesunyian dengan memulai bercerita tentang diri saya. Saya katakan bahwa saya sedang menunggu teman-teman yang sedang mengunjungi museum.
“Kamu kelihatannya senang, ya”, katanya tiba-tiba memotongn cerita saya. “Ada kesempatan meneruskan sekolah, punya banyak teman, punya banyak kesempatan untuk jalan-jalan menikmati hidup”. Kami terdiam lagi sebentar, kemudian dia menarik napas dalam-dalam. “Kamu ingat ayah saya tukang pos”, lanjutnya. “Ayah meninggal waktu saya kelas dua SMP. Kami harus berjuang keras untuk hidup. Mula-mula kami jual rumah untuk modal. Kami pindah ke sini. Kami mencoba membuka warung. Hasilnya pas-pasan saja sementara kebutuhan semakin besar. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencoba mencari tambahan. Itu baru kira-kira enam bulan sesudah ayah meninggal”.
Saya terperangah. Gila, pikir saya. Ini benar-benar kenyataan yang sangat buruk yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi.
“Sulit sekali bagi saya mencari pekerjaan karena saya tidak mempunyai ijazah apa-apa. Saya pernah menjadi pelayan restoran, tapi ongkos pulang pergi ke sana terlalu besar.saya terpaksa berhenti bekerja dan berusaha keras membantu usaha ibu. Tapi, tidak banyak hasilnya. Saya berusaha keras keluar dari kesulitan itu. Inilah akhirnya”, katanya sambil mengerakkan kepalanya ke arah baskom pempek.
“Adik-adikmu bagaimana ?” tanya saya ssudah terdiam beberapa saat.
“Alhamdulillah, sampai sekarang mereka masih bersekolah. Tapi, mereka semua juga ikut mencari tambahan.
Kami terdiam lagi beberapa saat sebelum dia melanjutkan, “Mudah-mudahan saya dapat menemukan jalan lain yang lebih baik buat kami”.
Kalau saja saya banyak uang, tentu saya dapat membantnya. Saya sedih sekali karena tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, saya lebih banyak terdiam dan memperhatikan dia yang pernah menjadi teman karib saya. Tidak dapa saya bayangkan apa yang sedang dipikirkannya saat itu.
“Ini hari Sabtu”, tiba-tiba Tari memecah kesunyian di antara kami. “Nanti sebentar lagi pasti banyak orang yang datang ke sini. Mudah-mudahan saja saya dapat banyak duit”, sambungnya mencoba berseloroh. Apakah dia dapat membaca pikiran saya ?
Dia membereskan baskomnya sebentar, kemudian bersiap berangkat. “Saya harus pergi, Dita. Sampai ketemu lagi”, katanya.
“Hei, tunggu, Tari. Saya belum bayar,” kata saya sambil menyerahkan uang sebanyak Rp.50.000,00 semua yang ada di saku saya. Uang jajan diperjalanan pulang nanti, itu soal nanti saja, pikir saya, “Ambillah, Tari, barangkali bisa sedikit membantu”. Kami berpandangan. Saya tidak tahu apa yang ada dipikirannya.
“Terimah kasih banyak, Dita,” katanya.
Sambil menjabat tangannya, saya berkata, “Salam untuk ibu,ya. Nanti malam barangkali saya kembali ke Jakarta, jadi sampai ketemu lagi”.
Dia mengangguk sambil mencoba tersenyum. Kemudian mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Saya terus memandanginya, sampai sosok tubuhnya hilang di pengkolan. Saya masih belum percaya bahwa inilah hidup.
Matahari bersinar terik ketika saya kembali ke penginapan. Jembatan Ampera mulai menghilang tertutup kabut. Kota Palembang memang indah,tetapi nasib Utariah terus membayangi perasaan saya.

SELESAI

Karya : Febriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar