Cinta Terhalang Orang Tua
Dua sepasang kekasih yang senang dimabuk asmara mereka berdua berkata bahwa tidak akan ada yang memisahkan cinta kita sampai mautlah yang memisahkan kita berdua. Tapi kebersamaan mereka di tentang oleh kedua orang tua.
Siang itu Diah dan Dino duduk bersama sambil memandang langit dan berkata betapa indahnya hari ini.
Diah :“Dino aku sangat mencintaimu walaupun yang terjadi nanti aku hanyalah milikmu”
Dino : “Aku pun sangat mencintaimu
Diah : “Tapi…….”
Dino : “Tapi kenapa dik ?”
Diah : “Aku sedih melihat percintaan kita ini”.
Dino : “Sedih kenapa ,dik ?”
Diah : “Kamu tahu sendiri (dengan terbata-bata). Orang tuaku tidak pernah menyetujui hubungan kita”.
Dino : “Aku tidak pernah takut karena cintaku tulus untukmu.. kalau kamu yakin dengan cinta kita semua halangan dan rintangan yang menghalangi cinta kita tersa indah dan begitu bahagia.. dik, kamu menangis ya ?”
Diah : “Ngak kenapa-kenapa ?”
Dino : “Kamu jangan bohong sama aku. Kamu percaya betapa besarnya cinta ku terhadap kamu”.
Diah : “Aku percaya kalau kamu begitu menyayangi dan mencintai kamu dengan segenap jiwa dan ragamu.. aku nggak mau kebersamaan kita hanya sementara saja.”
Dino : “Begitu juga aku,dik. Aku sangat sayang sama kamu. Karena kalau itu sampai terjadi rasanya aku bisa mati karena hanyalah kamu belalan jiwaku selamanya.”
S etelah apa yang dilakukan Diah dan Dino terjadi juga. Karena kedua orang tua diah akan mengirim diah ke luar negeri.
Diah : “Kita harus bagaimana ?”
Dino : “Kamu harus tenang ya dik”.
Diah ; “Dalam keadaan seperti ini kau tidak bisa tenang.. apa kamu mau kalau kau benar-benar pergi ?”
Dino : “Aku akan tetap di sini bersama mu”.
Diah : “Kamu harus berpikir bagaimana jalan keluarnya?”
Ketika keduanya sedang asyik berbicara orang tua Diah sedang berada di rumahnya yang sedang berbicara di rumahnya. Di tempat itulah orang tuany asangat marah kepada Dino.
Diah : “Tidak ayah,,, dino tidak boleh pergi.”
Dino : “Kamu jangan menangis, dik”.
Diah : “Dino jangan pergi.”
Ayah : “Sudahlah.. diah kamu tidak perlui mengelurkan air mata buat laki-laki itu.”
Diah : “Ayah jahat”.
Diah menangis dari tadi siang sampai malam tidak ada henti-hentinya pada saat itu.
Dino : “Diah”…
Diah : “Siapa ?”
Dino : “Ini aku Dino…”
Diah : “Benarkah itu kamu ?”
Dino : “Kita harus pergi”.
Diah : “Pergi ke mana Dino ?”
Dino : “Jauh dari kedua orang tua mu.”.
Diah : “Tapi….”.
Dino : “Mengapa kamu tidak mau yah.. hidup bersama ku…”
Diah : “Bukan begitu Dino tapi aku takut”.
Dino : “Jangan takut. Selagi kamu bersamaku karena aku akan menjagamu sampai kapan pun”.
Diah : “Iya.. Dino aku mau pergi sama kamu”.
Malam itulah Dino dan Diah meninggalkan rumah mereka masing-masing karena mereka mau memberikan bahwa cinta mareka begitu kuat dan suci.
Jumat, 09 Juli 2010
Cerpen "Khayalan Indah"
Khayalan Indah
Karya : Sutriani
Sisa-sisa hujan tadi malam belum juga redah aku mengulurkan tangan dibawah cucuran-cucuran atap dan membiarkan tetesan air hujan membasahi telapak tanganku, aku memalingkan pandangan lalu menatap kearah cermin dan memandangi wajahku sendiri. Sambil berkata, salah diriku jika mencintainya, semakin sakit kurasa bila harus terpendam lama didalam hatiku, hari-hariku yang cerah seakan-akan berubah emnjadi kelam, aku bagaikan pungguk merindukan bulan yang Cuma hanya bermimpi dan bermimpi saja tidak bisa menghadapi semua kenyataan yang ada, akankah aku akan menemukan cinta sejatiku yang bias membuat batinku tenang dan juga membuat detak jantungku berhenti bilaku ada disampingnya kan ku jaga rasa cinta ini sehingga ceritanya tiada akhir bagaikan air hujan terus-menerus membasahi bumi kemudian aku tersenyum dan mulai bergegas.
dari tempat dudukku dan terbangun dari lamunan karena matahari sudah memancarkan cahayanya yang begitu terang tepat menuju kearah kamarku kemudian ku buka jendela sambil berkata selamat pagi udara yang diam begitu indah dengan suara burung-burung berkicau dan kulihat daun-daun menari oleh hembusan-hembusan angina merasakan ada kedamaian hari ini, harapanku semoga hari ini akan lebih baik dari hari kemarin, aku mulai bergegas untuk melakukan aktivitas karma takkan ku biarkan setiap detiknya terbuang dengan percuma karna bagiku waktu itu sangatlah berharga, kulihat jam telah menunjukkan pukul 06.00 waktunya merapikan tempat tidur dan mandi setelah itu aku berangkat kuliah bersama dengan teman-temanku yang sangat aku sayangi.
Di perjalanan menuju kampus aku melihat sosok lelaki tampan yang sedang berdiri menunggu sesuatu, jantungku berdetak begitu kencang aku pun bertanya-tanya dalam hatiku sendiri apa yang sebenarnya yang ku rasakan ini, dengan pandangan yang begitu dingin dan senyuman yang lembut dia pun melihatku. Terlihat dimatanya ada sesuatu disitu detak jantungkupun bertambah kencang dengan penuh keramahan lelaki itu menyapaku, akupun menjawabnya dengan malu-malu dan yang ku rasa seakan-akan kami sudah lama saling mengenal satu sama lain, langka kakiku terasa berat untuk melangka serasa batu-batu yang begitu besar menumpuk di kedua kakiku yang lebih membuatku senang dia mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya, hai aku ramah disertai dengan senyuman nya yang manis, akupun mengulurkan tanganku dan aku sebut namaku.
Bahkan tak terasa detik demi detik pun telah terlewati, teman-temanku sudah memanggilku, mereka menyindirku , sudah selesaikan kenalannya, akupun merasa malu dan tersenyum sendiri dan aku langsung berkata kepada ramah, ram sampai ketemu lagi ya … dia pun menjawabnya , udah dea hati-hati saja di jalannya. Kami pun saling tukar nomor handphone masing-masing kemudian aku bersama teman-temanku meninggalkan ramah begitu juga dia dengan perasaan dan hati yang gembira aku melangkahkan kakiku meninggalkan dia aku berkata dalam hatiku, dialah cinta sejatiku yang ku cari selama ini.
Karya : Sutriani
Karya : Sutriani
Sisa-sisa hujan tadi malam belum juga redah aku mengulurkan tangan dibawah cucuran-cucuran atap dan membiarkan tetesan air hujan membasahi telapak tanganku, aku memalingkan pandangan lalu menatap kearah cermin dan memandangi wajahku sendiri. Sambil berkata, salah diriku jika mencintainya, semakin sakit kurasa bila harus terpendam lama didalam hatiku, hari-hariku yang cerah seakan-akan berubah emnjadi kelam, aku bagaikan pungguk merindukan bulan yang Cuma hanya bermimpi dan bermimpi saja tidak bisa menghadapi semua kenyataan yang ada, akankah aku akan menemukan cinta sejatiku yang bias membuat batinku tenang dan juga membuat detak jantungku berhenti bilaku ada disampingnya kan ku jaga rasa cinta ini sehingga ceritanya tiada akhir bagaikan air hujan terus-menerus membasahi bumi kemudian aku tersenyum dan mulai bergegas.
dari tempat dudukku dan terbangun dari lamunan karena matahari sudah memancarkan cahayanya yang begitu terang tepat menuju kearah kamarku kemudian ku buka jendela sambil berkata selamat pagi udara yang diam begitu indah dengan suara burung-burung berkicau dan kulihat daun-daun menari oleh hembusan-hembusan angina merasakan ada kedamaian hari ini, harapanku semoga hari ini akan lebih baik dari hari kemarin, aku mulai bergegas untuk melakukan aktivitas karma takkan ku biarkan setiap detiknya terbuang dengan percuma karna bagiku waktu itu sangatlah berharga, kulihat jam telah menunjukkan pukul 06.00 waktunya merapikan tempat tidur dan mandi setelah itu aku berangkat kuliah bersama dengan teman-temanku yang sangat aku sayangi.
Di perjalanan menuju kampus aku melihat sosok lelaki tampan yang sedang berdiri menunggu sesuatu, jantungku berdetak begitu kencang aku pun bertanya-tanya dalam hatiku sendiri apa yang sebenarnya yang ku rasakan ini, dengan pandangan yang begitu dingin dan senyuman yang lembut dia pun melihatku. Terlihat dimatanya ada sesuatu disitu detak jantungkupun bertambah kencang dengan penuh keramahan lelaki itu menyapaku, akupun menjawabnya dengan malu-malu dan yang ku rasa seakan-akan kami sudah lama saling mengenal satu sama lain, langka kakiku terasa berat untuk melangka serasa batu-batu yang begitu besar menumpuk di kedua kakiku yang lebih membuatku senang dia mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya, hai aku ramah disertai dengan senyuman nya yang manis, akupun mengulurkan tanganku dan aku sebut namaku.
Bahkan tak terasa detik demi detik pun telah terlewati, teman-temanku sudah memanggilku, mereka menyindirku , sudah selesaikan kenalannya, akupun merasa malu dan tersenyum sendiri dan aku langsung berkata kepada ramah, ram sampai ketemu lagi ya … dia pun menjawabnya , udah dea hati-hati saja di jalannya. Kami pun saling tukar nomor handphone masing-masing kemudian aku bersama teman-temanku meninggalkan ramah begitu juga dia dengan perasaan dan hati yang gembira aku melangkahkan kakiku meninggalkan dia aku berkata dalam hatiku, dialah cinta sejatiku yang ku cari selama ini.
Karya : Sutriani
DRAMA "ADIKKU TERSAYANG"
ADIKKU TERSAYANG
Karya : Roaidah
Panggung menggambarkan sebuah rumah sederhana, ruang keluarga yang terdiri dari satu set meja kursi, almari beserta isinya, dan di dinding terpasang beberapa foto keluarga. Sore hari yang cerah, sinar sang surya yang masih hangat menerobos melalui celah jendela. Saat itu Ratni sedang berbincang-bincang dengan Lasmi.
Adegan I
Lasmi sedang manjahit baju Garno yang sobek terkait ranting di ladang di ruang tengah, masuklah Lasmi sambil membawa pakaian yang sudah rapi disetrika.
Lasmi : (Duduk di dekat Ratni) Ayah belum pulang, Bu?
Ratni : Ayahmu menyelsaikan pekerjaan, katanya nanggung. Ayahmu memang orangnya seperti itu, kalau mengerjakan sesuatu nggak pernah tanggung-tanggung. Tumben kamu tanya ayahmu? Biasanya dia pulang malam kamu juga gak pernah tanya (sambi menjahit).
Lasmi : (mendekati Ibu) Aku ingin menanyakan sesuautu pada Ayah, Bu. Tentang masa depanku.
Ratni :Maksudmu? (heran) Kamu ingin sekolah? Kamu nggak perlu sekolah, harta ayahmu tidak akan habis sampai tujuh turunan. Atau ingin menikah?
Lasmi : Aku kan sudah besar, Bu. Sudah sepantasnya aku menerima harta warisan dari ayah. Umurku 15 tahun, bagi orang kampung itu usia yang sudah cukup untuk menerima warisan.
Rtni : Tapi untuk apa? Kamu kan masih tinggal bersama kami. Jika kelak nanti kamu sudah menikah, ayahmu pasti akan memberikan warisan itu.
Lasmi : (membujuk) Tapi, Bu. Teman-temanku belum menikah sudah mendapatkan warisan dari orang tuanya, bahkan umurnya lebih muda dari aku, Bu.
Ratni : Ya nanti Ibu bicarakan dengan ayahmu. Sekarang kamu siapkan makanan di dapur, untuk makan nanti malam.
(Lasmi pergi ke dapur, Ratni masih menyelaikan jahitannya)
Adegan II
Ratni : (Tiba-tiba Garno masuk dari pintu belakang) Eh, Bapak sudah pulang. Kok Ibu nggak dengar, sudah mandi lagi lagi.
Garno : (Duduk di samping Ibu) Iya. Aku tadi langsung mandi, punggungku kena ulat dari pohon kedondong. Sudah selesai Bu, bajuku?
Ratni : Gosok minyak angin saja Pak, daripada nanti tambah gatal!
(Ratni mengambilkan minyak angin, lalu menggosokkannya di punggung Bapak). Pak tadi Lasmi bilang sama Ibu, menanyakan tentang bagiannya? Apa Bapak sudah memikirkan hal itu?
Garno : (Kaget) Apa? Mau apa dia? Memangnya dia sudah tidak butuh kita? Apa dia ingin hidup sendiridenga membawa warisan dan berfoya-foya di luar sana? Aku tidak akan melakukannya.
Ratni : Tapi Pak...
Garno : Diam. Aku mau tidur, aku tidak mau membicarakan masalah ini lagi. Bilang sama anakmu jangan macam-macam.
(Ayah masuk kamar dengan nada marah)
Lasmi : (Lasmi masuk dari dapur) Bu, Ayah kenapa, Bu? Ayah marah ya Bu?
Ratni : Ya seperti itulah Ayahmu, kalau kehendaknya tidak sesuai dengan keinginannya.
Lasmi : Jadi, ayah tidak akan memberikanku warisan, Bu?
(Marah, lalu pergi ke luar rumah, entah kemana)
Ratni : (Menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang Lasmi pergi)
Adegan III
Lasmi : (Masuk dari kamar ke ruang tengah, sambil mengintip apakah ada orang atau tidak) Syukur...tidak ada orang (membuka laci lemari, mencari-cari sesuatu) Di mana ya ayah menyimpan uang? Biasanya di sini. Kok nggak ada. (kembali membuka laci-laci yang lain) Ini dia...
(mengambil satu ikat uang yang jumlahnya cukup banyak lalu dimasukkan ke dalam tas dan pergi entah kemana. Tanpa aepengetahuannya, Rusdi ternyata mengintip dari balik pintu kamarnya)
Rusdi : (masuk ke ruang tengah lalu merapikan laci-laci yang masih terbuka) Kenapa kakak senekad ini? Kalau ketahuan ayah pasti ia dihajar habis-habisan.
Ratni : Kamu sedang apa Rusdi?
Rusdi: (Kaget) Eng...eng...enggak apa-apa, Bu. Cuma merapikan laci-laci saja. Tadi berantakan, Bu.
Ratni : (Curiga) Tumben kamu merapikan laci, biasanya kan kamu nggak pernah bersih-bersih atau merapi-rapikan sesuatu, kamarmu saja berantakan?
Rusdi : I...Iy...Iya, Bu tadi kebetulan lewat...
(Langsung pergi ke luar karena dipanggi teman-temanya)
Ratni : (Masih bingung) Aneh anak itu, tak seperti biasanya. Dia tampak gugup...atau jangan-jangan...(Lalu membuka laci tempat menyimpan uang Ayah) Hah...uang ayah nggak ada...kemarin kan ayah jual cengkeh kering 5 kuintal, uangnya kan satu gepok. Kok sekarang nggak ada. Atau mungkin sudah diambil ayah?
(Masih bingung, lalu menuju ke dapur)
Adegan IV
Garno : (Masuk dari luar, lalu membuka laci akan mengambil uang untuk membayar sesuautu)
Loh...kok uangku nggak ada? (mencari lagi, semua laci dibuka tapi tidak ketemu) Bu...Bu...uangku mana? Kok hilang
Ratni : (Nampak berlari dari dapur) Ada apa Pak? Kok teriak-teriak, kayak ada maling saja.
Garno : Uangku mana Bu, Bapak cari nggak ada. Jangan-jangan memang ada maling.
Ratni : Ibu nggak tau Pak.
Garno : Jangan-jangan malingnya anak-anak...? mana mereka? Lasmi...Rusdi...
Ratni : (Ibu gelisah)...sabar Pak, dicari dulu. Mungkin Bapak lupa!
Lasmi : Ada apa Pak?
Rusdi : (Menyusul) Ada apa Yah?
Garno : Kalian pasti ngambil uang Ayah kan?
(Anak-anak diam, mereka saling berpandangan, sambil menunduk)
Garno : Kenapa alian diam? Jawab! Siapa yang menambil? Lasmi...pasti kamu yang ngambil kan? Karena permitaanmu tidak Bapak kabulkan. Begitu caramu...? Baik jika kamu tidakmau ngaku.
(mengambil sapu lidit lalu memukulkannya pada Lasmi)
Ratni : Sabar Pak...
Garno : Diam...
Rusdi : Ayah...hentikan! bukan Kak Lasmi yang mengambil uang Ayah tapi aku. Jika Ayah ingin memukul, pukul saja aku! Jangan pukul kak Lasmi. Dia tidak bersalah.
Garno : Apa...? (Lalu Garno memukuli Rusdi samapai babak belur)
Lasmi : Ayah hentikan....Ayah hentikan....bukan Rusdi Ayah...
(Garno pergi meninggalkan mereka dengan nada marah. Lasmi memeluk Rusdi eat-erat)
Lasmi : Maafkan aku rusdi, tak seharusnya kamu dipukuli oleh ayah...Kamu memang adik yang paling baik. Maafkan aku.
(Mereka berpelukan sambil menangis)
Karya : Roaidah
Panggung menggambarkan sebuah rumah sederhana, ruang keluarga yang terdiri dari satu set meja kursi, almari beserta isinya, dan di dinding terpasang beberapa foto keluarga. Sore hari yang cerah, sinar sang surya yang masih hangat menerobos melalui celah jendela. Saat itu Ratni sedang berbincang-bincang dengan Lasmi.
Adegan I
Lasmi sedang manjahit baju Garno yang sobek terkait ranting di ladang di ruang tengah, masuklah Lasmi sambil membawa pakaian yang sudah rapi disetrika.
Lasmi : (Duduk di dekat Ratni) Ayah belum pulang, Bu?
Ratni : Ayahmu menyelsaikan pekerjaan, katanya nanggung. Ayahmu memang orangnya seperti itu, kalau mengerjakan sesuatu nggak pernah tanggung-tanggung. Tumben kamu tanya ayahmu? Biasanya dia pulang malam kamu juga gak pernah tanya (sambi menjahit).
Lasmi : (mendekati Ibu) Aku ingin menanyakan sesuautu pada Ayah, Bu. Tentang masa depanku.
Ratni :Maksudmu? (heran) Kamu ingin sekolah? Kamu nggak perlu sekolah, harta ayahmu tidak akan habis sampai tujuh turunan. Atau ingin menikah?
Lasmi : Aku kan sudah besar, Bu. Sudah sepantasnya aku menerima harta warisan dari ayah. Umurku 15 tahun, bagi orang kampung itu usia yang sudah cukup untuk menerima warisan.
Rtni : Tapi untuk apa? Kamu kan masih tinggal bersama kami. Jika kelak nanti kamu sudah menikah, ayahmu pasti akan memberikan warisan itu.
Lasmi : (membujuk) Tapi, Bu. Teman-temanku belum menikah sudah mendapatkan warisan dari orang tuanya, bahkan umurnya lebih muda dari aku, Bu.
Ratni : Ya nanti Ibu bicarakan dengan ayahmu. Sekarang kamu siapkan makanan di dapur, untuk makan nanti malam.
(Lasmi pergi ke dapur, Ratni masih menyelaikan jahitannya)
Adegan II
Ratni : (Tiba-tiba Garno masuk dari pintu belakang) Eh, Bapak sudah pulang. Kok Ibu nggak dengar, sudah mandi lagi lagi.
Garno : (Duduk di samping Ibu) Iya. Aku tadi langsung mandi, punggungku kena ulat dari pohon kedondong. Sudah selesai Bu, bajuku?
Ratni : Gosok minyak angin saja Pak, daripada nanti tambah gatal!
(Ratni mengambilkan minyak angin, lalu menggosokkannya di punggung Bapak). Pak tadi Lasmi bilang sama Ibu, menanyakan tentang bagiannya? Apa Bapak sudah memikirkan hal itu?
Garno : (Kaget) Apa? Mau apa dia? Memangnya dia sudah tidak butuh kita? Apa dia ingin hidup sendiridenga membawa warisan dan berfoya-foya di luar sana? Aku tidak akan melakukannya.
Ratni : Tapi Pak...
Garno : Diam. Aku mau tidur, aku tidak mau membicarakan masalah ini lagi. Bilang sama anakmu jangan macam-macam.
(Ayah masuk kamar dengan nada marah)
Lasmi : (Lasmi masuk dari dapur) Bu, Ayah kenapa, Bu? Ayah marah ya Bu?
Ratni : Ya seperti itulah Ayahmu, kalau kehendaknya tidak sesuai dengan keinginannya.
Lasmi : Jadi, ayah tidak akan memberikanku warisan, Bu?
(Marah, lalu pergi ke luar rumah, entah kemana)
Ratni : (Menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang Lasmi pergi)
Adegan III
Lasmi : (Masuk dari kamar ke ruang tengah, sambil mengintip apakah ada orang atau tidak) Syukur...tidak ada orang (membuka laci lemari, mencari-cari sesuatu) Di mana ya ayah menyimpan uang? Biasanya di sini. Kok nggak ada. (kembali membuka laci-laci yang lain) Ini dia...
(mengambil satu ikat uang yang jumlahnya cukup banyak lalu dimasukkan ke dalam tas dan pergi entah kemana. Tanpa aepengetahuannya, Rusdi ternyata mengintip dari balik pintu kamarnya)
Rusdi : (masuk ke ruang tengah lalu merapikan laci-laci yang masih terbuka) Kenapa kakak senekad ini? Kalau ketahuan ayah pasti ia dihajar habis-habisan.
Ratni : Kamu sedang apa Rusdi?
Rusdi: (Kaget) Eng...eng...enggak apa-apa, Bu. Cuma merapikan laci-laci saja. Tadi berantakan, Bu.
Ratni : (Curiga) Tumben kamu merapikan laci, biasanya kan kamu nggak pernah bersih-bersih atau merapi-rapikan sesuatu, kamarmu saja berantakan?
Rusdi : I...Iy...Iya, Bu tadi kebetulan lewat...
(Langsung pergi ke luar karena dipanggi teman-temanya)
Ratni : (Masih bingung) Aneh anak itu, tak seperti biasanya. Dia tampak gugup...atau jangan-jangan...(Lalu membuka laci tempat menyimpan uang Ayah) Hah...uang ayah nggak ada...kemarin kan ayah jual cengkeh kering 5 kuintal, uangnya kan satu gepok. Kok sekarang nggak ada. Atau mungkin sudah diambil ayah?
(Masih bingung, lalu menuju ke dapur)
Adegan IV
Garno : (Masuk dari luar, lalu membuka laci akan mengambil uang untuk membayar sesuautu)
Loh...kok uangku nggak ada? (mencari lagi, semua laci dibuka tapi tidak ketemu) Bu...Bu...uangku mana? Kok hilang
Ratni : (Nampak berlari dari dapur) Ada apa Pak? Kok teriak-teriak, kayak ada maling saja.
Garno : Uangku mana Bu, Bapak cari nggak ada. Jangan-jangan memang ada maling.
Ratni : Ibu nggak tau Pak.
Garno : Jangan-jangan malingnya anak-anak...? mana mereka? Lasmi...Rusdi...
Ratni : (Ibu gelisah)...sabar Pak, dicari dulu. Mungkin Bapak lupa!
Lasmi : Ada apa Pak?
Rusdi : (Menyusul) Ada apa Yah?
Garno : Kalian pasti ngambil uang Ayah kan?
(Anak-anak diam, mereka saling berpandangan, sambil menunduk)
Garno : Kenapa alian diam? Jawab! Siapa yang menambil? Lasmi...pasti kamu yang ngambil kan? Karena permitaanmu tidak Bapak kabulkan. Begitu caramu...? Baik jika kamu tidakmau ngaku.
(mengambil sapu lidit lalu memukulkannya pada Lasmi)
Ratni : Sabar Pak...
Garno : Diam...
Rusdi : Ayah...hentikan! bukan Kak Lasmi yang mengambil uang Ayah tapi aku. Jika Ayah ingin memukul, pukul saja aku! Jangan pukul kak Lasmi. Dia tidak bersalah.
Garno : Apa...? (Lalu Garno memukuli Rusdi samapai babak belur)
Lasmi : Ayah hentikan....Ayah hentikan....bukan Rusdi Ayah...
(Garno pergi meninggalkan mereka dengan nada marah. Lasmi memeluk Rusdi eat-erat)
Lasmi : Maafkan aku rusdi, tak seharusnya kamu dipukuli oleh ayah...Kamu memang adik yang paling baik. Maafkan aku.
(Mereka berpelukan sambil menangis)
Puisi Sutriani
RINDU
Tak seharusnya aku meniadakan kerinduan
Yang mulai semakin menyiksa pikiranku
Aku sadar sekarang kerinduan ini
Membuatku semakin mencintaiku
Aku tak berdaya untuk menghapus kerinduan ini
Kerinduan ini yang menggoda anganku
Karena di hati ini telah ada getar-getar rindu
Dan cinta yang membara
Rindu tetaplah sebuah rindu
Tak akan merubah maknanya
Meski kerinduan yang ada di hati ini
Tak terungkapkan lewat kata-kata
Tapi akan selalu aku simpan
Di lubuk hatiku yang paling dalam.
Untuk selama-lamanya.
Karya : Sutriani
HANYA KAMU
Saat tatapan mata mulai berpandang
Bersama dengan denyut jantung
Yang bergetar begitu cepat
Dengan kebersamaan dan kedekatan
Yang kita jalani telah menumbuhkan
Binar-binar rindu yang datang
Dan yang ku piker saat ini
Hanyalah tentang kamu
Yang ku rindu saat ini hanya kamu
Yang ku sebut saat ini hanya kamu
Ingin ku berkata selalu bahwa
Aku saying kamu
Karya : Sutriani
SALAM TIDUR
Lebih dari sekedar kata
Sebaris sapa yang ku tulis menyirat makna
Terdiam tentang jiwa-jiwa
Yang menyepuh hatiku
Yang terkapar di kamar tidur
Bersama sunyi aku melantunkan tembang
Saat mataku terpejam
Aku tersesat dalam arus
Tanpa sebab ada getar yang hadir
Lalu aku terlelah sepi
Dan menyebut satu kata sederhana untukmu
Ada rindu datang membawa rinduku padamu
Karya : Sutriani
Tak seharusnya aku meniadakan kerinduan
Yang mulai semakin menyiksa pikiranku
Aku sadar sekarang kerinduan ini
Membuatku semakin mencintaiku
Aku tak berdaya untuk menghapus kerinduan ini
Kerinduan ini yang menggoda anganku
Karena di hati ini telah ada getar-getar rindu
Dan cinta yang membara
Rindu tetaplah sebuah rindu
Tak akan merubah maknanya
Meski kerinduan yang ada di hati ini
Tak terungkapkan lewat kata-kata
Tapi akan selalu aku simpan
Di lubuk hatiku yang paling dalam.
Untuk selama-lamanya.
Karya : Sutriani
HANYA KAMU
Saat tatapan mata mulai berpandang
Bersama dengan denyut jantung
Yang bergetar begitu cepat
Dengan kebersamaan dan kedekatan
Yang kita jalani telah menumbuhkan
Binar-binar rindu yang datang
Dan yang ku piker saat ini
Hanyalah tentang kamu
Yang ku rindu saat ini hanya kamu
Yang ku sebut saat ini hanya kamu
Ingin ku berkata selalu bahwa
Aku saying kamu
Karya : Sutriani
SALAM TIDUR
Lebih dari sekedar kata
Sebaris sapa yang ku tulis menyirat makna
Terdiam tentang jiwa-jiwa
Yang menyepuh hatiku
Yang terkapar di kamar tidur
Bersama sunyi aku melantunkan tembang
Saat mataku terpejam
Aku tersesat dalam arus
Tanpa sebab ada getar yang hadir
Lalu aku terlelah sepi
Dan menyebut satu kata sederhana untukmu
Ada rindu datang membawa rinduku padamu
Karya : Sutriani
CERPEN "PERTEMUAN"
PERTEMUAN
“ duh panas banget ya hari ini sudah haus, lapar pokoknya lengkap deh nggak apa-apalah panas-panasan demi mencari alamat siti gumam aji dalam hati, di perjalanan aji melihat ada sebuah batang asam yang besar.
” mungkin bisa bertedu sebentar dan menunggu matahari tidak terlalu panas lagi”
Ujar aji. Andai saja hari ini dingin tidak sepanas beberapa hari ini aku bisa membayangkan wajah siti yang cantik, tapi apa benar ya kalau siti itu cantik nggak tahunya tidak seperti yang diharapkan pikirnya dalam hati,
Kalau ada orang melihat aku bicara seperti ini aku nanti di bilang gila.tertawa sendiri, senyum-senyum sendiri pasti kata orang gila tapi nggak apa-apa deh yang penting aku nggak gila beneran. Kalau emang gila beneran duh nggak bisa di bayangkan deh cakep-cakep gila , pujinya dalam hati. Aku harus yakin kalau siti itu cantik, apa aku sekarang emang sudah gila beneran ni… gara-gara siti aku nyanyi-nyanyi sendiri nggak karuan. Di tengahg perjalanan aji melihat ada sebuah warung kopi kemudian ia mampir ke warung tersebut.
“ Assalamualaikum …, sapa aji “
Waalaikumsalam, jawab pemilik warung itu sambil mendekati aji.”
“bik aku aji, aku mau bertanya bibik tahu nggak yang namanya siti, alamatnya di mana Tanya aji “
“oh….siti yang cantik itu ya ! rumahnya tidak jauh kok, jawab pemilik warung itu”
“ oh ya bik sekalian tolong antarkan aku karena aku ingin sekali bertemu dengan dia, ujar aji . kemudian berjalanlah aji dan bibik pemilik warung itu menuju rumah siti. Sesampainya di sana aji mengetuk pintu “ tok…tok… assalamualaikum ?”
Sapa aji sambil mengetuk pintu ,
“ waalaikumsalam “. Siti membukakan pintu kelihatan nya ada yang penting ya bik ? “ Tanya siti .
“ ia ada ayang ingin bertemu dengan mu ini orangnya “
“: ya allah… betapa cantiknya dia, apakah aku bermimpi sekarang, kata aji dalam hati sambil mencubit tangannya sendiri, ternyata sakit juga ya beraarti ini benaran bukan mimpi.
Senanglah hati aji karena apa yang dia cari selama ini akhirnya ketemu juga . itulah aji orangnya pantang menyerah dan tak kenal lelah.
Karya : Sutriani
“ duh panas banget ya hari ini sudah haus, lapar pokoknya lengkap deh nggak apa-apalah panas-panasan demi mencari alamat siti gumam aji dalam hati, di perjalanan aji melihat ada sebuah batang asam yang besar.
” mungkin bisa bertedu sebentar dan menunggu matahari tidak terlalu panas lagi”
Ujar aji. Andai saja hari ini dingin tidak sepanas beberapa hari ini aku bisa membayangkan wajah siti yang cantik, tapi apa benar ya kalau siti itu cantik nggak tahunya tidak seperti yang diharapkan pikirnya dalam hati,
Kalau ada orang melihat aku bicara seperti ini aku nanti di bilang gila.tertawa sendiri, senyum-senyum sendiri pasti kata orang gila tapi nggak apa-apa deh yang penting aku nggak gila beneran. Kalau emang gila beneran duh nggak bisa di bayangkan deh cakep-cakep gila , pujinya dalam hati. Aku harus yakin kalau siti itu cantik, apa aku sekarang emang sudah gila beneran ni… gara-gara siti aku nyanyi-nyanyi sendiri nggak karuan. Di tengahg perjalanan aji melihat ada sebuah warung kopi kemudian ia mampir ke warung tersebut.
“ Assalamualaikum …, sapa aji “
Waalaikumsalam, jawab pemilik warung itu sambil mendekati aji.”
“bik aku aji, aku mau bertanya bibik tahu nggak yang namanya siti, alamatnya di mana Tanya aji “
“oh….siti yang cantik itu ya ! rumahnya tidak jauh kok, jawab pemilik warung itu”
“ oh ya bik sekalian tolong antarkan aku karena aku ingin sekali bertemu dengan dia, ujar aji . kemudian berjalanlah aji dan bibik pemilik warung itu menuju rumah siti. Sesampainya di sana aji mengetuk pintu “ tok…tok… assalamualaikum ?”
Sapa aji sambil mengetuk pintu ,
“ waalaikumsalam “. Siti membukakan pintu kelihatan nya ada yang penting ya bik ? “ Tanya siti .
“ ia ada ayang ingin bertemu dengan mu ini orangnya “
“: ya allah… betapa cantiknya dia, apakah aku bermimpi sekarang, kata aji dalam hati sambil mencubit tangannya sendiri, ternyata sakit juga ya beraarti ini benaran bukan mimpi.
Senanglah hati aji karena apa yang dia cari selama ini akhirnya ketemu juga . itulah aji orangnya pantang menyerah dan tak kenal lelah.
Karya : Sutriani
Cerpen "Upin dan Ipin"
Upin dan Ipin
Aku mempunyai seorang adik perempuan namanya Niar itu nama panggilannya kalau nama panjangnya Isniarti dan dia senang sekali menonton Upin dan Ipin. Saking senangnya dia kalau nonton film Upin dan Ipin sudah mulai entah itu pagi, siang, sore lupa mandi lupa makan, belajar dan lain-lain. Padahal dia itu perempuan lho.. bahkan tahun ini sudah SMA kelas 1. beartikan sudah besar. Aku sebagai kakak sering sekali menasehatinya. Niar kan tahun ini sudah masuk kelas satu SMA.
“Iya kak kenapa ?”
“ iya ngak mungkin dong kalau Niar terus menerus mau nonton film Upin dan IPin” jawabnyanya
“kak Film Upin dan Ipin itu lucu sekali lho… coba sekali-kali kakak perhatika mereka berdua apalagi kalau mereka itu sedang bicara rasanya kak, aku pengen tertawa terus melihat tingkah laku mereka berdua yang kadang-kadang suka iseng dan jahil”,
“iya kak tahu tapi kan banyak film-film yang lain bahkan ngak kalah serunya dari film Upin dan Ipin. Maksud kakak sinetron.”
“ Ya ngak mau dong kalau nonton sinetron pasti nagis terus masalah harta derajat dan semua yang ada dalam sinetron Cuma bisa menindas oramg yang lemah dan miskin saja, eh ternyata adik kakak pemikirannya sudah besar, iya dong kak meskipun aku suka nonton film Upin dan Ipin bukan bearti kalau aku itu masioh kecil. Tapi, film Upin dan ipin adalah hobi dan sangat menyenangkan. Tentunya kak buat aku. Iya, kak tahu.” Adikku sayang, bukan apa-apa sih kakak bilang begini kan Cuma buat kebaikan niar sendiri. Niarkan harus giat belajar lagi kan sudah mau masuk kelas satu SMA tahun ini. Nantinya kalau kamu keseringan nonton film upin dan ipin lupa sama pelajaran kakak bilang ya sama kamu kalau sudah SMA bukan wqaktunya main-main karena pelajranmnya berbeda dengan SMP.”
Niar berkata “iya kakaku sayang dan baik hati nggak usah merayu deh bukan merayu kak beneran kak. Kalau kakak itu cantiukkkkk banget.”
“ Udah ah jangan main-main terus sekarang sudah sore waktunya mandi,tapi kak bentar lagi ya madinya sekarang ngak baik mandi malam-malam ntaar sakit.”
Ya, deh kak aku mandi dulu ya ntar ceramahnya lanjut lagi. (sambil tertawa dan mencubit pipi kakaknya). Niar adikku memang agak susah diatur, tapi aku sayang banget sama dia.
Karya : Sutriani
Aku mempunyai seorang adik perempuan namanya Niar itu nama panggilannya kalau nama panjangnya Isniarti dan dia senang sekali menonton Upin dan Ipin. Saking senangnya dia kalau nonton film Upin dan Ipin sudah mulai entah itu pagi, siang, sore lupa mandi lupa makan, belajar dan lain-lain. Padahal dia itu perempuan lho.. bahkan tahun ini sudah SMA kelas 1. beartikan sudah besar. Aku sebagai kakak sering sekali menasehatinya. Niar kan tahun ini sudah masuk kelas satu SMA.
“Iya kak kenapa ?”
“ iya ngak mungkin dong kalau Niar terus menerus mau nonton film Upin dan IPin” jawabnyanya
“kak Film Upin dan Ipin itu lucu sekali lho… coba sekali-kali kakak perhatika mereka berdua apalagi kalau mereka itu sedang bicara rasanya kak, aku pengen tertawa terus melihat tingkah laku mereka berdua yang kadang-kadang suka iseng dan jahil”,
“iya kak tahu tapi kan banyak film-film yang lain bahkan ngak kalah serunya dari film Upin dan Ipin. Maksud kakak sinetron.”
“ Ya ngak mau dong kalau nonton sinetron pasti nagis terus masalah harta derajat dan semua yang ada dalam sinetron Cuma bisa menindas oramg yang lemah dan miskin saja, eh ternyata adik kakak pemikirannya sudah besar, iya dong kak meskipun aku suka nonton film Upin dan Ipin bukan bearti kalau aku itu masioh kecil. Tapi, film Upin dan ipin adalah hobi dan sangat menyenangkan. Tentunya kak buat aku. Iya, kak tahu.” Adikku sayang, bukan apa-apa sih kakak bilang begini kan Cuma buat kebaikan niar sendiri. Niarkan harus giat belajar lagi kan sudah mau masuk kelas satu SMA tahun ini. Nantinya kalau kamu keseringan nonton film upin dan ipin lupa sama pelajaran kakak bilang ya sama kamu kalau sudah SMA bukan wqaktunya main-main karena pelajranmnya berbeda dengan SMP.”
Niar berkata “iya kakaku sayang dan baik hati nggak usah merayu deh bukan merayu kak beneran kak. Kalau kakak itu cantiukkkkk banget.”
“ Udah ah jangan main-main terus sekarang sudah sore waktunya mandi,tapi kak bentar lagi ya madinya sekarang ngak baik mandi malam-malam ntaar sakit.”
Ya, deh kak aku mandi dulu ya ntar ceramahnya lanjut lagi. (sambil tertawa dan mencubit pipi kakaknya). Niar adikku memang agak susah diatur, tapi aku sayang banget sama dia.
Karya : Sutriani
Cerpen "Hari Yang Indah"
Hari Yang Indah
Saat ku pandang begitu indahnnya engkau terlintas dibenakku terlihatlah keagungan Tuhan. Engkau mengalir dengan indah
Oh…sungai masih banyak sekali yang aku lihat dimana di seberang jalan rumah-rumah rakit berjejeran dan ku lihat ke atas jembatan Ampera yang begitu besar dan indah sekali dilihat begitu banyak mobil dan motor di sana. Ada juga di sebelah kanan dan kiriku ada orang-orang yang sedang memancing ikan di atas sungai Musi masih ada ketek dan tumbuhan eceng gondok itu.yang warnanya hijau mengapung di atas air. Aku sangat bahagia hari itu karena sewaktu di sana aku bersama dengan teman-teman ku yang paling aku sayang dan aku cintai. Ada Febriani, Sulastinah, Roaidah dan Maleni yang gendut. Pada hari itu aku dan teman-temanku makan kemplang sangat keenakan makannya dan juga lapar diambil aja kami belum bayar pokoknya makan dulu bayarnya belakangnya. Eh…nggak tahunya makan sudah selesai dan perut sudah enakan dan kami mau bayar saat ditanya sama ibu pedagang itu. “Berapa bik, harga kempalngnya ?” tiga biji 2000 kami semua terkejut dan salinglihat-lihat dan tersenyum. Pokoiknya mahal banget makanan yang ada di sana. Kalau nggak karena perut laper ngak maulah makan kemplang di sana. Sesudah dari itu tau ngak kami semua tertawa-tawa. Yah….karna geli aja mengingat masalah makan kemplangnyakan selalu terkenan di dalam hati. Sesudah dari makan kemplang kami berfoto sambil menghadap kearah sungai lihat seolah-olah kami berada di pantai. Ah…..jadi malu..deh.. (tertawa sendiri). Tapi setelah rasanya cepat banget itu berlalu mau tahu…. Yah ternyata pada hari itu juga pelajaran perpustakaan yahh… (sanbil menghembuskan nafas yang sangat panjang). Terpaksa deh (dengan nada kesal ). Aku, Maleni, dan Roaidah kembali lagi ke kampus padahalkan kami masih mau banget seru-seruan kalau di kampus kan tidak bisa melihat Ampera sungai Musi, rumah rakit, ketek, eceng gondok dan juga orang mancing. Tetapi, ngak apa-apa deh kan demi kuliha juga. Kami bertiga langsung naik angkot menujun kampus. Sesampainya dikampus kalau bapaknya tidak masuk. Jadi tambah bete, deh…. Badan sudah capek pas datang ke kampus bapaknya ngak masuk. Terpaksalah aku bersama teman-temanku pulang ke kelasku dan kami membeli nasi kalau urusan perut. Meskipun, capek nomor satu makan. Kami makan bersama sahabat itu bagikum segala-segalanya walaupun badan terasa sakit.tapi yang penting bisa tertawa bersama-sama.
Karya : Sutriani
Saat ku pandang begitu indahnnya engkau terlintas dibenakku terlihatlah keagungan Tuhan. Engkau mengalir dengan indah
Oh…sungai masih banyak sekali yang aku lihat dimana di seberang jalan rumah-rumah rakit berjejeran dan ku lihat ke atas jembatan Ampera yang begitu besar dan indah sekali dilihat begitu banyak mobil dan motor di sana. Ada juga di sebelah kanan dan kiriku ada orang-orang yang sedang memancing ikan di atas sungai Musi masih ada ketek dan tumbuhan eceng gondok itu.yang warnanya hijau mengapung di atas air. Aku sangat bahagia hari itu karena sewaktu di sana aku bersama dengan teman-teman ku yang paling aku sayang dan aku cintai. Ada Febriani, Sulastinah, Roaidah dan Maleni yang gendut. Pada hari itu aku dan teman-temanku makan kemplang sangat keenakan makannya dan juga lapar diambil aja kami belum bayar pokoknya makan dulu bayarnya belakangnya. Eh…nggak tahunya makan sudah selesai dan perut sudah enakan dan kami mau bayar saat ditanya sama ibu pedagang itu. “Berapa bik, harga kempalngnya ?” tiga biji 2000 kami semua terkejut dan salinglihat-lihat dan tersenyum. Pokoiknya mahal banget makanan yang ada di sana. Kalau nggak karena perut laper ngak maulah makan kemplang di sana. Sesudah dari itu tau ngak kami semua tertawa-tawa. Yah….karna geli aja mengingat masalah makan kemplangnyakan selalu terkenan di dalam hati. Sesudah dari makan kemplang kami berfoto sambil menghadap kearah sungai lihat seolah-olah kami berada di pantai. Ah…..jadi malu..deh.. (tertawa sendiri). Tapi setelah rasanya cepat banget itu berlalu mau tahu…. Yah ternyata pada hari itu juga pelajaran perpustakaan yahh… (sanbil menghembuskan nafas yang sangat panjang). Terpaksa deh (dengan nada kesal ). Aku, Maleni, dan Roaidah kembali lagi ke kampus padahalkan kami masih mau banget seru-seruan kalau di kampus kan tidak bisa melihat Ampera sungai Musi, rumah rakit, ketek, eceng gondok dan juga orang mancing. Tetapi, ngak apa-apa deh kan demi kuliha juga. Kami bertiga langsung naik angkot menujun kampus. Sesampainya dikampus kalau bapaknya tidak masuk. Jadi tambah bete, deh…. Badan sudah capek pas datang ke kampus bapaknya ngak masuk. Terpaksalah aku bersama teman-temanku pulang ke kelasku dan kami membeli nasi kalau urusan perut. Meskipun, capek nomor satu makan. Kami makan bersama sahabat itu bagikum segala-segalanya walaupun badan terasa sakit.tapi yang penting bisa tertawa bersama-sama.
Karya : Sutriani
Puisi Roaidah
Roaidah
2007112017
Janji kita
Selama angin
Masih berhembus
Selama awan di langit masih berjalan
Kisah kita takkan pernah hilang
Ditelan waktu
Bulan, bintang siap menjadi saksi
Meteor di langit siap mengadili
Diriku…
Bila aku ingkari semua kata
Yang pernah terucap saat kita berjanji
Aku ingin kita menjadi…
Menjadi teman sejati.
Di saat aku mulai tersesat untuk
Temukan jalan hidupku
Aku ingin engkau pahami
Betapa besar persahabatan ini
Aku ingin engkau mengerti
Betapa besar kisah kita ini
Roaidah
2007112017
Temanku hebat
Teman …
Aku bangga melihatmu
Tapi terkadang, aku pun malu denganmu
Aku bangga melihat semangatmu
Dan perjuanganmu
Aku malu
Melihat diriku
Yang terkadang tak punya
Semangat sepertimu
Aku sangat bahagia
Melihat kau tersenyum
Aku pun akan bersedih
Bila melihat kau bersedih
Teman ….
Berikanlah senyumanmu kepadaku
Dan tunjukkanlah selalu
Semangatmu itu
Agar aku bisa sepertimu
Roaidah
2007112017
PENANTIAN
Di sini …
Aku sendiri
Tanpa ada yang menemani
Tanpa ada dirinya
Dan tanpa seorang pun
Saat ini …
Aku merindukannya
Aku merindukan semua perlakuannya kepadaku
Tak ada seseorang
Yang menyamai dirinya
Hanya dengannya aku bias mengerti
Apa itu kehidupan
Hidup yang penuh dengan misteri
Tanpa seorang pun yang tahu
Di sini aku seakan terus menantinya
Dan entah sampai kapan
Penantianku ini kan berakhir
Dengan berbuah kebahagiaan.
Roaidah
2007112017
Puisi cinta
Ku tulis puisi ini di atas kertas putih
Puisi ini bukanlah puisi biasa
Ini puisi cinta untukmu
Yang jauh di negeri orang
Ku tulis baris demi baris
Ku rangkai kata demi kata
Bagaikan permaisuri
Yang membuat puisi cinta
Untuk sang kekasih hatinya
Ku tulis puisi cinta ini
Seiring haluan angina
Yang akan membuatmu terhanyut
Dan membuatmu ingat akan diriku
Seiring waktu ku lalui tanpa dirimu
Ku tuliskan dalam puisi cinta ini
Dan ku rangkai seperti sebuah lagu cinta
Yang akan selalu kau baca
Selamanya …
Hingga akhir nanti.
Sutriani
2007112044
Rasa itu
Ketika rasa itu hadir
Aku terpesona oleh indahnya
Hatiku pun bertanya
Apakah ini mimpi atau halusinasi
Ku hayati dank u resapi
Tapi rasa itu semakin nyata
Dengan satu harapan
Kiranya akan hadir di hati ini
Dengan sejuta warna
Rasa itu adalah kamu
Selamanya dengan cinta
Sutriani
2007112044
Mentari
Mentari pagi mulai bersinar
Kemilaunya membuat seluruh dunia menjadi terang
Murai-murai mulai berkicau
Riang gembira menyambut pagi hari
Terdiam tentang jiwa-jiwa
Yang menyepuh hatiku
Yang terkapar di kamar tidur
Menyebutkan satu kata
Selamat pagi udara yang diam begitu indah
Dengan menghadirkan bola matahari
Dan kemuning sinarnya yang indah
Seakan-akan menghantarkan
Seluas senyum milikmu yang manis
2007112017
Janji kita
Selama angin
Masih berhembus
Selama awan di langit masih berjalan
Kisah kita takkan pernah hilang
Ditelan waktu
Bulan, bintang siap menjadi saksi
Meteor di langit siap mengadili
Diriku…
Bila aku ingkari semua kata
Yang pernah terucap saat kita berjanji
Aku ingin kita menjadi…
Menjadi teman sejati.
Di saat aku mulai tersesat untuk
Temukan jalan hidupku
Aku ingin engkau pahami
Betapa besar persahabatan ini
Aku ingin engkau mengerti
Betapa besar kisah kita ini
Roaidah
2007112017
Temanku hebat
Teman …
Aku bangga melihatmu
Tapi terkadang, aku pun malu denganmu
Aku bangga melihat semangatmu
Dan perjuanganmu
Aku malu
Melihat diriku
Yang terkadang tak punya
Semangat sepertimu
Aku sangat bahagia
Melihat kau tersenyum
Aku pun akan bersedih
Bila melihat kau bersedih
Teman ….
Berikanlah senyumanmu kepadaku
Dan tunjukkanlah selalu
Semangatmu itu
Agar aku bisa sepertimu
Roaidah
2007112017
PENANTIAN
Di sini …
Aku sendiri
Tanpa ada yang menemani
Tanpa ada dirinya
Dan tanpa seorang pun
Saat ini …
Aku merindukannya
Aku merindukan semua perlakuannya kepadaku
Tak ada seseorang
Yang menyamai dirinya
Hanya dengannya aku bias mengerti
Apa itu kehidupan
Hidup yang penuh dengan misteri
Tanpa seorang pun yang tahu
Di sini aku seakan terus menantinya
Dan entah sampai kapan
Penantianku ini kan berakhir
Dengan berbuah kebahagiaan.
Roaidah
2007112017
Puisi cinta
Ku tulis puisi ini di atas kertas putih
Puisi ini bukanlah puisi biasa
Ini puisi cinta untukmu
Yang jauh di negeri orang
Ku tulis baris demi baris
Ku rangkai kata demi kata
Bagaikan permaisuri
Yang membuat puisi cinta
Untuk sang kekasih hatinya
Ku tulis puisi cinta ini
Seiring haluan angina
Yang akan membuatmu terhanyut
Dan membuatmu ingat akan diriku
Seiring waktu ku lalui tanpa dirimu
Ku tuliskan dalam puisi cinta ini
Dan ku rangkai seperti sebuah lagu cinta
Yang akan selalu kau baca
Selamanya …
Hingga akhir nanti.
Sutriani
2007112044
Rasa itu
Ketika rasa itu hadir
Aku terpesona oleh indahnya
Hatiku pun bertanya
Apakah ini mimpi atau halusinasi
Ku hayati dank u resapi
Tapi rasa itu semakin nyata
Dengan satu harapan
Kiranya akan hadir di hati ini
Dengan sejuta warna
Rasa itu adalah kamu
Selamanya dengan cinta
Sutriani
2007112044
Mentari
Mentari pagi mulai bersinar
Kemilaunya membuat seluruh dunia menjadi terang
Murai-murai mulai berkicau
Riang gembira menyambut pagi hari
Terdiam tentang jiwa-jiwa
Yang menyepuh hatiku
Yang terkapar di kamar tidur
Menyebutkan satu kata
Selamat pagi udara yang diam begitu indah
Dengan menghadirkan bola matahari
Dan kemuning sinarnya yang indah
Seakan-akan menghantarkan
Seluas senyum milikmu yang manis
Cerpen "DUA PEREMPUAN BERCERITA TENTANG BUKIT"
DUA PEREMPUAN BERCERITA TENTANG BUKIT
Perempuan itu berbaring lemah. Sudah satu minggu ia tergolek di dipan masih untung cepat di temukan. Kalau tidak tak tahu apa yang akan terjadi
“ Kasihan kamu nak, zainab membathin .”
“ apa yang yang terjadi dengan Rendi bik, ?”
Ani tak mengalih pandangan .”
“Jendela di tutup saja ya nanti kamu masuk angina”
“ jangan bik biarkan saja. Bik sebenarnya apa yang terjadi pada kak rendi ? kata pini lagi”
“ia pini kakak mu “ ani memutus kata-katanya. Kenapa dengan suamiku bik ?
Angina masuk berkesiur di gorden. Zainab bergeming . tidak apa-apa kamu tidak usah khawatir lanjutnya datar. Pintu pelan di buka muncul lelaki membawa genggaman plastic warna hitam di tangannya.
“ ini ayah bawakan kepiting kesukaanmu nak…( katanya sambil menutup pintu ).
“ o.. iya pini apa ayahmu pernah bercerita tentang bukit. Di bukit itu dulu bibik dan ayahmu tinggal bersama kakek-nenekmu. Kakek dan nenekmu memilih hidup di bukit itu karena mereka sama-sama menyukai laut yang bisa di pandang dari rumahnya di atas bukit yang menghadap ke laut kata zainab.
“Di rumah di bukit itu juga ayahmu di lahirkan” kata zainab .
“ mengapa pindah ke sini bik….mengapa tidak berumah di bukit seterusnya
“Lama-lama bukit membosankan sejak ayahmu dilahirkan dan beberapa tahun kemudian bibk juga di lahirkan, bukit itu kalau malam hari sangat dingin dan ayahmu serta bibik tidak kuat dingin, di bukit itu juga tidak bisa tergapai listrik. Zainab melirik dinding matanya tertabrak pada foto pini dan suaminya.”
“ sebenarnya bibik menyukai bukit dan laut, bukit dan laut saling melindungi karena bukitlah laut sebelah sana tak pernah tumpah”, lanjutnya.”
“bukit dan laut di sebelahnya itu selalu menandakan kepergian,” zainab terkejut sendiri
Zainab mengusap-usap kening pini apakah aku harus mengatakanya tanyanya dalam hati.
Awalnya zainab tak tau apa yang menyebabkan keponakannya itu nekat berperahu di laut. Namun sejak budi ayah pini memberitahu apa yang sebenarnya terjadi zainab cukup paham. Hampir saja zainab hilang kesadaran saat budi menjelaskan itu.
‘ Nab klita semua harus menerima semua ini “
“Maksud mu apa kak? Zainab terkesiap karena semua inilah ani berperahu sendirian ke laut”
“ha… ! aku tidak mengerti rendi kenapa ? ada telepon dari tempatnya bekerja yang ku terima di rumah kepala desa muara enim. Ada kabar apa.
“kita harus bisa menerimanya Rendi kalau sudah meninggal.”
Budi menunduk berat , zainab tak bergerak, tidak mungkin masih belum percaya dengan kenyataan, tetapi itulah adanya terima tidaknya apa hendak di kata .
Kalau Rendi sudah tiada.
Karya : Roaidah
Perempuan itu berbaring lemah. Sudah satu minggu ia tergolek di dipan masih untung cepat di temukan. Kalau tidak tak tahu apa yang akan terjadi
“ Kasihan kamu nak, zainab membathin .”
“ apa yang yang terjadi dengan Rendi bik, ?”
Ani tak mengalih pandangan .”
“Jendela di tutup saja ya nanti kamu masuk angina”
“ jangan bik biarkan saja. Bik sebenarnya apa yang terjadi pada kak rendi ? kata pini lagi”
“ia pini kakak mu “ ani memutus kata-katanya. Kenapa dengan suamiku bik ?
Angina masuk berkesiur di gorden. Zainab bergeming . tidak apa-apa kamu tidak usah khawatir lanjutnya datar. Pintu pelan di buka muncul lelaki membawa genggaman plastic warna hitam di tangannya.
“ ini ayah bawakan kepiting kesukaanmu nak…( katanya sambil menutup pintu ).
“ o.. iya pini apa ayahmu pernah bercerita tentang bukit. Di bukit itu dulu bibik dan ayahmu tinggal bersama kakek-nenekmu. Kakek dan nenekmu memilih hidup di bukit itu karena mereka sama-sama menyukai laut yang bisa di pandang dari rumahnya di atas bukit yang menghadap ke laut kata zainab.
“Di rumah di bukit itu juga ayahmu di lahirkan” kata zainab .
“ mengapa pindah ke sini bik….mengapa tidak berumah di bukit seterusnya
“Lama-lama bukit membosankan sejak ayahmu dilahirkan dan beberapa tahun kemudian bibk juga di lahirkan, bukit itu kalau malam hari sangat dingin dan ayahmu serta bibik tidak kuat dingin, di bukit itu juga tidak bisa tergapai listrik. Zainab melirik dinding matanya tertabrak pada foto pini dan suaminya.”
“ sebenarnya bibik menyukai bukit dan laut, bukit dan laut saling melindungi karena bukitlah laut sebelah sana tak pernah tumpah”, lanjutnya.”
“bukit dan laut di sebelahnya itu selalu menandakan kepergian,” zainab terkejut sendiri
Zainab mengusap-usap kening pini apakah aku harus mengatakanya tanyanya dalam hati.
Awalnya zainab tak tau apa yang menyebabkan keponakannya itu nekat berperahu di laut. Namun sejak budi ayah pini memberitahu apa yang sebenarnya terjadi zainab cukup paham. Hampir saja zainab hilang kesadaran saat budi menjelaskan itu.
‘ Nab klita semua harus menerima semua ini “
“Maksud mu apa kak? Zainab terkesiap karena semua inilah ani berperahu sendirian ke laut”
“ha… ! aku tidak mengerti rendi kenapa ? ada telepon dari tempatnya bekerja yang ku terima di rumah kepala desa muara enim. Ada kabar apa.
“kita harus bisa menerimanya Rendi kalau sudah meninggal.”
Budi menunduk berat , zainab tak bergerak, tidak mungkin masih belum percaya dengan kenyataan, tetapi itulah adanya terima tidaknya apa hendak di kata .
Kalau Rendi sudah tiada.
Karya : Roaidah
Cerpen "DUA PEREMPUAN BERCERITA TENTANG BUKIT"
DUA PEREMPUAN BERCERITA TENTANG BUKIT
Perempuan itu berbaring lemah. Sudah satu minggu ia tergolek di dipan masih untung cepat di temukan. Kalau tidak tak tahu apa yang akan terjadi
“ Kasihan kamu nak, zainab membathin .”
“ apa yang yang terjadi dengan Rendi bik, ?”
Ani tak mengalih pandangan .”
“Jendela di tutup saja ya nanti kamu masuk angina”
“ jangan bik biarkan saja. Bik sebenarnya apa yang terjadi pada kak rendi ? kata pini lagi”
“ia pini kakak mu “ ani memutus kata-katanya. Kenapa dengan suamiku bik ?
Angina masuk berkesiur di gorden. Zainab bergeming . tidak apa-apa kamu tidak usah khawatir lanjutnya datar. Pintu pelan di buka muncul lelaki membawa genggaman plastic warna hitam di tangannya.
“ ini ayah bawakan kepiting kesukaanmu nak…( katanya sambil menutup pintu ).
“ o.. iya pini apa ayahmu pernah bercerita tentang bukit. Di bukit itu dulu bibik dan ayahmu tinggal bersama kakek-nenekmu. Kakek dan nenekmu memilih hidup di bukit itu karena mereka sama-sama menyukai laut yang bisa di pandang dari rumahnya di atas bukit yang menghadap ke laut kata zainab.
“Di rumah di bukit itu juga ayahmu di lahirkan” kata zainab .
“ mengapa pindah ke sini bik….mengapa tidak berumah di bukit seterusnya
“Lama-lama bukit membosankan sejak ayahmu dilahirkan dan beberapa tahun kemudian bibk juga di lahirkan, bukit itu kalau malam hari sangat dingin dan ayahmu serta bibik tidak kuat dingin, di bukit itu juga tidak bisa tergapai listrik. Zainab melirik dinding matanya tertabrak pada foto pini dan suaminya.”
“ sebenarnya bibik menyukai bukit dan laut, bukit dan laut saling melindungi karena bukitlah laut sebelah sana tak pernah tumpah”, lanjutnya.”
“bukit dan laut di sebelahnya itu selalu menandakan kepergian,” zainab terkejut sendiri
Zainab mengusap-usap kening pini apakah aku harus mengatakanya tanyanya dalam hati.
Awalnya zainab tak tau apa yang menyebabkan keponakannya itu nekat berperahu di laut. Namun sejak budi ayah pini memberitahu apa yang sebenarnya terjadi zainab cukup paham. Hampir saja zainab hilang kesadaran saat budi menjelaskan itu.
‘ Nab klita semua harus menerima semua ini “
“Maksud mu apa kak? Zainab terkesiap karena semua inilah ani berperahu sendirian ke laut”
“ha… ! aku tidak mengerti rendi kenapa ? ada telepon dari tempatnya bekerja yang ku terima di rumah kepala desa muara enim. Ada kabar apa.
“kita harus bisa menerimanya Rendi kalau sudah meninggal.”
Budi menunduk berat , zainab tak bergerak, tidak mungkin masih belum percaya dengan kenyataan, tetapi itulah adanya terima tidaknya apa hendak di kata .
Kalau Rendi sudah tiada.
Karya : Roaidah
Perempuan itu berbaring lemah. Sudah satu minggu ia tergolek di dipan masih untung cepat di temukan. Kalau tidak tak tahu apa yang akan terjadi
“ Kasihan kamu nak, zainab membathin .”
“ apa yang yang terjadi dengan Rendi bik, ?”
Ani tak mengalih pandangan .”
“Jendela di tutup saja ya nanti kamu masuk angina”
“ jangan bik biarkan saja. Bik sebenarnya apa yang terjadi pada kak rendi ? kata pini lagi”
“ia pini kakak mu “ ani memutus kata-katanya. Kenapa dengan suamiku bik ?
Angina masuk berkesiur di gorden. Zainab bergeming . tidak apa-apa kamu tidak usah khawatir lanjutnya datar. Pintu pelan di buka muncul lelaki membawa genggaman plastic warna hitam di tangannya.
“ ini ayah bawakan kepiting kesukaanmu nak…( katanya sambil menutup pintu ).
“ o.. iya pini apa ayahmu pernah bercerita tentang bukit. Di bukit itu dulu bibik dan ayahmu tinggal bersama kakek-nenekmu. Kakek dan nenekmu memilih hidup di bukit itu karena mereka sama-sama menyukai laut yang bisa di pandang dari rumahnya di atas bukit yang menghadap ke laut kata zainab.
“Di rumah di bukit itu juga ayahmu di lahirkan” kata zainab .
“ mengapa pindah ke sini bik….mengapa tidak berumah di bukit seterusnya
“Lama-lama bukit membosankan sejak ayahmu dilahirkan dan beberapa tahun kemudian bibk juga di lahirkan, bukit itu kalau malam hari sangat dingin dan ayahmu serta bibik tidak kuat dingin, di bukit itu juga tidak bisa tergapai listrik. Zainab melirik dinding matanya tertabrak pada foto pini dan suaminya.”
“ sebenarnya bibik menyukai bukit dan laut, bukit dan laut saling melindungi karena bukitlah laut sebelah sana tak pernah tumpah”, lanjutnya.”
“bukit dan laut di sebelahnya itu selalu menandakan kepergian,” zainab terkejut sendiri
Zainab mengusap-usap kening pini apakah aku harus mengatakanya tanyanya dalam hati.
Awalnya zainab tak tau apa yang menyebabkan keponakannya itu nekat berperahu di laut. Namun sejak budi ayah pini memberitahu apa yang sebenarnya terjadi zainab cukup paham. Hampir saja zainab hilang kesadaran saat budi menjelaskan itu.
‘ Nab klita semua harus menerima semua ini “
“Maksud mu apa kak? Zainab terkesiap karena semua inilah ani berperahu sendirian ke laut”
“ha… ! aku tidak mengerti rendi kenapa ? ada telepon dari tempatnya bekerja yang ku terima di rumah kepala desa muara enim. Ada kabar apa.
“kita harus bisa menerimanya Rendi kalau sudah meninggal.”
Budi menunduk berat , zainab tak bergerak, tidak mungkin masih belum percaya dengan kenyataan, tetapi itulah adanya terima tidaknya apa hendak di kata .
Kalau Rendi sudah tiada.
Karya : Roaidah
Cerpen "Tunggu Tubang"
TUNGGU TUBANG
Gadis itu duduk menangis di tumpukan bebatuan pinggiran sungai.siaang yang mendung membuatnya percaya bashwa alam mengerti bagaimana suasana hatinya. Ia tak berkawan , ia memang sendirian.
Sekumpulan bocah melintas. Lekas-lekas ia seka air matanya pemandangan itu bukanlah sesuatu yang asing baginya . kalah ia masih bocah, bersama kawan-kawannya ia juga seperti mereka. Masih lekat dalam ingatannya betapa masa-masa kanak-kanak adalah masa yang paling menmyenangkan, tanpa beban, tanpa masalah.
Bocah-boca yang sempat menghilang dari pandangan si gadis, kini kembali lagi di sekitarnya dengan membawa serta tawa canda mereka yang terdengar menyenangkan.
“ sayang aku bukan lagi seorang bocah seperti mereka”. Perlahan, kegundahannya hilangkehadiran bocah-bocah itu secara tidak langsung bisa menghiburnya. Ingin rasanya ia ikut bergabung bersama mereka. Namun ia sadar masa untuyk itu telah lewat.
Kesedihan sering kaliu mewarnai harinya akhir-akhir ini. Bagaimanapun sebelum keberangkatannya untuk kuliah di tanah jawa tepatnya di Jogja lima tahun yang lalu ia telah menyapakati poersyaratan oleh kedua oranmg tuanya menyanggupi untuk menguliahinya dengan syarat bahwa ia wajib pulang ke kampung halamannya segera setelah studinya usai untuk menjalankan tradisi tunggu tubing.
Sebagai anak pertama dan cucu pertama, ia memiliki kewajiban untuk menetap di dusun bertugas menjaga sekaligus menjadi ahli waris utama. Namun, semuanya terasa menjadi beratsetelah hadirnya cinta dalam masa ia menuntut ilmu di jogja, lelaki yang selalu muncul dalam benaknya itu Giman, teman sekelasnya. Mereka tak bisa melanjutkan hubungan meskipun giman bersedia melamarnya namun, ia tidak bisa ikut tinggal di dusun nya karena sebagai anak tunggal ia tidak tega meninggalkan ibunya yang sudah tua dan janda pula.
Ia masih mengenang giman dan berbagai kenangan bersamanya hingga hari beranjak petang. Kini hari-hari yanmg di lewatinya adalah hari-hari yang membosankan. Ia sempat dua kali mengikuti tes CPNS namun tak pernah berhasil. Karena tidak memiliki pekerjaan aktivitas hariannya tak bisa lepas dari kamar, sawa, dan sungai. Di sanalah ia rutin melamun termangu sedih memikirkan banyak mimpi yang tergapai juga memikirkan Giman. Tak sep[erti dia, teman-taman akrabnya tak ada yang memiliki kewajibanyya untuk menjalankan tradisi tunggu tubing sebagai dirinya.
Sebenarnya, aturan adat telah membuatnya ingin segera mendapatkan cara untuk meninggalkan dusun yang telah membesarkannya itu. Hari itu menjelang siang ia menyusuri sawa sambil menjinjing sangkik berisi makanan buat pekerja upahan, seusai menyajikan makanan kepada para pekerja upahan yang semuanya adalah kaum perempuan, ia menuju sungai. Tiba-tiba jiwa pemberontaknya bangkit ia bergegas meninggalkan sungai, ia langsung memberhentikan sebuah bus antar pulau antar provinsi, ia sudah bulat dengan keputusan untuk meninggalkan kampung ini menuju pulau jawa, telah ia selipkan surat berisi permintaan maaf kepada ibunya dan calon suaminya.
Ia berketewtapan hati untuk melepaskan semua hak atas harta warisan keluarganya atas status tunggu tubangnya. Bus kota itu segera menderu meninggalkan dusun itu. Meski air matanya tumpa ada senyum kebahagiaan yang tersungging di bibirnya yang bergumam sendirinya,
“maafkan aku ibu, suatu saat aku akan pulang”
Gadis itu duduk menangis di tumpukan bebatuan pinggiran sungai.siaang yang mendung membuatnya percaya bashwa alam mengerti bagaimana suasana hatinya. Ia tak berkawan , ia memang sendirian.
Sekumpulan bocah melintas. Lekas-lekas ia seka air matanya pemandangan itu bukanlah sesuatu yang asing baginya . kalah ia masih bocah, bersama kawan-kawannya ia juga seperti mereka. Masih lekat dalam ingatannya betapa masa-masa kanak-kanak adalah masa yang paling menmyenangkan, tanpa beban, tanpa masalah.
Bocah-boca yang sempat menghilang dari pandangan si gadis, kini kembali lagi di sekitarnya dengan membawa serta tawa canda mereka yang terdengar menyenangkan.
“ sayang aku bukan lagi seorang bocah seperti mereka”. Perlahan, kegundahannya hilangkehadiran bocah-bocah itu secara tidak langsung bisa menghiburnya. Ingin rasanya ia ikut bergabung bersama mereka. Namun ia sadar masa untuyk itu telah lewat.
Kesedihan sering kaliu mewarnai harinya akhir-akhir ini. Bagaimanapun sebelum keberangkatannya untuk kuliah di tanah jawa tepatnya di Jogja lima tahun yang lalu ia telah menyapakati poersyaratan oleh kedua oranmg tuanya menyanggupi untuk menguliahinya dengan syarat bahwa ia wajib pulang ke kampung halamannya segera setelah studinya usai untuk menjalankan tradisi tunggu tubing.
Sebagai anak pertama dan cucu pertama, ia memiliki kewajiban untuk menetap di dusun bertugas menjaga sekaligus menjadi ahli waris utama. Namun, semuanya terasa menjadi beratsetelah hadirnya cinta dalam masa ia menuntut ilmu di jogja, lelaki yang selalu muncul dalam benaknya itu Giman, teman sekelasnya. Mereka tak bisa melanjutkan hubungan meskipun giman bersedia melamarnya namun, ia tidak bisa ikut tinggal di dusun nya karena sebagai anak tunggal ia tidak tega meninggalkan ibunya yang sudah tua dan janda pula.
Ia masih mengenang giman dan berbagai kenangan bersamanya hingga hari beranjak petang. Kini hari-hari yanmg di lewatinya adalah hari-hari yang membosankan. Ia sempat dua kali mengikuti tes CPNS namun tak pernah berhasil. Karena tidak memiliki pekerjaan aktivitas hariannya tak bisa lepas dari kamar, sawa, dan sungai. Di sanalah ia rutin melamun termangu sedih memikirkan banyak mimpi yang tergapai juga memikirkan Giman. Tak sep[erti dia, teman-taman akrabnya tak ada yang memiliki kewajibanyya untuk menjalankan tradisi tunggu tubing sebagai dirinya.
Sebenarnya, aturan adat telah membuatnya ingin segera mendapatkan cara untuk meninggalkan dusun yang telah membesarkannya itu. Hari itu menjelang siang ia menyusuri sawa sambil menjinjing sangkik berisi makanan buat pekerja upahan, seusai menyajikan makanan kepada para pekerja upahan yang semuanya adalah kaum perempuan, ia menuju sungai. Tiba-tiba jiwa pemberontaknya bangkit ia bergegas meninggalkan sungai, ia langsung memberhentikan sebuah bus antar pulau antar provinsi, ia sudah bulat dengan keputusan untuk meninggalkan kampung ini menuju pulau jawa, telah ia selipkan surat berisi permintaan maaf kepada ibunya dan calon suaminya.
Ia berketewtapan hati untuk melepaskan semua hak atas harta warisan keluarganya atas status tunggu tubangnya. Bus kota itu segera menderu meninggalkan dusun itu. Meski air matanya tumpa ada senyum kebahagiaan yang tersungging di bibirnya yang bergumam sendirinya,
“maafkan aku ibu, suatu saat aku akan pulang”
Cerpen " Kesabaran yang Membawa Berkah"
KESABARAN YANG MEMBAWA BERKAH
Karya : Roaidah
Ketika mentari memancarkan sinarnya, ketika itu pula para nelayan terjun untuk mencari nafkah untuk sesuap nasi buat keluarganya, pak harjo nama panggilan akrab di sapa oleh tetangga setempat, ia salah-satu darinya yang mencari nafkah melalui sungai musi, pak harjo mempunyai istri yang bernama yati. Keluarga pak harjo memang keluarga yang sangat sederhana, kadang pak harjo satu biji pun belum menelan sesuatu dalam tenggorokannya tetapi pak harjo bila sudah waktunya ia harus pergi untuk bekerja sebagai nelayan. Karena ia sebagai suami dan sekaligus bapak dari anak-anaknya pak harjo selalu semangat untuk bekerja meskipun kadang membawah dengan tangan kosong.
Pak Harjo termenung, termangu sejenak setelah sampai di tempat yang ia tuju, di saat ia terdiam dan ia berkata dalam hatinya.
“ Tuhan … berikan aku rezeki hari ini yang halal dan yang baik meskipun sedikit hamba terima “
Tetapi tiba-tiba terdengar olehnya ada seseorang memanggil namanya dia adalah Tono.
“ Harjo ngapain kamu terdiam sambil menghadap sungai ini ?”
Harjo tersenyum dan berkata
” Tidak apa-apa ! aku Cuma memikirkan bagaimana caranya supaya hari ini aku mendapatkan ikan yang banyak “
“ Sudahlah harjo itu tidak akan mungkin kau tahu nelayan di sini bukan Cuma kamu, banyak sekali jadi setiap nelayan itu mendapatkan bagiannya, ia kan !”
“ Ia aku tahu itu tapi kita harus berusaha dulu “.
“ Harjo kamu tahu kalau tempat yang kamu duduki sekarang tempat aku, dari rumah aku sudah meniatkan untuk memancing di sana !”
“ Tapi aku duluan yang menempatkan nya “
“ ayolah Harjo kamu pergi dari sini, aku mau memancing disini ! aku mengertikan apa yang aku bilang barusan, aku mau mincing di tempat ini .”
“ Ia sudah kalau kamu bersih keras untuk memancing di sini, nggak apa-apa aku akan pergi “
“ia sudah tunggu apalagi Harjo !”
“ aku minta maaf ya kalau aku sudah membuat kamu marah “
“ ia…ia…. Pergi sana cepatan aku nggak sabar untuk memancing ikan yang besar-besar di sini “.
Pak Harjo pun pergi mencari tempat di mana kira-kira yang tidak ada keributan seperti tadi, dia mendatangi tempat yang mana tempat itu dia anggap aman dan tenang, tak lama ia berjalan ia menemukan bagian air yang terlihat tenang, tak ada ombak seolah ia melihat air itu merasakan ketenangan jiwanya akhirnya pak harjo memancing di tempat itu, tak terasa matahari sudah menunjukkan di ujung tombak berarti menunjukkan hari sudah sore, tapi hasil yang di dapat baru satu ekor ikan, meskipun begitu pak harjo bersyukur masih di beri rezeki oleh Tuhan. Dan ia pun pulang, sesampai di rumah ia di sambut oleh istrinya dengan baik, dengan senyum yang melebar ia hadiahkan kepada sang suami.
“ Pak…bapak langsung mandi iya !, air anget sudah ibu panaskan, pasti bapak capek kan ! “
“ ia bu… makasih bu ! ibu memang istri yang baik.” Bu yati sambil tersenyum malu
“ oh…bapak bisa saja memuji ibu, ia sudah bapak buruan mandi “.
Akhirnya pak harjo mandi dan ibu yati pun memasak ikan hasil dari pakjo memancing seharian, selesai mandi pak harjo mengejakan kewajibannya kepada Tuhan, sementara itu ibu yati hamper selesai memasak dan dengan waktu bersamaan pak harjo selesai sembahyang, ibu yati pun selesai memasak dan makan malam pun sudah siap di hidangkan, mereka pun makan bersama.
Keesokan harinya pak harjo seperti biasa pergi untuk mencari ikan di musi tapi anehnya hari ini pak harjo tidak mendapatkan satu ikan pun hingga hampir empat hari masih seperti tiulah, ia merasa kecapek-an ikan pun tak kunjung mengait di mata pancingnya. Akhirnya pak harjo pun pulang dengan tangan kosong, dalam hati pak harjo berkata .
” Aku mau bilang apa sama istriku aku pulang dengan tangan kosong, aku tidak bisa memberikan satu ikan pun untuk keluargaku makan hari ini”
Dengan langkah malu-malu pak harjo memberanikan diri untuk pulang apa pun bagaimana keadaannya . pak harjo pun tiba di rumah .
“ Bu… !”
“ e…bapak sudah pulang !
Begitulah kebiasaannya selalu tersenyum menyambut suaminya pulang, pak harjo tanpa basah-basih lagi “
“ ibu…bapak mohon ibu jangan marah, jangan kecewa hari ini bapak pulang dengan tangan kosong”.
”pak…kenapa harus marah ? lagian kenapa bapak berpikiran kalau ibu mau marah !, nggaklah pak nggak apa-apa …! Iya sudah pak buruan mandi waktu ashar mau habis “
Setelah itu mereka makan dengan lauk seadanya, di saat makan berlangsung pak harjo mulai membicarakan tentang kejadiannya tadi dan dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk esok harinya.
“ ibu… bapak besok mau pergi mancing pagi-pagi sekali, sudah sembahyang subuh langsung berangkat, siapa tahu Tuhan mau memberikan kepada hambanya siapa yang lebih dulu datang “ ( pak harjo sambil tersenyum ).
Sesuai dengan janji pak harjo kepada istrinya tadi malam, ia pun lekas pergi setelah sembahyang pak harjo mendatangi di mana kira-kira menjadi lubuk ikan, akhirnya pak harjo menemukan tempat yang di maksud.
Hampir dua jam pak harjo memancing akhirnya menghasilkan banyak ikan , hati pak harjo senang tiada taranya , ia pun pulang dengan senyum melebar di bibir pak harjo. Dan istrinya seprti biasa menyambut dengan senyuman juga.
Karya : Roaidah
Ketika mentari memancarkan sinarnya, ketika itu pula para nelayan terjun untuk mencari nafkah untuk sesuap nasi buat keluarganya, pak harjo nama panggilan akrab di sapa oleh tetangga setempat, ia salah-satu darinya yang mencari nafkah melalui sungai musi, pak harjo mempunyai istri yang bernama yati. Keluarga pak harjo memang keluarga yang sangat sederhana, kadang pak harjo satu biji pun belum menelan sesuatu dalam tenggorokannya tetapi pak harjo bila sudah waktunya ia harus pergi untuk bekerja sebagai nelayan. Karena ia sebagai suami dan sekaligus bapak dari anak-anaknya pak harjo selalu semangat untuk bekerja meskipun kadang membawah dengan tangan kosong.
Pak Harjo termenung, termangu sejenak setelah sampai di tempat yang ia tuju, di saat ia terdiam dan ia berkata dalam hatinya.
“ Tuhan … berikan aku rezeki hari ini yang halal dan yang baik meskipun sedikit hamba terima “
Tetapi tiba-tiba terdengar olehnya ada seseorang memanggil namanya dia adalah Tono.
“ Harjo ngapain kamu terdiam sambil menghadap sungai ini ?”
Harjo tersenyum dan berkata
” Tidak apa-apa ! aku Cuma memikirkan bagaimana caranya supaya hari ini aku mendapatkan ikan yang banyak “
“ Sudahlah harjo itu tidak akan mungkin kau tahu nelayan di sini bukan Cuma kamu, banyak sekali jadi setiap nelayan itu mendapatkan bagiannya, ia kan !”
“ Ia aku tahu itu tapi kita harus berusaha dulu “.
“ Harjo kamu tahu kalau tempat yang kamu duduki sekarang tempat aku, dari rumah aku sudah meniatkan untuk memancing di sana !”
“ Tapi aku duluan yang menempatkan nya “
“ ayolah Harjo kamu pergi dari sini, aku mau memancing disini ! aku mengertikan apa yang aku bilang barusan, aku mau mincing di tempat ini .”
“ Ia sudah kalau kamu bersih keras untuk memancing di sini, nggak apa-apa aku akan pergi “
“ia sudah tunggu apalagi Harjo !”
“ aku minta maaf ya kalau aku sudah membuat kamu marah “
“ ia…ia…. Pergi sana cepatan aku nggak sabar untuk memancing ikan yang besar-besar di sini “.
Pak Harjo pun pergi mencari tempat di mana kira-kira yang tidak ada keributan seperti tadi, dia mendatangi tempat yang mana tempat itu dia anggap aman dan tenang, tak lama ia berjalan ia menemukan bagian air yang terlihat tenang, tak ada ombak seolah ia melihat air itu merasakan ketenangan jiwanya akhirnya pak harjo memancing di tempat itu, tak terasa matahari sudah menunjukkan di ujung tombak berarti menunjukkan hari sudah sore, tapi hasil yang di dapat baru satu ekor ikan, meskipun begitu pak harjo bersyukur masih di beri rezeki oleh Tuhan. Dan ia pun pulang, sesampai di rumah ia di sambut oleh istrinya dengan baik, dengan senyum yang melebar ia hadiahkan kepada sang suami.
“ Pak…bapak langsung mandi iya !, air anget sudah ibu panaskan, pasti bapak capek kan ! “
“ ia bu… makasih bu ! ibu memang istri yang baik.” Bu yati sambil tersenyum malu
“ oh…bapak bisa saja memuji ibu, ia sudah bapak buruan mandi “.
Akhirnya pak harjo mandi dan ibu yati pun memasak ikan hasil dari pakjo memancing seharian, selesai mandi pak harjo mengejakan kewajibannya kepada Tuhan, sementara itu ibu yati hamper selesai memasak dan dengan waktu bersamaan pak harjo selesai sembahyang, ibu yati pun selesai memasak dan makan malam pun sudah siap di hidangkan, mereka pun makan bersama.
Keesokan harinya pak harjo seperti biasa pergi untuk mencari ikan di musi tapi anehnya hari ini pak harjo tidak mendapatkan satu ikan pun hingga hampir empat hari masih seperti tiulah, ia merasa kecapek-an ikan pun tak kunjung mengait di mata pancingnya. Akhirnya pak harjo pun pulang dengan tangan kosong, dalam hati pak harjo berkata .
” Aku mau bilang apa sama istriku aku pulang dengan tangan kosong, aku tidak bisa memberikan satu ikan pun untuk keluargaku makan hari ini”
Dengan langkah malu-malu pak harjo memberanikan diri untuk pulang apa pun bagaimana keadaannya . pak harjo pun tiba di rumah .
“ Bu… !”
“ e…bapak sudah pulang !
Begitulah kebiasaannya selalu tersenyum menyambut suaminya pulang, pak harjo tanpa basah-basih lagi “
“ ibu…bapak mohon ibu jangan marah, jangan kecewa hari ini bapak pulang dengan tangan kosong”.
”pak…kenapa harus marah ? lagian kenapa bapak berpikiran kalau ibu mau marah !, nggaklah pak nggak apa-apa …! Iya sudah pak buruan mandi waktu ashar mau habis “
Setelah itu mereka makan dengan lauk seadanya, di saat makan berlangsung pak harjo mulai membicarakan tentang kejadiannya tadi dan dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk esok harinya.
“ ibu… bapak besok mau pergi mancing pagi-pagi sekali, sudah sembahyang subuh langsung berangkat, siapa tahu Tuhan mau memberikan kepada hambanya siapa yang lebih dulu datang “ ( pak harjo sambil tersenyum ).
Sesuai dengan janji pak harjo kepada istrinya tadi malam, ia pun lekas pergi setelah sembahyang pak harjo mendatangi di mana kira-kira menjadi lubuk ikan, akhirnya pak harjo menemukan tempat yang di maksud.
Hampir dua jam pak harjo memancing akhirnya menghasilkan banyak ikan , hati pak harjo senang tiada taranya , ia pun pulang dengan senyum melebar di bibir pak harjo. Dan istrinya seprti biasa menyambut dengan senyuman juga.
Cerpen "Andini"
ANDINI
Karya : Roaidah
Sintya merasa sebilah belati sangat lancip dan tajam langsung menghujam tepat pada jantungnya. Sesuatu yang selama ini dikhawatirkannya akhirnya benar-benar terjadi kehamilan Andini.
“ Aku benar-benar telah gagal sebagai wanita, sebagai istri, dan sebagai ibu, “ Sintya meratap sendirian di ruang kamarnya setelah Andini mengaku sudah terlambat hampir dua bulan. Lalu, apa kata Ferdi, suaminya, nanti ? dia tentu akan marah besar karena sebagai istri dan ibu, Sintya tak berhasil mendidik Andini dengan baik. Ferdi memang merestui hubungan Andini dan Antoni, namun dia tentu takkan membiarkan keduanya menikah cepat dan lebih-lebih karena kecelakaan. Tak ada yang salah pada diri Antoni
Tak ada yang salah pada diri Antoni. Tubuhnya atletis, kulit putih, tampan bekerja sebagai teknisi yuniordi sebuah perusahaan penerbangan swasta dengan penghasilan lebih dari cukup. Dia juga santun tak pernah terlibat narkoba dan minuman keras. Sebagai laki-laki dia idaman.
Selama ini sintya memang satu-satunya penghuni rumah itu yang tak merestui hubungan Andini dan Antoni, karena dia sudah tahu siapa Antoni. Satu-satunya kesalahan Antoni Cuma karena dia memiliki ayah bernama Barja.
“ Ibuku marah besar, Ton, “ Antoni mendengar suara Andini lewat telepon.
“ Wajar “ Antoni menjawab sambil terus memeriksa berkas-berkas di hadapannya.
“ Kamu kok seperti tanpa beban ? kamu nggak khawatir ?“ Andini memprotes.
Antoni tertawa ringan “ Orang tua mana yang tidak marah mendengar putrinya hamil ? itu melanggar aturan agama mana pun kau pun akan melakukan hal yang sama jika kelak anak kita mengalami hal yang sama.
“ Hus Andini memotong “ Anak kita “ ? Andini menyambung sesaat berikutnya memangnya kamu yakin kita akan menikah ? “
Antoni kembali tertawa. ” Yakin. Aku juga yakin kamu akan hara-kiri bila aku tinggalkan, “ Antoni mengakhiri kalimatnya dengan suara tawa. Udah ah …jangan tertawa terus . Aku harus melakukan apa?
“ nggak ada yang harus kamu lakukan kecuali menunggu “ Liat saja apa yang akan terjadi pada hari berikutnya.
Andini menutup teleponnya . Andini pun dapat telepon dari atasannya .
“ Din, tolong periksa lagi laporan keungan ya. Sepertinya masih belum pas .
“ Oke bos ! “ jawab Andini lugas.
Ferdi pun menyudahi kemarahannya dengan tarikan napas dalam. Duduk di hadapannya, Sintya sama sekali tak berani mengangkat kepalanya.
“ Andini dan Antoni harus segera di nikahkan” katanya .
Bagi Sintya, kalimat itu menjadi sebuah vonis mematikan yang tak bias dielakkannya. Segunung sesal menyumbat pernapasannya membuatnya tersengal. Ingin dikatakannya kepada suaminya siapa Antoni agar pernikahan itu tak pernah terjadi. Tapi, jika penjelasan itu sampai dikeluarkannya, sangat mungkin Ferdi akan membunuhnyya.
Atau mencampakkannya ke liang paling busuk sementara dia hanya bisa meratap dan pasrah.
Laki-laki mana yang mau mendengar penjelasan perselingkuhan istrinya dengan pria lain ? suami mana yang secara ikhlas mau menerima kenyataan bahwa putrinya adalah anak hasil hubungan gelap istrinya dengan laki-laki lain ?
Sintya merebahkan tubuhnya di sofa di ruang depan setelah suaminya melangkah keluar dan pergi entah kemana. Wajah Barja, laki-laki yang telah melenakannya bermain-main dalam benaknya. Sintya melenguh membuang rasa sesalnya namun dia tak bisa mencampakkan kenyataan bahwa pada akhirnya dia baru bisa hamil setelah hamper empat tahun menikah. Dan itu terjadi setelah Barja mampu meluluhkan benteng pertahanan kesetiaannya pada Ferdi suaminya.
Sintya yang membuat pertemuan dengan Barja terjadi di suatu tempat. Tetapi sintya merasa tak cukup punya latar belakang dan motivasi untuk bertindak seperti itu. Jika kelak di tertangkap polisi dia akan berusaha mengelak dengan berbagai cara untuk mendapatkan alas an tindakannya.karena ia tak cukup berani untuk berkata jujur.
“ Yang aku inginkan pernikahan ini tak akan pernah terjadi, “ ucap sintya lugas. Barja menatap lekat mata wanita di hadapannya .
“ Kau tahu, tak ada yang bisa kita lakukan “ kita Cuma bisa pasrah pada kenyataan.
‘ Tapi risikonya sangat patal barja !.“ tapi apa hendak di kata pernikahan antara Antoni dan Andini pun terjadi. Meskipun sintya sudah berniat untuk membunuh salah satu dari anaknya. Tapi dengan pertemuan sintya dengan Barja, Barjapun tidak senekat sintya, akhirnya sintya dan barja hanya pasrah.
Sintya di dera rasa lelah luar biasa ketika dia harus memaksakan diri mengumbar senyumnya kepada setiap tamu yang dating ke pesta pernikahan Andini dan Antoni. Belum pernah ia merasakan selelah itu. Sepanjang pesta berlangsung, dia harus terus bersikap manis kepada semua orang, family, sanak saudara, tetangga, dan teman-teman yang dating untuk member restu.
Tak pernah terbayangkan semua ini pada akhirnya terjadi, ingin rasanya Sintya mati saja agar penderitaannya berakhir. Atau ingin dia waktu berputar balik ke masa remajanya agar dia bisa menjalani kehidupannya yang lurus dan tak pernah membiarkan laki-laki lain menjamah tubuhnya selain suaminya sendiri. Mungkin dia tak kan memiliki anak dari Ferdi yang kemandulannya tak pernah terbukti secara medis. Tapi dia bisa mengadopsi anak dari salah-satu panti asuhan di kota ini. Itu bisa jadi lebih baik dari pada memiliki anak kandung namun pria lain yang bukan suaminya sendiri.
Kini, di balik gaun anggun yang dikenakannya, Sintya justru merasa menjadi wanita yang paling kotor di seantaro dunia. Dia berdosa kepada Tuhan karena tak mematuhi ajaran-ajaran-Nya. Dia sangat berdosa kepada suaminya karena telah melakukan pengkhianatan yang pasti tak kan termaafkan bila suaminya sampai tahu.
Di ujung sana, Sintya melihat titik, istri Barja dengan suka cita membalas ucapan selamat dari tamu-tamunya.kebahagiaan titik kini sempurna karena dia bisa mengantarkan sang anak ke pelaminan dengan Andini, seorang gadis cantik dengan pendidikan tinggi dan pekerjaan yang menjanjikan masa depan gemilang.
Mengapa Tuhan tidak menjadikan aku titik saja, dan titik menjadi aku, pikir Sintya. Rasa irih sintya pun muncul. Tapi tatkala titik dapat telepon dari seseorang, ternyata laki-laki itu bernama gusman, ia seorang selingkuhan titik, sejak SMA mereka pacaran. Dan yang lebih patal lagi ternyata Antoni adalah anak kandung Gusman.
“ Siapa ini ?”
“Gusman”
Titik menarik napas .
“ Mau apa kamu “ dia bertanya sambil melihat sekeliling.
“ Ingin kuucapkan selamat atas perkawinan Antoni anak kita.”
Titik terdiam, ada sedikit debar di dadanya .
“ Ku harap ini terakhir kalinya kamu menghubungi aku “ kata titik dengan hati teriris.
“ Ya ini yang terakhir, aku tak ingin mengusik kebahagiaanmu”
Titik pun menutup teleponnya dan menghapus bintik keringat yang tiba-tiba menyembul di dahinya.
Karya : Roaidah
Sintya merasa sebilah belati sangat lancip dan tajam langsung menghujam tepat pada jantungnya. Sesuatu yang selama ini dikhawatirkannya akhirnya benar-benar terjadi kehamilan Andini.
“ Aku benar-benar telah gagal sebagai wanita, sebagai istri, dan sebagai ibu, “ Sintya meratap sendirian di ruang kamarnya setelah Andini mengaku sudah terlambat hampir dua bulan. Lalu, apa kata Ferdi, suaminya, nanti ? dia tentu akan marah besar karena sebagai istri dan ibu, Sintya tak berhasil mendidik Andini dengan baik. Ferdi memang merestui hubungan Andini dan Antoni, namun dia tentu takkan membiarkan keduanya menikah cepat dan lebih-lebih karena kecelakaan. Tak ada yang salah pada diri Antoni
Tak ada yang salah pada diri Antoni. Tubuhnya atletis, kulit putih, tampan bekerja sebagai teknisi yuniordi sebuah perusahaan penerbangan swasta dengan penghasilan lebih dari cukup. Dia juga santun tak pernah terlibat narkoba dan minuman keras. Sebagai laki-laki dia idaman.
Selama ini sintya memang satu-satunya penghuni rumah itu yang tak merestui hubungan Andini dan Antoni, karena dia sudah tahu siapa Antoni. Satu-satunya kesalahan Antoni Cuma karena dia memiliki ayah bernama Barja.
“ Ibuku marah besar, Ton, “ Antoni mendengar suara Andini lewat telepon.
“ Wajar “ Antoni menjawab sambil terus memeriksa berkas-berkas di hadapannya.
“ Kamu kok seperti tanpa beban ? kamu nggak khawatir ?“ Andini memprotes.
Antoni tertawa ringan “ Orang tua mana yang tidak marah mendengar putrinya hamil ? itu melanggar aturan agama mana pun kau pun akan melakukan hal yang sama jika kelak anak kita mengalami hal yang sama.
“ Hus Andini memotong “ Anak kita “ ? Andini menyambung sesaat berikutnya memangnya kamu yakin kita akan menikah ? “
Antoni kembali tertawa. ” Yakin. Aku juga yakin kamu akan hara-kiri bila aku tinggalkan, “ Antoni mengakhiri kalimatnya dengan suara tawa. Udah ah …jangan tertawa terus . Aku harus melakukan apa?
“ nggak ada yang harus kamu lakukan kecuali menunggu “ Liat saja apa yang akan terjadi pada hari berikutnya.
Andini menutup teleponnya . Andini pun dapat telepon dari atasannya .
“ Din, tolong periksa lagi laporan keungan ya. Sepertinya masih belum pas .
“ Oke bos ! “ jawab Andini lugas.
Ferdi pun menyudahi kemarahannya dengan tarikan napas dalam. Duduk di hadapannya, Sintya sama sekali tak berani mengangkat kepalanya.
“ Andini dan Antoni harus segera di nikahkan” katanya .
Bagi Sintya, kalimat itu menjadi sebuah vonis mematikan yang tak bias dielakkannya. Segunung sesal menyumbat pernapasannya membuatnya tersengal. Ingin dikatakannya kepada suaminya siapa Antoni agar pernikahan itu tak pernah terjadi. Tapi, jika penjelasan itu sampai dikeluarkannya, sangat mungkin Ferdi akan membunuhnyya.
Atau mencampakkannya ke liang paling busuk sementara dia hanya bisa meratap dan pasrah.
Laki-laki mana yang mau mendengar penjelasan perselingkuhan istrinya dengan pria lain ? suami mana yang secara ikhlas mau menerima kenyataan bahwa putrinya adalah anak hasil hubungan gelap istrinya dengan laki-laki lain ?
Sintya merebahkan tubuhnya di sofa di ruang depan setelah suaminya melangkah keluar dan pergi entah kemana. Wajah Barja, laki-laki yang telah melenakannya bermain-main dalam benaknya. Sintya melenguh membuang rasa sesalnya namun dia tak bisa mencampakkan kenyataan bahwa pada akhirnya dia baru bisa hamil setelah hamper empat tahun menikah. Dan itu terjadi setelah Barja mampu meluluhkan benteng pertahanan kesetiaannya pada Ferdi suaminya.
Sintya yang membuat pertemuan dengan Barja terjadi di suatu tempat. Tetapi sintya merasa tak cukup punya latar belakang dan motivasi untuk bertindak seperti itu. Jika kelak di tertangkap polisi dia akan berusaha mengelak dengan berbagai cara untuk mendapatkan alas an tindakannya.karena ia tak cukup berani untuk berkata jujur.
“ Yang aku inginkan pernikahan ini tak akan pernah terjadi, “ ucap sintya lugas. Barja menatap lekat mata wanita di hadapannya .
“ Kau tahu, tak ada yang bisa kita lakukan “ kita Cuma bisa pasrah pada kenyataan.
‘ Tapi risikonya sangat patal barja !.“ tapi apa hendak di kata pernikahan antara Antoni dan Andini pun terjadi. Meskipun sintya sudah berniat untuk membunuh salah satu dari anaknya. Tapi dengan pertemuan sintya dengan Barja, Barjapun tidak senekat sintya, akhirnya sintya dan barja hanya pasrah.
Sintya di dera rasa lelah luar biasa ketika dia harus memaksakan diri mengumbar senyumnya kepada setiap tamu yang dating ke pesta pernikahan Andini dan Antoni. Belum pernah ia merasakan selelah itu. Sepanjang pesta berlangsung, dia harus terus bersikap manis kepada semua orang, family, sanak saudara, tetangga, dan teman-teman yang dating untuk member restu.
Tak pernah terbayangkan semua ini pada akhirnya terjadi, ingin rasanya Sintya mati saja agar penderitaannya berakhir. Atau ingin dia waktu berputar balik ke masa remajanya agar dia bisa menjalani kehidupannya yang lurus dan tak pernah membiarkan laki-laki lain menjamah tubuhnya selain suaminya sendiri. Mungkin dia tak kan memiliki anak dari Ferdi yang kemandulannya tak pernah terbukti secara medis. Tapi dia bisa mengadopsi anak dari salah-satu panti asuhan di kota ini. Itu bisa jadi lebih baik dari pada memiliki anak kandung namun pria lain yang bukan suaminya sendiri.
Kini, di balik gaun anggun yang dikenakannya, Sintya justru merasa menjadi wanita yang paling kotor di seantaro dunia. Dia berdosa kepada Tuhan karena tak mematuhi ajaran-ajaran-Nya. Dia sangat berdosa kepada suaminya karena telah melakukan pengkhianatan yang pasti tak kan termaafkan bila suaminya sampai tahu.
Di ujung sana, Sintya melihat titik, istri Barja dengan suka cita membalas ucapan selamat dari tamu-tamunya.kebahagiaan titik kini sempurna karena dia bisa mengantarkan sang anak ke pelaminan dengan Andini, seorang gadis cantik dengan pendidikan tinggi dan pekerjaan yang menjanjikan masa depan gemilang.
Mengapa Tuhan tidak menjadikan aku titik saja, dan titik menjadi aku, pikir Sintya. Rasa irih sintya pun muncul. Tapi tatkala titik dapat telepon dari seseorang, ternyata laki-laki itu bernama gusman, ia seorang selingkuhan titik, sejak SMA mereka pacaran. Dan yang lebih patal lagi ternyata Antoni adalah anak kandung Gusman.
“ Siapa ini ?”
“Gusman”
Titik menarik napas .
“ Mau apa kamu “ dia bertanya sambil melihat sekeliling.
“ Ingin kuucapkan selamat atas perkawinan Antoni anak kita.”
Titik terdiam, ada sedikit debar di dadanya .
“ Ku harap ini terakhir kalinya kamu menghubungi aku “ kata titik dengan hati teriris.
“ Ya ini yang terakhir, aku tak ingin mengusik kebahagiaanmu”
Titik pun menutup teleponnya dan menghapus bintik keringat yang tiba-tiba menyembul di dahinya.
cerpen "penjara suci"
PENJARA SUCI
Karya : Roaidah
Sinar mentari yang begitu tajam menyinari dunia yang pana ini, seakan hujan tak akan meluncur lagi, suasana rumah Fatimah pun terasa tentram ia pun sambil merebahkan tubuhnya tubuhnya ketempat tidur dengan senyum yang melebar merasa legah, kelulusan telah berpihak pada dirinya tapi, seketika terdengar olehnya suara dari ruang tamunya ia diam sejenak ternyata itu pembicaraan orang tuanya yang sedang membicarakan kelanjutan sekolah Fatimah, tak lama terdengar olehnya suara ibunya memanggil namanya.
“ Fatimah … sini dulu nak, ayah sama ibu mau ngobrol-ngobrol sama kamu, masak di kamar terus “
“ ia bu bentar ! “
Di saat ibu Fatimah sudah ngobrol-ngobrol sama Fatimah, akhirnya ayahnya berbicara langsung kepada Fatimah.
“ Nak sebenarnya ayah sama ibu membicarakan tentang sekolah kamu, kamu mau nya meneruskan sekolah di mana ?”
“ Udahlah yah aku mau ngelanjuti di SMA yah ! aku kan lulusan SMP lagian ayah sama ibu tahu kalau aku mampu di bidang IPS.”
Ayah dan ibunya Fatimah saling lihat dan terdiam, akhirnya Fatimah langsung meninggalkan ruang tamu dan menuju kekamar tidurnya. Ibunya pun langsung menuju kamar Fatimah.
“ Nak… kenapa kamu langsung pergi begitu saja ? ayah sama ibu belum selesai ngobrolnya “
“ nggak bu …Fatimah Cuma kok bu… ! “
Ia sudah kamu istirahat ia…ibu mau masak untuk makan siang. Siang pun tiba mereka makan siang bersama. Keesokan harinya tibalah tanggal penerimaan siswa dan siswi baru, pak Saleh dan ibu saleha pun sudah siap mau pergi untuk membawa Fatimah mendaftar sebagai siswi baru. Ibu saleha langsung membangun Fatimah, fatimah sempat kaget pagi-pagi sudah dibanguni. Dan mereka pun langsung meluncur ke jalan, dalam hati Fatimah gelisa ( sebenarnya ayah sama ibu mau ngajak aku ke mana ) tiba-tiba sampai ke tempat tujuan, fatimah pun terkejut.
“ Ayah, ibu… sebenarnya kita ngapain dating kesini ?”
“sudahlah entar kamu tahu sendiri … ayo masuk “
Sangat terkejut fatimah tiba-tiba ayah dan ibunya ternyata mendaftar dia sebagai santriwati baru, marah, kecewa, lesuh dan lemas perasaan fatimah tak karuan, pipinya yang mulus di basahi deraian air mata yang tak bias ia tahankan lagi.
Pengumuman pun tiba, akhirnya fatimah sah menjadi seorang santriwati, mau tidak mau itulah yang harus ia terima. Setelah berlangsung ia pun sulit untuk menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang baru. Tiba-tiba Fatimah menangis karena ia ingat akan orang tuanya, ia tidak mau pisah sdari orang tuanya, datanglah seorang pengasuh dan ia menasehati fatimah sambil mengelus-elus kepalanya dan berkata.
“ Nak … jangan sedih lagi ya….di sini ada ibu sebagai orang tua kamu yang kedua, anggap saja ibu ini adalah orang tua kamu ! ini hal biasa yang di alami seorang santri yang pertama kali menjadi santri “.
Akhirnya fatimah dapat menerima masukkan dan nasehat pengasuhnya. Di sekolah, fatimah ia ada suka sama seorang laki-laki ia cukup popular di sekolah itu, ia bernama amar akhirnya mereka kenalan, dengan perkenalan sudah cukup dekat mereka pun resmi pacaran tapi mereka jarang sekali bertemu mereka hanya kirim-kiriman surat karena situasi sangat tidak memungkinkan, jadi amar ingin mengajak fatimah bertemu di sebuah tempat di luar komplek.
Di saat mereka ingin bertemu ternyata ada seorang pengasuh mengiring mereka secara diam-diam, di saat merekasedang duduk berdua, pengurus dating secara tiba-tiba dengan wajah emosi, hingga akhirnya mereka di hokum dan di suruh menghadap pimpinan, ketika sampai di rumah pimpinan, pimpinan pun langsung mengeluarkan kata-kata yang mengejutkan .
“ Apakah kalian sudah sanggup untuk menikah ?”
Mereka pun saling lihat dan ketakutan dengan pertanyaan pimpinan tadi.
“ Kenapa kalian diam ? belum sanggup kalian menikah ! “
“ ya sudah kalau kalian belum sanggup menikah, tapi kenapa kalian pacaran ?”
Fatimah pun sangat terkejut dengan pernyataan pimpinannya karena bersih keras ingin menyuruh mereka menikah, mereka pun mohon-mohon supaya mencabut perkataan beliau. Dengan rasa kasihan pun akhirnya pimpinan mengabul permintaan mereka dengan syarat bahwa mereka harus mengakhiri hubungan meraka segera, di saat inilah perasaan Fatimah benar-benar hancur ia mearsa hidup di pesantren yang serba tidak boleh seakan hidup di penjara tapi cuma yang membedakannya di pesantren tempat orang yang beriman dan tempat menuntut ilmu agama Tuhan. Dalam pikiran fatimah tidak ada hal lain kecuali ia ingin keluar dari penjara suci, “lugas Fatimah “
Hingga mereka kembali ke asrama masing-masing, sampai di asrama fatimah menangis tersedu-sedu dan ia mau segera mungkin ingin keluar dari pesantren itu tiba-tiba pengasuhnya menghampirinya dan menasehati Fatimah hingga akhirnya Fatimah mandi dan istirahat. Keesokan harinya fatimah tidak masuk sekolah di kabarkan bahwa ia sakit kulit. Fatimah terkejut melihat tubuhnya ditumbuhi bentol-bentol merah, penyakit itu tak pernah Fatimah temui jadi ia sangat cemas, di asrama yang hening Fatimah pun sangat sedih menurut dia begitu banyak halangan belum selesai yang satu sudah muncul masalah yang baru. Fatimah semakin tidak betah hingga satu minggu masih belum sembuh karena berobat di puskesmas yang seadanya, rasa sabar fatimah sudah musnah akhirnya di kabarkan bahwa ia minggat, pulang tanpa izin, teman-teman dan pengasuhnya panik melihat fatimah tidak ada lagi di tempat tidur, mereka pun sibuk kesana kemari dan langsung melapor dengan ketua pengasuh dan langsung menghubungi orang tua fatimah tapi ternyata fatimah tidak ada di rumah, orang tunya sangat panik ketika mendapat kabar fatimah pergi dari asrama, semuanya khawatir dengan keadaan fatimah. Sore pun tiba tapi fatimah tak kunjung datang begitu pula dengan pengasuhnya hingga sore tak ada kabar dari fatimah, hingga malam pun tiba . orang tua fatimah pun makan malam, di saat makan malam berlangsung tiba-tiba bel rumahnya berbunyi.
“ Ayah tolong buka yah … ibu malas jalan “
Pak saleh pun menuju pintu dengan senang hati karena ia menyangka itu pasti fatimah anaknya. Tetapi ketika dibuka ia pun terkejut , tapi masih senang dan tersenyum orang tua pak saleh dari kampung datang.
“Ibu coba tebak siapa yang datang ?”
“ Pasti anak kita kan yah…!”
Setelah ibu saleha menuju ruang tamu ternyata bukan anaknya yang datang melainkan mertuanya .
Meskipun bukan anaknya yang datang tapi ibu saleha tetap senang dengan kedatangan mertuanya dan mereka langsung makan malam bersama ,selama makan malam berlangsung nenek fatimah pun bertanya kepada saleha .
“ leha Fatimah cucu ibu mana ?”
“emm…. Ftaimah sekolah bu… di pesantren !”
“ oh… sekolah di sana ya…bagus kalau begitu berarti cucu ibu akan menjadi orang yang baik, bagaimana kalau kita besok kita pergi ke pesantren tempat fatimah belajar ! “
Pak saleh dan ibu saleha saling lihat dan pak saleh langsung menjawab.
“ Ibu… bukannya kami tidak membolehkan ibu kesana, tapi ibu kan baru sampai malam ini , sebaiknya ibu besok istirahat saja dulu !”
Ibu saleha pun memotong pembicaraan pak saleh.
“ iya bu…besok ibu istirahat dulu , entar kalau ibu sudah tidak kecapekan lagi baru kita sama-sama mengunjungi fatimah”
Tak lama kemudian telepon pak saleh berdering.
” kring…kring…”
“ia hallo ! “
“ ia pak ! ini ini benar pak saleh ? orang tuanya fatimah ! “
“ oh iya benar … , ini siapa ?”
“ ini yunita teman fatimah pak ! sebenarnya fatimah ada di rumah saya pak “
“ Apa…?fatimah anak saya ada di rumah kamu ! anak bapak baik-baik saja kan nak… ?”
“ iya pak…! Fatimah sekarang lagi makan, gini saja pak, bapak sama ibu datang saja kerumah saya untuk merayu dan membujuk fatimah “
“ oh….ia kami akan segera ke sana iya !
“ iya pak.”
Pak saleh pun menutup teleponnya dan langsung memberi tahu kepada bu saleha tentang kabar baik ini. Dan mereka langsung menuju rumah yunita, sesampai di sana fatimah terkejut karena nggak ada angina nggak ada apa-apa tiba-tiba dia melihat bahwa yang datang adalah orang tunya, saat orang tuanya ingin memeluknya fatimah cuek dan langsung pergi , yunita saling lihat sama orang tunya fatimah.
“ Pak…bu… sabar iya ! “
“ iya nak nggak apa-apayang penting ibu sama bapak sudah tahu keadaan fatimah “
“ tunggu sebentar iya bu ! biar aku yang bicara sama fatimah “
“ iya nak… “
Akhirnya yunita masuk kamarnya untuk berbicara sama fatimah, hamper satu jam pak saleh dan ibu saleha menuggu yunita dan fatimah keluar dari kamarnya akhirnya tiba di ruang tamu dan fatimah langsung salaman sama orang tunya sambil menangis.
“ Pak…bu…maafin fatimah iya …fatimah sudah membuat bapak dan ibu khawatir dan kecewa sama fatimah “
“ iya sudah nak… jangan nangis lagi malu di lihat yunita , kita langsung pulang yuk nak ada nenek dirumah sudah menuggu dari tadi “
“ iya bu kita pulang sekarang nggak enak ngerepoti yunita terus”
Akhirnya mereka pulang kerumah mereka sendiri.
” yun bapak sama ibu pamit dulu, terima kasih banyak karena yunita sudah baik sama fatimah “
“ iya pak sam-sama “
“ iya kami pamit dulu iya “
“ ia pak…hati-hati pak, bu… di jalan “
Mereka pun pulang, sesampai dirumah nenek fatimah langsung mencium fatimah karena sudah lama tidak bertemu dan fatimah menuju kamarnya untuk istirahat, begitupun orang tuanya.
Keesokan harinya fatimah kembali ketempat sekolahnya meskipun tidak dengan sepenuh hati ia dapat menerima kenyataan itu tapi fatimah mencoba untuk hidup sebagai santriwati yang sejati.
Karya : Roaidah
Sinar mentari yang begitu tajam menyinari dunia yang pana ini, seakan hujan tak akan meluncur lagi, suasana rumah Fatimah pun terasa tentram ia pun sambil merebahkan tubuhnya tubuhnya ketempat tidur dengan senyum yang melebar merasa legah, kelulusan telah berpihak pada dirinya tapi, seketika terdengar olehnya suara dari ruang tamunya ia diam sejenak ternyata itu pembicaraan orang tuanya yang sedang membicarakan kelanjutan sekolah Fatimah, tak lama terdengar olehnya suara ibunya memanggil namanya.
“ Fatimah … sini dulu nak, ayah sama ibu mau ngobrol-ngobrol sama kamu, masak di kamar terus “
“ ia bu bentar ! “
Di saat ibu Fatimah sudah ngobrol-ngobrol sama Fatimah, akhirnya ayahnya berbicara langsung kepada Fatimah.
“ Nak sebenarnya ayah sama ibu membicarakan tentang sekolah kamu, kamu mau nya meneruskan sekolah di mana ?”
“ Udahlah yah aku mau ngelanjuti di SMA yah ! aku kan lulusan SMP lagian ayah sama ibu tahu kalau aku mampu di bidang IPS.”
Ayah dan ibunya Fatimah saling lihat dan terdiam, akhirnya Fatimah langsung meninggalkan ruang tamu dan menuju kekamar tidurnya. Ibunya pun langsung menuju kamar Fatimah.
“ Nak… kenapa kamu langsung pergi begitu saja ? ayah sama ibu belum selesai ngobrolnya “
“ nggak bu …Fatimah Cuma kok bu… ! “
Ia sudah kamu istirahat ia…ibu mau masak untuk makan siang. Siang pun tiba mereka makan siang bersama. Keesokan harinya tibalah tanggal penerimaan siswa dan siswi baru, pak Saleh dan ibu saleha pun sudah siap mau pergi untuk membawa Fatimah mendaftar sebagai siswi baru. Ibu saleha langsung membangun Fatimah, fatimah sempat kaget pagi-pagi sudah dibanguni. Dan mereka pun langsung meluncur ke jalan, dalam hati Fatimah gelisa ( sebenarnya ayah sama ibu mau ngajak aku ke mana ) tiba-tiba sampai ke tempat tujuan, fatimah pun terkejut.
“ Ayah, ibu… sebenarnya kita ngapain dating kesini ?”
“sudahlah entar kamu tahu sendiri … ayo masuk “
Sangat terkejut fatimah tiba-tiba ayah dan ibunya ternyata mendaftar dia sebagai santriwati baru, marah, kecewa, lesuh dan lemas perasaan fatimah tak karuan, pipinya yang mulus di basahi deraian air mata yang tak bias ia tahankan lagi.
Pengumuman pun tiba, akhirnya fatimah sah menjadi seorang santriwati, mau tidak mau itulah yang harus ia terima. Setelah berlangsung ia pun sulit untuk menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang baru. Tiba-tiba Fatimah menangis karena ia ingat akan orang tuanya, ia tidak mau pisah sdari orang tuanya, datanglah seorang pengasuh dan ia menasehati fatimah sambil mengelus-elus kepalanya dan berkata.
“ Nak … jangan sedih lagi ya….di sini ada ibu sebagai orang tua kamu yang kedua, anggap saja ibu ini adalah orang tua kamu ! ini hal biasa yang di alami seorang santri yang pertama kali menjadi santri “.
Akhirnya fatimah dapat menerima masukkan dan nasehat pengasuhnya. Di sekolah, fatimah ia ada suka sama seorang laki-laki ia cukup popular di sekolah itu, ia bernama amar akhirnya mereka kenalan, dengan perkenalan sudah cukup dekat mereka pun resmi pacaran tapi mereka jarang sekali bertemu mereka hanya kirim-kiriman surat karena situasi sangat tidak memungkinkan, jadi amar ingin mengajak fatimah bertemu di sebuah tempat di luar komplek.
Di saat mereka ingin bertemu ternyata ada seorang pengasuh mengiring mereka secara diam-diam, di saat merekasedang duduk berdua, pengurus dating secara tiba-tiba dengan wajah emosi, hingga akhirnya mereka di hokum dan di suruh menghadap pimpinan, ketika sampai di rumah pimpinan, pimpinan pun langsung mengeluarkan kata-kata yang mengejutkan .
“ Apakah kalian sudah sanggup untuk menikah ?”
Mereka pun saling lihat dan ketakutan dengan pertanyaan pimpinan tadi.
“ Kenapa kalian diam ? belum sanggup kalian menikah ! “
“ ya sudah kalau kalian belum sanggup menikah, tapi kenapa kalian pacaran ?”
Fatimah pun sangat terkejut dengan pernyataan pimpinannya karena bersih keras ingin menyuruh mereka menikah, mereka pun mohon-mohon supaya mencabut perkataan beliau. Dengan rasa kasihan pun akhirnya pimpinan mengabul permintaan mereka dengan syarat bahwa mereka harus mengakhiri hubungan meraka segera, di saat inilah perasaan Fatimah benar-benar hancur ia mearsa hidup di pesantren yang serba tidak boleh seakan hidup di penjara tapi cuma yang membedakannya di pesantren tempat orang yang beriman dan tempat menuntut ilmu agama Tuhan. Dalam pikiran fatimah tidak ada hal lain kecuali ia ingin keluar dari penjara suci, “lugas Fatimah “
Hingga mereka kembali ke asrama masing-masing, sampai di asrama fatimah menangis tersedu-sedu dan ia mau segera mungkin ingin keluar dari pesantren itu tiba-tiba pengasuhnya menghampirinya dan menasehati Fatimah hingga akhirnya Fatimah mandi dan istirahat. Keesokan harinya fatimah tidak masuk sekolah di kabarkan bahwa ia sakit kulit. Fatimah terkejut melihat tubuhnya ditumbuhi bentol-bentol merah, penyakit itu tak pernah Fatimah temui jadi ia sangat cemas, di asrama yang hening Fatimah pun sangat sedih menurut dia begitu banyak halangan belum selesai yang satu sudah muncul masalah yang baru. Fatimah semakin tidak betah hingga satu minggu masih belum sembuh karena berobat di puskesmas yang seadanya, rasa sabar fatimah sudah musnah akhirnya di kabarkan bahwa ia minggat, pulang tanpa izin, teman-teman dan pengasuhnya panik melihat fatimah tidak ada lagi di tempat tidur, mereka pun sibuk kesana kemari dan langsung melapor dengan ketua pengasuh dan langsung menghubungi orang tua fatimah tapi ternyata fatimah tidak ada di rumah, orang tunya sangat panik ketika mendapat kabar fatimah pergi dari asrama, semuanya khawatir dengan keadaan fatimah. Sore pun tiba tapi fatimah tak kunjung datang begitu pula dengan pengasuhnya hingga sore tak ada kabar dari fatimah, hingga malam pun tiba . orang tua fatimah pun makan malam, di saat makan malam berlangsung tiba-tiba bel rumahnya berbunyi.
“ Ayah tolong buka yah … ibu malas jalan “
Pak saleh pun menuju pintu dengan senang hati karena ia menyangka itu pasti fatimah anaknya. Tetapi ketika dibuka ia pun terkejut , tapi masih senang dan tersenyum orang tua pak saleh dari kampung datang.
“Ibu coba tebak siapa yang datang ?”
“ Pasti anak kita kan yah…!”
Setelah ibu saleha menuju ruang tamu ternyata bukan anaknya yang datang melainkan mertuanya .
Meskipun bukan anaknya yang datang tapi ibu saleha tetap senang dengan kedatangan mertuanya dan mereka langsung makan malam bersama ,selama makan malam berlangsung nenek fatimah pun bertanya kepada saleha .
“ leha Fatimah cucu ibu mana ?”
“emm…. Ftaimah sekolah bu… di pesantren !”
“ oh… sekolah di sana ya…bagus kalau begitu berarti cucu ibu akan menjadi orang yang baik, bagaimana kalau kita besok kita pergi ke pesantren tempat fatimah belajar ! “
Pak saleh dan ibu saleha saling lihat dan pak saleh langsung menjawab.
“ Ibu… bukannya kami tidak membolehkan ibu kesana, tapi ibu kan baru sampai malam ini , sebaiknya ibu besok istirahat saja dulu !”
Ibu saleha pun memotong pembicaraan pak saleh.
“ iya bu…besok ibu istirahat dulu , entar kalau ibu sudah tidak kecapekan lagi baru kita sama-sama mengunjungi fatimah”
Tak lama kemudian telepon pak saleh berdering.
” kring…kring…”
“ia hallo ! “
“ ia pak ! ini ini benar pak saleh ? orang tuanya fatimah ! “
“ oh iya benar … , ini siapa ?”
“ ini yunita teman fatimah pak ! sebenarnya fatimah ada di rumah saya pak “
“ Apa…?fatimah anak saya ada di rumah kamu ! anak bapak baik-baik saja kan nak… ?”
“ iya pak…! Fatimah sekarang lagi makan, gini saja pak, bapak sama ibu datang saja kerumah saya untuk merayu dan membujuk fatimah “
“ oh….ia kami akan segera ke sana iya !
“ iya pak.”
Pak saleh pun menutup teleponnya dan langsung memberi tahu kepada bu saleha tentang kabar baik ini. Dan mereka langsung menuju rumah yunita, sesampai di sana fatimah terkejut karena nggak ada angina nggak ada apa-apa tiba-tiba dia melihat bahwa yang datang adalah orang tunya, saat orang tuanya ingin memeluknya fatimah cuek dan langsung pergi , yunita saling lihat sama orang tunya fatimah.
“ Pak…bu… sabar iya ! “
“ iya nak nggak apa-apayang penting ibu sama bapak sudah tahu keadaan fatimah “
“ tunggu sebentar iya bu ! biar aku yang bicara sama fatimah “
“ iya nak… “
Akhirnya yunita masuk kamarnya untuk berbicara sama fatimah, hamper satu jam pak saleh dan ibu saleha menuggu yunita dan fatimah keluar dari kamarnya akhirnya tiba di ruang tamu dan fatimah langsung salaman sama orang tunya sambil menangis.
“ Pak…bu…maafin fatimah iya …fatimah sudah membuat bapak dan ibu khawatir dan kecewa sama fatimah “
“ iya sudah nak… jangan nangis lagi malu di lihat yunita , kita langsung pulang yuk nak ada nenek dirumah sudah menuggu dari tadi “
“ iya bu kita pulang sekarang nggak enak ngerepoti yunita terus”
Akhirnya mereka pulang kerumah mereka sendiri.
” yun bapak sama ibu pamit dulu, terima kasih banyak karena yunita sudah baik sama fatimah “
“ iya pak sam-sama “
“ iya kami pamit dulu iya “
“ ia pak…hati-hati pak, bu… di jalan “
Mereka pun pulang, sesampai dirumah nenek fatimah langsung mencium fatimah karena sudah lama tidak bertemu dan fatimah menuju kamarnya untuk istirahat, begitupun orang tuanya.
Keesokan harinya fatimah kembali ketempat sekolahnya meskipun tidak dengan sepenuh hati ia dapat menerima kenyataan itu tapi fatimah mencoba untuk hidup sebagai santriwati yang sejati.
Kamis, 08 Juli 2010
SIAPA YANG SALAH
HUMAIROH
2007112027
Adegan 1
Dari pagi hari yang indah,sebelum masuk sekolah
Maret : Marisa cak mano pr kito nie belom selesai
Marisa : Yo pr kito nie belom selesai
Ema : Apo, pr kamu belom selesai
Marisa : Iyo, pr kami belum selesai
Ema : Ngapo belum ?????
Marisa : Kami nie kemaren sibuk nian
Adegan 2
Tiba – tiba isabellapun tiba di sekolah dan langsung menuju kelasnya.
Isabella : Assalamualaikum wr.wb
Mareta : Apo dio kau ne masuk kelas ribot nian
Marisa : Iyo nian kau nie masuk kelas ribot nian
Mareta : Ngerti dak kau nie kalu di omongi ?
Isabella : I......i.....iya saya ngerti
Ema : Oy Mareta,Marisa ngapo kau ne ?????????
Mareta : Dio nie nah masuk kelas ribot nian
Ema : Kamu nie kalu dio ngucap salam tu di jawab bukan di cak ituken
Mareta : Ai kau nie betingkah pulok
Ema : Bukan cak itu Ka.......
Marisa : { memotong pembicaraan }aii sudalah
Adegan 3
Bel sekolah pun berbunyi dan semua murid masuk ke kelas mereka masing-masing
Marisa : Oy Isabella sini dulu kau tu
Isabella : Ada apa Ka ? ?
Marisa : Nie nah buatke pr kami
Mareta : Iyo nah buatke pr aku
Isabella : Iya,tapi idak akan bisa menjawab bila ditanya oleh Guru
Marisa : Ai sudah kau ne nak ceramah pulok
Mareta : Iyo nian,kalu nak ceramah tu di masjid
Isabella : Iyo sini buku tulis kalian,entar saya buatin pr nya
Adegan 4
Gurupun masuk ke dalam kelas,untunglah pr mereka sudah selesai di buat oleh isabella
Aminah : Assalamualaikum.wr.wb
Isabella : Walaikumsalam.wr.wb
Aminah : Pr yang ibu kasih dua minggu lalu kumpulkan
Murid : Biklah buk...........
Aminah : Bagikanlah buku itu dengan bukan pemiliknya
Isabella : Baiklah buk
Adegan 5
Setelah tugas di beri nilai oleh guru,gurupun menerangkan apa yang akan terjadi pada saat UN nanti
Aminah : anak-anak,kalian sudah tau kan bahwa tanggal 22 maret 2010 akan di laksanakan UN
Murid : Sudah tau
Adegan 6
Setelah guru menjelaskan kapan UN dilaksanakan tiba-tiba kepala sekolah masuk ke dalam kelas mereka
Mitra : Assalamualikum.wr.wb
Mitra : Maaf ya buk menggangu sebentar
Mitra : Begini buk kami kan kemarin ke Diknas kabarnya kalian akan mendapat dua paket dalm melaksanakan UN nanti
Murid : Ya..........................
Mareta dan Marisa : Pak ngapo dak 1 paket bae ? ? ?
Mitra : Tidak bisa begitu itukan sudah ketentuan dari Diknas
Mareta dan Marisa : Yaaa, dak lemaklah Pak
Murid : Bukan nenek kau yang jadi kepala Diknas
Mitra : Sudah jangan ribut,biklah mungkin hanya itu yang Bapak sampaikan
Adegan 7
Tanggal 22 maret 2010,akhirnya pelaksanaan UN dimulai semua murid SMA di Indonesia,
Belpun berbunyi bertanda UN akan segera dimulai 2 pengawaspun sudah duduk di bangku yang telah di sediakan.
Indah pratiwi : Assalamualaikum.wr.wb.
Murid : Walaikumsalam.wr.wb
Jariah : Baiklah anak-anak kumpulkan tas kalian
Murid : Ya............ Buk
Indah pratiwi : Ni bagi ke belakang soalnya
Adegan 8
Satu persatu siswa-siswi mulai mengisi LJK. Isabella mengisi soal itu dengan santai karena ia bisa mengerjakannya,sedangkan Marisa dan Mareta kebingungan untuk menjawabnya.
Mareta : Aduh cak mano ini dak acak ngisinyo ? ? ?
Marisa : Oy samo bae aku dak pacak ngisi jugok !
Mareta :{ Dengan suaralembut memanggil Isabella } oy Isabella jingok isiannyo
Mareta : Aiii kau nie cak-cak dak dengar pulok
Isabella : Kita ne dak sama soalnya
Mareta : Madak iiiiiiii ????????????????
Isabella : Iyo aku nie paket 1 ssedangkan kau paket 2
Mareta : Iyo eeeeeee ...................
Adegan 9
Dua jam kemudian pengawaspun meminta LJK itu untuk di kumpulkan
Jariah : Ayo cepat sedikit waktu kalian sudah habis
Murid : Iya Buk.......
Adegan 10
Sebulan telah berlalu { 22 april 2010 } kelulusanpun akan di bagikan oleh guru-guru. Ternyata Mareta dan Marisa TIDAK LULUS sedangkan Siswa-siswi yang lain lulus.
Mareta : hem..........hem........ngapo aku biso dak lulus ?
Marisa : hem...........hem........mungkin kito nie nganggap remeh UN .
Ema : Yo,sudah jadi siapo yang salah ?
Marisa : Isabella,maafkan kami atas segalah kesalahan kami,aku dan Mareta
Isabella : Iya, kalian sudah saya maafkan sebelumnya.
Akhirnya Mareta dan Marisa sadar bahwa mereka sering menyuruh Isabella membuatkan pr inilah akibatnya pr saya dibutin orang lain.
Ternyata Mereka mengambil Paket C, Marisa dan Maretapun LULUS di Paket C.
By: Rim@y
2007112027
Adegan 1
Dari pagi hari yang indah,sebelum masuk sekolah
Maret : Marisa cak mano pr kito nie belom selesai
Marisa : Yo pr kito nie belom selesai
Ema : Apo, pr kamu belom selesai
Marisa : Iyo, pr kami belum selesai
Ema : Ngapo belum ?????
Marisa : Kami nie kemaren sibuk nian
Adegan 2
Tiba – tiba isabellapun tiba di sekolah dan langsung menuju kelasnya.
Isabella : Assalamualaikum wr.wb
Mareta : Apo dio kau ne masuk kelas ribot nian
Marisa : Iyo nian kau nie masuk kelas ribot nian
Mareta : Ngerti dak kau nie kalu di omongi ?
Isabella : I......i.....iya saya ngerti
Ema : Oy Mareta,Marisa ngapo kau ne ?????????
Mareta : Dio nie nah masuk kelas ribot nian
Ema : Kamu nie kalu dio ngucap salam tu di jawab bukan di cak ituken
Mareta : Ai kau nie betingkah pulok
Ema : Bukan cak itu Ka.......
Marisa : { memotong pembicaraan }aii sudalah
Adegan 3
Bel sekolah pun berbunyi dan semua murid masuk ke kelas mereka masing-masing
Marisa : Oy Isabella sini dulu kau tu
Isabella : Ada apa Ka ? ?
Marisa : Nie nah buatke pr kami
Mareta : Iyo nah buatke pr aku
Isabella : Iya,tapi idak akan bisa menjawab bila ditanya oleh Guru
Marisa : Ai sudah kau ne nak ceramah pulok
Mareta : Iyo nian,kalu nak ceramah tu di masjid
Isabella : Iyo sini buku tulis kalian,entar saya buatin pr nya
Adegan 4
Gurupun masuk ke dalam kelas,untunglah pr mereka sudah selesai di buat oleh isabella
Aminah : Assalamualaikum.wr.wb
Isabella : Walaikumsalam.wr.wb
Aminah : Pr yang ibu kasih dua minggu lalu kumpulkan
Murid : Biklah buk...........
Aminah : Bagikanlah buku itu dengan bukan pemiliknya
Isabella : Baiklah buk
Adegan 5
Setelah tugas di beri nilai oleh guru,gurupun menerangkan apa yang akan terjadi pada saat UN nanti
Aminah : anak-anak,kalian sudah tau kan bahwa tanggal 22 maret 2010 akan di laksanakan UN
Murid : Sudah tau
Adegan 6
Setelah guru menjelaskan kapan UN dilaksanakan tiba-tiba kepala sekolah masuk ke dalam kelas mereka
Mitra : Assalamualikum.wr.wb
Mitra : Maaf ya buk menggangu sebentar
Mitra : Begini buk kami kan kemarin ke Diknas kabarnya kalian akan mendapat dua paket dalm melaksanakan UN nanti
Murid : Ya..........................
Mareta dan Marisa : Pak ngapo dak 1 paket bae ? ? ?
Mitra : Tidak bisa begitu itukan sudah ketentuan dari Diknas
Mareta dan Marisa : Yaaa, dak lemaklah Pak
Murid : Bukan nenek kau yang jadi kepala Diknas
Mitra : Sudah jangan ribut,biklah mungkin hanya itu yang Bapak sampaikan
Adegan 7
Tanggal 22 maret 2010,akhirnya pelaksanaan UN dimulai semua murid SMA di Indonesia,
Belpun berbunyi bertanda UN akan segera dimulai 2 pengawaspun sudah duduk di bangku yang telah di sediakan.
Indah pratiwi : Assalamualaikum.wr.wb.
Murid : Walaikumsalam.wr.wb
Jariah : Baiklah anak-anak kumpulkan tas kalian
Murid : Ya............ Buk
Indah pratiwi : Ni bagi ke belakang soalnya
Adegan 8
Satu persatu siswa-siswi mulai mengisi LJK. Isabella mengisi soal itu dengan santai karena ia bisa mengerjakannya,sedangkan Marisa dan Mareta kebingungan untuk menjawabnya.
Mareta : Aduh cak mano ini dak acak ngisinyo ? ? ?
Marisa : Oy samo bae aku dak pacak ngisi jugok !
Mareta :{ Dengan suaralembut memanggil Isabella } oy Isabella jingok isiannyo
Mareta : Aiii kau nie cak-cak dak dengar pulok
Isabella : Kita ne dak sama soalnya
Mareta : Madak iiiiiiii ????????????????
Isabella : Iyo aku nie paket 1 ssedangkan kau paket 2
Mareta : Iyo eeeeeee ...................
Adegan 9
Dua jam kemudian pengawaspun meminta LJK itu untuk di kumpulkan
Jariah : Ayo cepat sedikit waktu kalian sudah habis
Murid : Iya Buk.......
Adegan 10
Sebulan telah berlalu { 22 april 2010 } kelulusanpun akan di bagikan oleh guru-guru. Ternyata Mareta dan Marisa TIDAK LULUS sedangkan Siswa-siswi yang lain lulus.
Mareta : hem..........hem........ngapo aku biso dak lulus ?
Marisa : hem...........hem........mungkin kito nie nganggap remeh UN .
Ema : Yo,sudah jadi siapo yang salah ?
Marisa : Isabella,maafkan kami atas segalah kesalahan kami,aku dan Mareta
Isabella : Iya, kalian sudah saya maafkan sebelumnya.
Akhirnya Mareta dan Marisa sadar bahwa mereka sering menyuruh Isabella membuatkan pr inilah akibatnya pr saya dibutin orang lain.
Ternyata Mereka mengambil Paket C, Marisa dan Maretapun LULUS di Paket C.
By: Rim@y
KESABARAN SELALU MEMBAWA KEBERKAHAN
Dari tadi pagi hujan mengguyur kota tanpa henti,udara yang biasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin .Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini hari libur membuat orang kota malas untuk keluar rumah.
Di perempatan jalan, Umar,seaorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah,dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan plastik.
“korannya, Bu ?tawar Umar mengalahkan suara air hujan.
Dari balik kaca mobil Si Ibu menatap dengan kasihan,dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran.
Dikeluarkannya satu lembar dua puluh dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengeluarkan lembaran uang .
“Mau koran yang mana, Bu ? tanya Umar dengan riang.
“Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca,”jawab si ibu.
Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu di ulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima
“terimah kasih Bu,Saya menjual koran,kalau ibu mau beli koran silakan,tapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma , mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”’Umar berkata dengan muka penuh ketulusan.
Dengan geram ibu menerima kebali uang pemberiannya,raut mukanya tampak kesal,dengan cepat di naikannya kaca mobil.
Dari dalam mobil ia menggerutu”udah miskin sombong”
Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukan warna hijau,mininggalkan umar yang termenung penuh tanda tanya.
Umar berlari ke tepi,dia mencoba merapatkan tubuhnya ke dinding ruko tempatnya berteduh.Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel.Sambil termenung dia menatap nanar rinti-rintik didepannya.
“Ya Tuhan,hari ini belum satupun koran yang laku”gumamnya lemah.
Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda,Umar masi saja duduk berteduh di emperan ruko,sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar.
Tiba-tiba di depannya sebuah mobil berhenti,seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah.
“Tukang gorengan sialan,minyak kayak gini bisa bikin batuk”,Dengan penuh kebencian di campakannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah,dan beranjak masuk ke mobil.
Umar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada di mobil.
“Mohon maaf Pak, boleh saya mengambil gorengan yang baru saja Bapak buang untuk saya makan,” pinta umar dengan penuh harap.
Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya.Harusnya dia bisa mengambilnya dari tong sampah tanpa harus mintak ijin.Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya.
“Nak, Bapak bisa memberikan kamu makan yang baru ,kalu kamu mau.
“Terimah kasih, Pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi say,bole khan,Pak?”tanya Umar sekali lagi.
“Bbbbbooooooooolleeeehhhhhhhhhh” jawab pria tersebut dengan tertegun.
Umar berlari riang menuju tong sampah,dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan,sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.
Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus umar yang sedang makan.Dengan perasaan berkecamuk didekatinya Umar.
“Nak bolehkah bapak bertanya,kenapa kamu harus meminta ijinku makanan yang sudah aku buang,”Dengan lembut pria itu bertanya dan manatap wajah anak kecil di depannya penuh perasaan kasiahan.
“karena saya melihat bapak yang membuangnya,saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalu saya bisa memintak ijin kepada pemiliknya,meskipun bagi Bapak sudah tidak berharga,tapi bagi saya makanan ini sangat berharga,dan saya pantas meminta ijin memakannya,”jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak gorengan.
Pria itu sejenak terdiam,dalam batinnya berkata,anak ini sangat luar biasa.
“Satu lagi, Nak,Aku kesihan melihatmu,Aku lihat kamu basah dan kedinginan, Aku ingin membelikan kamu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya?
Sianak kecil tersenyum dengan manis,
“Maaf Pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak.Buat saya makanan sekantong gorengan hari ini lebih dari cukup.Kalau saya mencampakan gorengan ini dan menerima tawaran makanan lain yang menurut Bapak lebih layak,maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir,basah oleh air dan hanya akan menjadi makanan tikus.
Tapi bukannya kamu menyia-nyiakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran dimana Aku yang akan mentraktir? Ujar Bapak dengan nada agak tinggi karena merasa anak di depannya berfikir keliru.
Umar menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yang sangat teduh.
“Pak ! saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini.Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia bersyukur dan merasa cukup atas anugrah hari ini,bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya dikemudian hari.
Umar berhenti berbicara sebentar,lalu diciumnya tangan laki-laki didepannya untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali,” kalau hari ini saya makan di lestoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan hari saya menginginkannya kembali sementara Bapak tidak lagi mentraktir saya, maka saya sangat khwatir apakah saya masih bisah merasakan kebahagiaannya.”
Pria tersebut masih saja terpanah,dia mengamati anak kecil didepannya yang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitan pergi.
“Ternyata bukan dia yang patut dikasihani,karena aku jarang bisa berdamai hari ini.
BY: Rim@Y
Di perempatan jalan, Umar,seaorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah,dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan plastik.
“korannya, Bu ?tawar Umar mengalahkan suara air hujan.
Dari balik kaca mobil Si Ibu menatap dengan kasihan,dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran.
Dikeluarkannya satu lembar dua puluh dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengeluarkan lembaran uang .
“Mau koran yang mana, Bu ? tanya Umar dengan riang.
“Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca,”jawab si ibu.
Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu di ulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima
“terimah kasih Bu,Saya menjual koran,kalau ibu mau beli koran silakan,tapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma , mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”’Umar berkata dengan muka penuh ketulusan.
Dengan geram ibu menerima kebali uang pemberiannya,raut mukanya tampak kesal,dengan cepat di naikannya kaca mobil.
Dari dalam mobil ia menggerutu”udah miskin sombong”
Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukan warna hijau,mininggalkan umar yang termenung penuh tanda tanya.
Umar berlari ke tepi,dia mencoba merapatkan tubuhnya ke dinding ruko tempatnya berteduh.Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel.Sambil termenung dia menatap nanar rinti-rintik didepannya.
“Ya Tuhan,hari ini belum satupun koran yang laku”gumamnya lemah.
Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda,Umar masi saja duduk berteduh di emperan ruko,sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar.
Tiba-tiba di depannya sebuah mobil berhenti,seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah.
“Tukang gorengan sialan,minyak kayak gini bisa bikin batuk”,Dengan penuh kebencian di campakannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah,dan beranjak masuk ke mobil.
Umar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada di mobil.
“Mohon maaf Pak, boleh saya mengambil gorengan yang baru saja Bapak buang untuk saya makan,” pinta umar dengan penuh harap.
Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya.Harusnya dia bisa mengambilnya dari tong sampah tanpa harus mintak ijin.Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya.
“Nak, Bapak bisa memberikan kamu makan yang baru ,kalu kamu mau.
“Terimah kasih, Pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi say,bole khan,Pak?”tanya Umar sekali lagi.
“Bbbbbooooooooolleeeehhhhhhhhhh” jawab pria tersebut dengan tertegun.
Umar berlari riang menuju tong sampah,dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan,sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.
Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus umar yang sedang makan.Dengan perasaan berkecamuk didekatinya Umar.
“Nak bolehkah bapak bertanya,kenapa kamu harus meminta ijinku makanan yang sudah aku buang,”Dengan lembut pria itu bertanya dan manatap wajah anak kecil di depannya penuh perasaan kasiahan.
“karena saya melihat bapak yang membuangnya,saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalu saya bisa memintak ijin kepada pemiliknya,meskipun bagi Bapak sudah tidak berharga,tapi bagi saya makanan ini sangat berharga,dan saya pantas meminta ijin memakannya,”jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak gorengan.
Pria itu sejenak terdiam,dalam batinnya berkata,anak ini sangat luar biasa.
“Satu lagi, Nak,Aku kesihan melihatmu,Aku lihat kamu basah dan kedinginan, Aku ingin membelikan kamu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya?
Sianak kecil tersenyum dengan manis,
“Maaf Pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak.Buat saya makanan sekantong gorengan hari ini lebih dari cukup.Kalau saya mencampakan gorengan ini dan menerima tawaran makanan lain yang menurut Bapak lebih layak,maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir,basah oleh air dan hanya akan menjadi makanan tikus.
Tapi bukannya kamu menyia-nyiakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran dimana Aku yang akan mentraktir? Ujar Bapak dengan nada agak tinggi karena merasa anak di depannya berfikir keliru.
Umar menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yang sangat teduh.
“Pak ! saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini.Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia bersyukur dan merasa cukup atas anugrah hari ini,bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya dikemudian hari.
Umar berhenti berbicara sebentar,lalu diciumnya tangan laki-laki didepannya untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali,” kalau hari ini saya makan di lestoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan hari saya menginginkannya kembali sementara Bapak tidak lagi mentraktir saya, maka saya sangat khwatir apakah saya masih bisah merasakan kebahagiaannya.”
Pria tersebut masih saja terpanah,dia mengamati anak kecil didepannya yang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitan pergi.
“Ternyata bukan dia yang patut dikasihani,karena aku jarang bisa berdamai hari ini.
BY: Rim@Y
HARAPAN TULUS
Terima AKU apa adanya
Aku ingin berikankan kasih sayangku
hanya untukmu
semampu dan sekuat cintaku hanya untuk mu
maafkan jika cinta ku tak sempurna
seperti cinta yang kau harapkan
dan ku ingin selalu bersama mu
moga cinta dan kasih sayang ini akan kekal abadi
By: um@y
Aku ingin berikankan kasih sayangku
hanya untukmu
semampu dan sekuat cintaku hanya untuk mu
maafkan jika cinta ku tak sempurna
seperti cinta yang kau harapkan
dan ku ingin selalu bersama mu
moga cinta dan kasih sayang ini akan kekal abadi
By: um@y
JANGAN PERNA SALAHKAN CINTA
HUMAIROH
2007112027
Masa remaja, masa yang sangat indah. Semua orang pasti akan melewati dan merasakannya. Terutama dalam hal perasaan yang tak lepas dari arsat ingin mengenal lawan jenis. Berawal dari iseng belaka “ kata kenalan untuk lebih dekat sebagai seorang sahabat”. Kisahnya dimulai dari lempar senyum belaka antara aku dan dia. Respon pun terjadi, di saat keinginan mendekat lewat tukar no hp dan ketemu di salah tempat yang di Palembang. Awal yang indah pertemu pertama kalinya dengan dia. Dia yang masih duduk disalah satu perguruan tinggi, yang ada di Palembang dan begitu juga dengan aku. Serangkaian kalimat yang bikin aku kaget “Aku ingin kau orang yang lebih tahu akan diriku agar tidak kecewa kata, itu yang pertama kali aku demgar dari dia. Aku pun tersenyum diam seperti ada yang harus aku pahami dari sifat dia.
Hari berlalu tak terasa hubungan semakin akrab dan dekat, kami mulain sedikit demi sedikit mengenal akan sifat kami dalam menyikapi suatu masalah. Hari terasa indah dan cerah, sudah hampir tiga bulan hungan kami baik-baik saja. Seiring berjalannya waktu terpikir oleh dia
“ kita tak mungkin terus-terusan seperti ini”
“aku menginginkan terbaik akhir dari hubungan kita, tapi apakah mungkin seperti ini terus” dia berpikir layaknya orang yang ingin memberikan kebaikan akan hubungan ini. Saya pun bertanya, “Kenapa berkata seperti itu?????.....
” bukankah dalam keadaan sekarang ini kita itu sama-sama dalam peroses pendidikan bukannya kita gak mau cari kerja”. Aku tahu bahwa dalam dirinya bukanlah orang yang pemalas”. “Walaupun kita baru kenal akan tetapi aku sudah bisa membaca pikirannya.”Kita harus saling percaya dan memberi dorongan dalam menghadapi masalah”. Kata yang aku ucapkan seperti itu bukan beratri bisa menenangkan dia malah malah sebaliknya. Dorongan mulai datang dari orang terdekat terutama keluarga, sahabat dan dari aku sendiri, berbagai lamaran dimasukan dan tes juga diikuti tapi apa daya kerberuntungan belum ada. Semuanya itu membuat dia semakin terpukul. Aku juga bisa merasakan apa yang dia rasakan.
“Aku tak bisa melanjudkan hubungan kita, tak ada yang dapat aku lakukan” aku tak sanggup mendengarnya, “Aku juga tak bisa berbuat apa. Akupun berusaha belajar mengerti dirinya aku juga tahu bahwa dia juga tak menginginkan hal seperti ini. Hari demi hari tak terasa hubungan semakin jauh dengan kesibungan kami masing-masing hingga membuat kami sibuk dengan kegiatan masing.
Malam itu aku kangen dan sangat merindukan suara dia, tak tahu mengapa??????..
“Apakah perasaannya sama dengan apa yamg aku rasakan, Ohhh tuhan apa yang terjadi dengan perasaan ini, aku masih saja tak bisa jauh dan melupakan dia” Apakah perasaannya sama dengan yang aku rasakan”. Doa akupun selalu aku lakukan setiap saat agar diberikan jalan terbaik bagi diriku dan dirinya. Malam mulai larut dan terasa dingin menyelimuti diriku dalam heningnya malam mulai terasa. Bunyi hp telah mengagetkan aku malam itu, ternyata itu telpon dari dia, aku kaget seakan tak percaya itu telpon dari dia, aku menjawabnya, aku gugup seakan aku tak sanggup untuk berbicara, bibirku tertutup, “halloh..?
“holloh.. apa kabar?
“ya..ya.. baik- baik..?
“Kenapa gak mau bicara tadi...?
“Tadi bukan aku tidak kedengaran, tapi aku kaget saja, kalau telpon itu dari kamu......!
Kata-kata berlanjut akrab layaknya orang yang baru kenal, tak terasa kata-kata semakin jauh menunjukan arah untuk baik kembali, yang jelas dari semua kata yang dia ucapkan itu katanya bisa aku simpulkan “Bahwa dia tak bisa jalani hari tanpa diriku” aku sangat senang mendengarnya, walupun eksperesiku tak menunjukan kearah sana. Hatiku juga berkata “ Perasaan aku juga sama dengan apa yang kamu rasakan”. Kita mulai berusaha untuk memulihkan kekecewaan selama ini yang kami rasakan, dari itu dia mencoba untuk menjalin hubungan lagi dengan diriku, dia memintak maaf dan mengakui salahnya. Akupun menjawab “Perasaan baik tak perna salah, dan banyaklah kesempatan maaf yang aku siapkan jika semu itu baik untuk di jalani.
By: Rim@y
2007112027
Masa remaja, masa yang sangat indah. Semua orang pasti akan melewati dan merasakannya. Terutama dalam hal perasaan yang tak lepas dari arsat ingin mengenal lawan jenis. Berawal dari iseng belaka “ kata kenalan untuk lebih dekat sebagai seorang sahabat”. Kisahnya dimulai dari lempar senyum belaka antara aku dan dia. Respon pun terjadi, di saat keinginan mendekat lewat tukar no hp dan ketemu di salah tempat yang di Palembang. Awal yang indah pertemu pertama kalinya dengan dia. Dia yang masih duduk disalah satu perguruan tinggi, yang ada di Palembang dan begitu juga dengan aku. Serangkaian kalimat yang bikin aku kaget “Aku ingin kau orang yang lebih tahu akan diriku agar tidak kecewa kata, itu yang pertama kali aku demgar dari dia. Aku pun tersenyum diam seperti ada yang harus aku pahami dari sifat dia.
Hari berlalu tak terasa hubungan semakin akrab dan dekat, kami mulain sedikit demi sedikit mengenal akan sifat kami dalam menyikapi suatu masalah. Hari terasa indah dan cerah, sudah hampir tiga bulan hungan kami baik-baik saja. Seiring berjalannya waktu terpikir oleh dia
“ kita tak mungkin terus-terusan seperti ini”
“aku menginginkan terbaik akhir dari hubungan kita, tapi apakah mungkin seperti ini terus” dia berpikir layaknya orang yang ingin memberikan kebaikan akan hubungan ini. Saya pun bertanya, “Kenapa berkata seperti itu?????.....
” bukankah dalam keadaan sekarang ini kita itu sama-sama dalam peroses pendidikan bukannya kita gak mau cari kerja”. Aku tahu bahwa dalam dirinya bukanlah orang yang pemalas”. “Walaupun kita baru kenal akan tetapi aku sudah bisa membaca pikirannya.”Kita harus saling percaya dan memberi dorongan dalam menghadapi masalah”. Kata yang aku ucapkan seperti itu bukan beratri bisa menenangkan dia malah malah sebaliknya. Dorongan mulai datang dari orang terdekat terutama keluarga, sahabat dan dari aku sendiri, berbagai lamaran dimasukan dan tes juga diikuti tapi apa daya kerberuntungan belum ada. Semuanya itu membuat dia semakin terpukul. Aku juga bisa merasakan apa yang dia rasakan.
“Aku tak bisa melanjudkan hubungan kita, tak ada yang dapat aku lakukan” aku tak sanggup mendengarnya, “Aku juga tak bisa berbuat apa. Akupun berusaha belajar mengerti dirinya aku juga tahu bahwa dia juga tak menginginkan hal seperti ini. Hari demi hari tak terasa hubungan semakin jauh dengan kesibungan kami masing-masing hingga membuat kami sibuk dengan kegiatan masing.
Malam itu aku kangen dan sangat merindukan suara dia, tak tahu mengapa??????..
“Apakah perasaannya sama dengan apa yamg aku rasakan, Ohhh tuhan apa yang terjadi dengan perasaan ini, aku masih saja tak bisa jauh dan melupakan dia” Apakah perasaannya sama dengan yang aku rasakan”. Doa akupun selalu aku lakukan setiap saat agar diberikan jalan terbaik bagi diriku dan dirinya. Malam mulai larut dan terasa dingin menyelimuti diriku dalam heningnya malam mulai terasa. Bunyi hp telah mengagetkan aku malam itu, ternyata itu telpon dari dia, aku kaget seakan tak percaya itu telpon dari dia, aku menjawabnya, aku gugup seakan aku tak sanggup untuk berbicara, bibirku tertutup, “halloh..?
“holloh.. apa kabar?
“ya..ya.. baik- baik..?
“Kenapa gak mau bicara tadi...?
“Tadi bukan aku tidak kedengaran, tapi aku kaget saja, kalau telpon itu dari kamu......!
Kata-kata berlanjut akrab layaknya orang yang baru kenal, tak terasa kata-kata semakin jauh menunjukan arah untuk baik kembali, yang jelas dari semua kata yang dia ucapkan itu katanya bisa aku simpulkan “Bahwa dia tak bisa jalani hari tanpa diriku” aku sangat senang mendengarnya, walupun eksperesiku tak menunjukan kearah sana. Hatiku juga berkata “ Perasaan aku juga sama dengan apa yang kamu rasakan”. Kita mulai berusaha untuk memulihkan kekecewaan selama ini yang kami rasakan, dari itu dia mencoba untuk menjalin hubungan lagi dengan diriku, dia memintak maaf dan mengakui salahnya. Akupun menjawab “Perasaan baik tak perna salah, dan banyaklah kesempatan maaf yang aku siapkan jika semu itu baik untuk di jalani.
By: Rim@y
Minggu, 04 Juli 2010
Naskah Drama "Tanda Bahaya"
Panggung menggambarkan suatu kelas. Ada tiga atau empat meja, kursi murid, sebuah meja dan kursi untuk guru dan sebuah papan tulis. Letak perlengkapan itu diatur sedemikian rupa sehingga memberi kesan sebuah kelas.
Yanti : (seorang pelajar tampak duduk di atas meja sambil membaca sebuah buku pelajaran).
Mirna : (Masuk dan terkejut melihat Yanti masih di kelas). “Kau masih di sini, Yanti. Belum pulang ?”
Yanti : (Tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala dan terus melanjutkan membaca)
Mirna : “Ada sesuatu?”.
Yanti : (Menggeleng)
Mirna : “Aku mengerti persoalanmu sebenarnya, Yanti. Lebih baik kau mengatakan kepadaku persoalanmu. Kalau aku tahu persis duduk perkaramu mungkin aku bisa membantumu”.
Yanti : “Aku mengerti, aku memang harus mengatakannya, tetapi aku tidak tahu dari mana dan bagaimana aku tahu memulainya”.
Mirna : “Kenapa?”
Yanti : “Sangat ruwet”.
Mirna : “Kau dipaksa kawin sama orangtuamu?”
Yanti : “Antara lain itu, tetapi banyak lagi soalnya”.
Mirna : “Apa?”
Yanti : “Ah, sudahlah. Sebaiknya kau tak usah memaksaku untuk mengatakannya. Sulit. Terlalu sulit”.
Mirna : “Yah, aku tahu kau tidak betah di rumah”.
Yanti : (Memandang).
Mirna : “Itu persoalan yang banyak kita rasakan bersama”.
Yanti : “Kau juga mengalami hal seperti itu?’
Mirna : “Memang. Cuma persoalanku tidak seberat persoalanmu. Aku selalu menghibur diri dengan cara pergi dengan teman-teman pria kalau hari Minggu “.
Yanti : “Dulu aku mencoba demikian, tetapi kalau aku pergi, sesudah sampai di rumah aku mengalami peristiwa yang sama, bahkan terasa lebih berat. Maka, aku menghentikan semua itu”.
Mirna : “Tetapi, kita harus menghibur diri, Yanti”.
Yanti : “Lebih dari itu, aku ingin menyelesaikan persoalan. Cara seperti itu tidak menyelesaikan persoalan. Itu bahkan menyiksa. Makin menyiksa”.
Mirrna : “Lalu, mesti gimana?”
Yanti : “Aku tidak mengerti”.
Mirna : “Tidak mengerti?”
Yanti : “Itulah yang menyedihkan. Kita mengalami sesuatu, tetapi kita tak mengerti bagaimana memahami pengalaman itu sendiri”.
Mirna : (Tersenyum).
Yanti : “Kau tersenyum mengejekku?”
Mirna : “Kau tidak tahu, Yanti, bahwa kau sebenarnya gelisah bukan ? Aku juga gelisah. Nah...”
Yanti : “Benar. Kupikir, kita ini mau apa? Setelah sekolah ini, lalu kiata akan melanjutkan sekolah lagi. Barangkali hanya satu atau dua tahun. Paling banter tiga tahun sudah itu kita dipinang orang. Kita menjadi seorang ibu...Apa artinya semua pelajaran yang kita terima selama ini”.
Mirna : “Nah...” (Tersenyum).
Yanti : “Kita mempersiapkan diri kita untuk menjadi sesuatu yang tidak ada artinya.”
Mirna : “Maksudmu?”
Yanti : “Menjadi istri dan ibu. Apa artinya tiu ? Apa pula hubungannya dengan sekolah kita tempuh selama ini?”
Mirna : “Makanya kita gelisah karena sebenarnya kita tak pernah mengerti nasib kita yang akan datang”.
Yanti : “Dan persoalan yang kita hadapi itu, tidak bisa dipecahkan dengan ilmu pengetahuan yang kita terima di sekolah sekarang ini”.
Mirna : “Kau mau?” (Mengeluarkan sebatang rokok).
Yanti : “Apa ini?”
Mirna : “Bawalah kalau kau mau. Kau akan memperoleh ketenangan”.
Yanti : (Menerima lalu meletakkannya di atas meja).
Mirna : “Ambillah simpan di tasmu. Jangan sampai kelihatan guru”.
Yanti : (Memandang dengan penuh keheranan).
Mirna : “Kalau kau tak mau, biarlah ku simpan sendiri. Ini cukup mahal. Kau bisa datang ke rumahku kalau kau mau. Nanti Anto, Yusman, dan Joko akan datang untuk menjemput aku pergi...”
Yanti : (Berdiri) “Pergi ke mana?”
Mirna : “Pergi ke suatu tempat pokoknya... sip. Deh”.
Yanti : “Aku mendengar bahwa kesenanganmu pergi ke tempat-tempat itu. Itu...”
Mirna : “Berdosa?”
Yanti : “Bukan”
Mirna : “Maksiat”.
Yanti : “Bukan”.
Mirna : “Itulah dunia muda masa kini”.
Yanti : “Barangkali benar”.
Mirna : “Nah...akhirnya kau menerima juga, toh.”
Yanti : “Tapi mengapa harus begitu? Itu berbahaya bagi kesehatan. Kita masih sangat muda. Bayangkan kalau masa remaja kita habiskan dengan cara-cara itu, nanti tua kita dapat apa?Lagipula, tujuanmu mencari kebebasan, kok, dengan menempuh jalan itu ? Apakah sebenarnya kau telah membuat dirimu diperbudak kembali oleh kebiasaanmu itu?”
Mirna : “Aku tak mengerti omonganmu, Yanti. Kalau kau tak mau, tak usah bertele-tele menasehatiku”.
Yanti : (Diam).
Mirna : “Baiklah. Kau pulang nggak? Itu Husni dan Surti sudah menunggumu di luar. Kalau nggak pulang, aku pulang duluan...dan kalau kau mau, ku tunggu nanti sore di rumahku”.
Yanti : “Kenapa kau takut ketahuan guru kita ?”
Mirna : “Karena mereka akan marah. Merampas dan menyetrap kita”.
Yanti : “Kau tahu sebabnya?”
Mirna : “Nggak. Mereka kolot seperti orang tua kita saja”.
Yanti : “Itu berbahaya. Obat bius dilarang diedarkan secara bebas”.
Mirna : “Tapi mereka toh tak sanggup menyelesaikan kegelisahanku. Sedikit-sedikit bilang dosa, maksiat, porno, huhh !”
Husni : “Astaga. Ngapain, nih, kalian di sini? Ku tunggu di luar sampai lama banget”.
Mirna : “Mau nolong Yanti. Akibatnya malah dapat kuliah”.
Surti : “Pantesan. Habis cita-cita Yanti mau jadi dosen”.
Yanti : “Aku memperingati Mirna bahaya main-main rokok begituan.”
Surti : “Sudahlah. Mari kita pulang saja. Ini sudah jam setengah dua. Sebentar lagi kelas ini dipakai anak–anak sore.”
Yanti : “Pulanglah dulu kalau kalian mau pulang. Aku butuh belajar...”
Surti : “Ahh...kau menunggu pak Lukas, kan !” (Surti, Mirna, Husni, tertawa bersama).
Yanti : “Pergi!”
Mirna : “Sekolah ini memang konyol”.
Yanti : “Sekolah ini tidak salah. Tapi kita yang salah. Kita terlalu menuntut banyak”.
Husni : “Kita membutuhkan sesuatu di sekolah ini kalau sesuatu yang kita butuhkan tidak kita temukan di rumah”.
Yanti : “Ya, benar”.
Husni : “Sukar sekali”.
Yanti : “Sedih bukan.”
Mirna : “Agar kita betah di sekolah, tapi apa itu mungkin....?”
Yanti : “Sedih sekali”.
Mirna : (Berjalan mau mengambil rokok yang sudah dibuang)
Yanti : “Biarkan di situ !”
Mirna : “Kalu ketahuan?”
Yanti : “Biar guru-guru kita mengerti,, inilah dunia kita yang sebenarnya”.
Mirna : “Tapi aku akan dimarahi lagi”.
Yanti : “Akulah yang akan bilang bahwa aku yang membawa rokok itu.”
Mirna : “Yanti !”
Yanti : “Aku mau tah sesudah guru marah, lalu berbuat apa pada kita”.
Husni : “Aku akan ikut dimarahi, Yanti. Ayo, ambil !”.
Yanti : “Jangan !”
Surti : “Kau jangan aneh-aneh, Yanti. Kalau kita dikelurkan bagaimana...?
Yanti : “Percayalah. Guru-guru kita perlu mengerti apa yang kita pikirkan, kita butuhkan, kita gelisahkan setiap hari....agar mereka tidak sekedar menempa kita dengan rumus-rumus yang harus kita hafal setiap hari...” (Yanti pergi yang lain menatap terus mengikuti perginya).
Mirna : “Yanti.., Yanti tunggu...”
SELESAI
Karya : Febriani
Yanti : (seorang pelajar tampak duduk di atas meja sambil membaca sebuah buku pelajaran).
Mirna : (Masuk dan terkejut melihat Yanti masih di kelas). “Kau masih di sini, Yanti. Belum pulang ?”
Yanti : (Tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala dan terus melanjutkan membaca)
Mirna : “Ada sesuatu?”.
Yanti : (Menggeleng)
Mirna : “Aku mengerti persoalanmu sebenarnya, Yanti. Lebih baik kau mengatakan kepadaku persoalanmu. Kalau aku tahu persis duduk perkaramu mungkin aku bisa membantumu”.
Yanti : “Aku mengerti, aku memang harus mengatakannya, tetapi aku tidak tahu dari mana dan bagaimana aku tahu memulainya”.
Mirna : “Kenapa?”
Yanti : “Sangat ruwet”.
Mirna : “Kau dipaksa kawin sama orangtuamu?”
Yanti : “Antara lain itu, tetapi banyak lagi soalnya”.
Mirna : “Apa?”
Yanti : “Ah, sudahlah. Sebaiknya kau tak usah memaksaku untuk mengatakannya. Sulit. Terlalu sulit”.
Mirna : “Yah, aku tahu kau tidak betah di rumah”.
Yanti : (Memandang).
Mirna : “Itu persoalan yang banyak kita rasakan bersama”.
Yanti : “Kau juga mengalami hal seperti itu?’
Mirna : “Memang. Cuma persoalanku tidak seberat persoalanmu. Aku selalu menghibur diri dengan cara pergi dengan teman-teman pria kalau hari Minggu “.
Yanti : “Dulu aku mencoba demikian, tetapi kalau aku pergi, sesudah sampai di rumah aku mengalami peristiwa yang sama, bahkan terasa lebih berat. Maka, aku menghentikan semua itu”.
Mirna : “Tetapi, kita harus menghibur diri, Yanti”.
Yanti : “Lebih dari itu, aku ingin menyelesaikan persoalan. Cara seperti itu tidak menyelesaikan persoalan. Itu bahkan menyiksa. Makin menyiksa”.
Mirrna : “Lalu, mesti gimana?”
Yanti : “Aku tidak mengerti”.
Mirna : “Tidak mengerti?”
Yanti : “Itulah yang menyedihkan. Kita mengalami sesuatu, tetapi kita tak mengerti bagaimana memahami pengalaman itu sendiri”.
Mirna : (Tersenyum).
Yanti : “Kau tersenyum mengejekku?”
Mirna : “Kau tidak tahu, Yanti, bahwa kau sebenarnya gelisah bukan ? Aku juga gelisah. Nah...”
Yanti : “Benar. Kupikir, kita ini mau apa? Setelah sekolah ini, lalu kiata akan melanjutkan sekolah lagi. Barangkali hanya satu atau dua tahun. Paling banter tiga tahun sudah itu kita dipinang orang. Kita menjadi seorang ibu...Apa artinya semua pelajaran yang kita terima selama ini”.
Mirna : “Nah...” (Tersenyum).
Yanti : “Kita mempersiapkan diri kita untuk menjadi sesuatu yang tidak ada artinya.”
Mirna : “Maksudmu?”
Yanti : “Menjadi istri dan ibu. Apa artinya tiu ? Apa pula hubungannya dengan sekolah kita tempuh selama ini?”
Mirna : “Makanya kita gelisah karena sebenarnya kita tak pernah mengerti nasib kita yang akan datang”.
Yanti : “Dan persoalan yang kita hadapi itu, tidak bisa dipecahkan dengan ilmu pengetahuan yang kita terima di sekolah sekarang ini”.
Mirna : “Kau mau?” (Mengeluarkan sebatang rokok).
Yanti : “Apa ini?”
Mirna : “Bawalah kalau kau mau. Kau akan memperoleh ketenangan”.
Yanti : (Menerima lalu meletakkannya di atas meja).
Mirna : “Ambillah simpan di tasmu. Jangan sampai kelihatan guru”.
Yanti : (Memandang dengan penuh keheranan).
Mirna : “Kalau kau tak mau, biarlah ku simpan sendiri. Ini cukup mahal. Kau bisa datang ke rumahku kalau kau mau. Nanti Anto, Yusman, dan Joko akan datang untuk menjemput aku pergi...”
Yanti : (Berdiri) “Pergi ke mana?”
Mirna : “Pergi ke suatu tempat pokoknya... sip. Deh”.
Yanti : “Aku mendengar bahwa kesenanganmu pergi ke tempat-tempat itu. Itu...”
Mirna : “Berdosa?”
Yanti : “Bukan”
Mirna : “Maksiat”.
Yanti : “Bukan”.
Mirna : “Itulah dunia muda masa kini”.
Yanti : “Barangkali benar”.
Mirna : “Nah...akhirnya kau menerima juga, toh.”
Yanti : “Tapi mengapa harus begitu? Itu berbahaya bagi kesehatan. Kita masih sangat muda. Bayangkan kalau masa remaja kita habiskan dengan cara-cara itu, nanti tua kita dapat apa?Lagipula, tujuanmu mencari kebebasan, kok, dengan menempuh jalan itu ? Apakah sebenarnya kau telah membuat dirimu diperbudak kembali oleh kebiasaanmu itu?”
Mirna : “Aku tak mengerti omonganmu, Yanti. Kalau kau tak mau, tak usah bertele-tele menasehatiku”.
Yanti : (Diam).
Mirna : “Baiklah. Kau pulang nggak? Itu Husni dan Surti sudah menunggumu di luar. Kalau nggak pulang, aku pulang duluan...dan kalau kau mau, ku tunggu nanti sore di rumahku”.
Yanti : “Kenapa kau takut ketahuan guru kita ?”
Mirna : “Karena mereka akan marah. Merampas dan menyetrap kita”.
Yanti : “Kau tahu sebabnya?”
Mirna : “Nggak. Mereka kolot seperti orang tua kita saja”.
Yanti : “Itu berbahaya. Obat bius dilarang diedarkan secara bebas”.
Mirna : “Tapi mereka toh tak sanggup menyelesaikan kegelisahanku. Sedikit-sedikit bilang dosa, maksiat, porno, huhh !”
Husni : “Astaga. Ngapain, nih, kalian di sini? Ku tunggu di luar sampai lama banget”.
Mirna : “Mau nolong Yanti. Akibatnya malah dapat kuliah”.
Surti : “Pantesan. Habis cita-cita Yanti mau jadi dosen”.
Yanti : “Aku memperingati Mirna bahaya main-main rokok begituan.”
Surti : “Sudahlah. Mari kita pulang saja. Ini sudah jam setengah dua. Sebentar lagi kelas ini dipakai anak–anak sore.”
Yanti : “Pulanglah dulu kalau kalian mau pulang. Aku butuh belajar...”
Surti : “Ahh...kau menunggu pak Lukas, kan !” (Surti, Mirna, Husni, tertawa bersama).
Yanti : “Pergi!”
Mirna : “Sekolah ini memang konyol”.
Yanti : “Sekolah ini tidak salah. Tapi kita yang salah. Kita terlalu menuntut banyak”.
Husni : “Kita membutuhkan sesuatu di sekolah ini kalau sesuatu yang kita butuhkan tidak kita temukan di rumah”.
Yanti : “Ya, benar”.
Husni : “Sukar sekali”.
Yanti : “Sedih bukan.”
Mirna : “Agar kita betah di sekolah, tapi apa itu mungkin....?”
Yanti : “Sedih sekali”.
Mirna : (Berjalan mau mengambil rokok yang sudah dibuang)
Yanti : “Biarkan di situ !”
Mirna : “Kalu ketahuan?”
Yanti : “Biar guru-guru kita mengerti,, inilah dunia kita yang sebenarnya”.
Mirna : “Tapi aku akan dimarahi lagi”.
Yanti : “Akulah yang akan bilang bahwa aku yang membawa rokok itu.”
Mirna : “Yanti !”
Yanti : “Aku mau tah sesudah guru marah, lalu berbuat apa pada kita”.
Husni : “Aku akan ikut dimarahi, Yanti. Ayo, ambil !”.
Yanti : “Jangan !”
Surti : “Kau jangan aneh-aneh, Yanti. Kalau kita dikelurkan bagaimana...?
Yanti : “Percayalah. Guru-guru kita perlu mengerti apa yang kita pikirkan, kita butuhkan, kita gelisahkan setiap hari....agar mereka tidak sekedar menempa kita dengan rumus-rumus yang harus kita hafal setiap hari...” (Yanti pergi yang lain menatap terus mengikuti perginya).
Mirna : “Yanti.., Yanti tunggu...”
SELESAI
Karya : Febriani
Cerpen "Temanku Malang"
Pagi yang indah sekali di pelataran Benteng Kuto Besak. Matahari bersinar cerah menimpa sungai musi yang terus mengalir. Jembatan Ampera berdiri dengan kokohnya menampakan kegagahan kota Palembang. Langit sangat bersih, biru cerah, menjadi latar belakang yang menonjolkan kegagahan Jembatan Ampera.
Keindahan alam pagi itu saya potret dari beberapa sudut. Selesai memotret, saya menoleh berkeliling dan menangkap sesosok tubuh berjalan ke arah saya. Segera saja saya ingin memotretnya. Cepat-cepat saya bidikan lensa ke arahnya. Melalui lensa saya melihat seorang wanita berpakaian sangat sederhana menggendong sebuah baskom dengan sehelai kain yang sudah pudar warnanya. Tidak terlihat kesegaran dan kecerahan diwajahnya yang masih muda. Ia bahkan tampak tidak peduli, memandang ke depan dengan pandangan kosong. Dua kali saya berhasil memotretnya, tetapi dia tampaknya tidak menyadari apa yang telah saya lakukan. Tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat keras dari arah belakangnya. Sebuah mobil angkot jurusan Plaju-Ampera berjalan kencang. Dia kelihatan tersentak, segera menepi, dan bersamaan dengan itu dia mula melihat saya.
“Pempek, mbak”, katanya sambil mengangkat baskom dari kain gendongnya. Di balik daun pisang penutup baskom itu kelihatan bermacam-macam pempek yang dijualnya. Saya langsung saja menikmati pempek itu. Pada suatu saat saya merasa wanita itu memperhatikan saya. Saya menengok ke arahnya. betul saja. Dia menatap saya.
“Dita, ya ?” katanya sambil menunjuk ke arah saya dengan ibu jarinya. Saya kaget. Dari mana dia tahu nama kecil saya ? siapa sih dia ? rasanya saya tidak kenal siapa pun di sini.
“Ayolah,Dita, seharusnya kamu tidak melupakan saya”, sambungnya dengan suara lirih memelas sambil menundukan kepalanya. Saya amati wajahnya dalam-dalam. Saya berusaha mengingat-ingat. Pelan-pelan terasa bahwa saya pernah mengenalnya. Tapi, siapa ?
“Kamu lupa sama saya, Tari, Utariah,” lanjutnya, dengan wajah yang betul-betul menghancurkan perasaan. Saya tidak dapat berkata-kata. Rasanya seperti ingin menangis. Dia, Utariah teman sekelas saya di SD. Seingat saya, dia sangat pintar. Dalam persaingan pelajaran dia selalu dapat mengalahkan saya. Banyak orang yang memuji otaknya yang cemerlang. Tapi, apa yang terjadi dengannya ?
“Mikirin apa ?” tanyanya tiba-tiba.
“Anu...”, kata saya gugup, terbata-taba. “Lama sekali kita berpisah, ya ? terakhir waktu kelas enam. Sesudah itu saya pindah ke Jakarta. Saya tidak tahu harus mengatakan apa. Rasanya saya ingin sekali dia yang terus berbicara, menceritakan apa saja yang terjadi pada dirinya. Tapi maukah dia bercerita ? bagaimana cara terbaik memancingnya, tanpa dia merasa tersinggung ?
Lama juga kami terdiam. Kelihatannya dia tidak bersedia bercerita. Seetelah menekan perasaan kuat-kuat, akhirnya saya memecahkan kesunyian dengan memulai bercerita tentang diri saya. Saya katakan bahwa saya sedang menunggu teman-teman yang sedang mengunjungi museum.
“Kamu kelihatannya senang, ya”, katanya tiba-tiba memotongn cerita saya. “Ada kesempatan meneruskan sekolah, punya banyak teman, punya banyak kesempatan untuk jalan-jalan menikmati hidup”. Kami terdiam lagi sebentar, kemudian dia menarik napas dalam-dalam. “Kamu ingat ayah saya tukang pos”, lanjutnya. “Ayah meninggal waktu saya kelas dua SMP. Kami harus berjuang keras untuk hidup. Mula-mula kami jual rumah untuk modal. Kami pindah ke sini. Kami mencoba membuka warung. Hasilnya pas-pasan saja sementara kebutuhan semakin besar. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencoba mencari tambahan. Itu baru kira-kira enam bulan sesudah ayah meninggal”.
Saya terperangah. Gila, pikir saya. Ini benar-benar kenyataan yang sangat buruk yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi.
“Sulit sekali bagi saya mencari pekerjaan karena saya tidak mempunyai ijazah apa-apa. Saya pernah menjadi pelayan restoran, tapi ongkos pulang pergi ke sana terlalu besar.saya terpaksa berhenti bekerja dan berusaha keras membantu usaha ibu. Tapi, tidak banyak hasilnya. Saya berusaha keras keluar dari kesulitan itu. Inilah akhirnya”, katanya sambil mengerakkan kepalanya ke arah baskom pempek.
“Adik-adikmu bagaimana ?” tanya saya ssudah terdiam beberapa saat.
“Alhamdulillah, sampai sekarang mereka masih bersekolah. Tapi, mereka semua juga ikut mencari tambahan.
Kami terdiam lagi beberapa saat sebelum dia melanjutkan, “Mudah-mudahan saya dapat menemukan jalan lain yang lebih baik buat kami”.
Kalau saja saya banyak uang, tentu saya dapat membantnya. Saya sedih sekali karena tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, saya lebih banyak terdiam dan memperhatikan dia yang pernah menjadi teman karib saya. Tidak dapa saya bayangkan apa yang sedang dipikirkannya saat itu.
“Ini hari Sabtu”, tiba-tiba Tari memecah kesunyian di antara kami. “Nanti sebentar lagi pasti banyak orang yang datang ke sini. Mudah-mudahan saja saya dapat banyak duit”, sambungnya mencoba berseloroh. Apakah dia dapat membaca pikiran saya ?
Dia membereskan baskomnya sebentar, kemudian bersiap berangkat. “Saya harus pergi, Dita. Sampai ketemu lagi”, katanya.
“Hei, tunggu, Tari. Saya belum bayar,” kata saya sambil menyerahkan uang sebanyak Rp.50.000,00 semua yang ada di saku saya. Uang jajan diperjalanan pulang nanti, itu soal nanti saja, pikir saya, “Ambillah, Tari, barangkali bisa sedikit membantu”. Kami berpandangan. Saya tidak tahu apa yang ada dipikirannya.
“Terimah kasih banyak, Dita,” katanya.
Sambil menjabat tangannya, saya berkata, “Salam untuk ibu,ya. Nanti malam barangkali saya kembali ke Jakarta, jadi sampai ketemu lagi”.
Dia mengangguk sambil mencoba tersenyum. Kemudian mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Saya terus memandanginya, sampai sosok tubuhnya hilang di pengkolan. Saya masih belum percaya bahwa inilah hidup.
Matahari bersinar terik ketika saya kembali ke penginapan. Jembatan Ampera mulai menghilang tertutup kabut. Kota Palembang memang indah,tetapi nasib Utariah terus membayangi perasaan saya.
SELESAI
Karya : Febriani
Keindahan alam pagi itu saya potret dari beberapa sudut. Selesai memotret, saya menoleh berkeliling dan menangkap sesosok tubuh berjalan ke arah saya. Segera saja saya ingin memotretnya. Cepat-cepat saya bidikan lensa ke arahnya. Melalui lensa saya melihat seorang wanita berpakaian sangat sederhana menggendong sebuah baskom dengan sehelai kain yang sudah pudar warnanya. Tidak terlihat kesegaran dan kecerahan diwajahnya yang masih muda. Ia bahkan tampak tidak peduli, memandang ke depan dengan pandangan kosong. Dua kali saya berhasil memotretnya, tetapi dia tampaknya tidak menyadari apa yang telah saya lakukan. Tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat keras dari arah belakangnya. Sebuah mobil angkot jurusan Plaju-Ampera berjalan kencang. Dia kelihatan tersentak, segera menepi, dan bersamaan dengan itu dia mula melihat saya.
“Pempek, mbak”, katanya sambil mengangkat baskom dari kain gendongnya. Di balik daun pisang penutup baskom itu kelihatan bermacam-macam pempek yang dijualnya. Saya langsung saja menikmati pempek itu. Pada suatu saat saya merasa wanita itu memperhatikan saya. Saya menengok ke arahnya. betul saja. Dia menatap saya.
“Dita, ya ?” katanya sambil menunjuk ke arah saya dengan ibu jarinya. Saya kaget. Dari mana dia tahu nama kecil saya ? siapa sih dia ? rasanya saya tidak kenal siapa pun di sini.
“Ayolah,Dita, seharusnya kamu tidak melupakan saya”, sambungnya dengan suara lirih memelas sambil menundukan kepalanya. Saya amati wajahnya dalam-dalam. Saya berusaha mengingat-ingat. Pelan-pelan terasa bahwa saya pernah mengenalnya. Tapi, siapa ?
“Kamu lupa sama saya, Tari, Utariah,” lanjutnya, dengan wajah yang betul-betul menghancurkan perasaan. Saya tidak dapat berkata-kata. Rasanya seperti ingin menangis. Dia, Utariah teman sekelas saya di SD. Seingat saya, dia sangat pintar. Dalam persaingan pelajaran dia selalu dapat mengalahkan saya. Banyak orang yang memuji otaknya yang cemerlang. Tapi, apa yang terjadi dengannya ?
“Mikirin apa ?” tanyanya tiba-tiba.
“Anu...”, kata saya gugup, terbata-taba. “Lama sekali kita berpisah, ya ? terakhir waktu kelas enam. Sesudah itu saya pindah ke Jakarta. Saya tidak tahu harus mengatakan apa. Rasanya saya ingin sekali dia yang terus berbicara, menceritakan apa saja yang terjadi pada dirinya. Tapi maukah dia bercerita ? bagaimana cara terbaik memancingnya, tanpa dia merasa tersinggung ?
Lama juga kami terdiam. Kelihatannya dia tidak bersedia bercerita. Seetelah menekan perasaan kuat-kuat, akhirnya saya memecahkan kesunyian dengan memulai bercerita tentang diri saya. Saya katakan bahwa saya sedang menunggu teman-teman yang sedang mengunjungi museum.
“Kamu kelihatannya senang, ya”, katanya tiba-tiba memotongn cerita saya. “Ada kesempatan meneruskan sekolah, punya banyak teman, punya banyak kesempatan untuk jalan-jalan menikmati hidup”. Kami terdiam lagi sebentar, kemudian dia menarik napas dalam-dalam. “Kamu ingat ayah saya tukang pos”, lanjutnya. “Ayah meninggal waktu saya kelas dua SMP. Kami harus berjuang keras untuk hidup. Mula-mula kami jual rumah untuk modal. Kami pindah ke sini. Kami mencoba membuka warung. Hasilnya pas-pasan saja sementara kebutuhan semakin besar. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencoba mencari tambahan. Itu baru kira-kira enam bulan sesudah ayah meninggal”.
Saya terperangah. Gila, pikir saya. Ini benar-benar kenyataan yang sangat buruk yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi.
“Sulit sekali bagi saya mencari pekerjaan karena saya tidak mempunyai ijazah apa-apa. Saya pernah menjadi pelayan restoran, tapi ongkos pulang pergi ke sana terlalu besar.saya terpaksa berhenti bekerja dan berusaha keras membantu usaha ibu. Tapi, tidak banyak hasilnya. Saya berusaha keras keluar dari kesulitan itu. Inilah akhirnya”, katanya sambil mengerakkan kepalanya ke arah baskom pempek.
“Adik-adikmu bagaimana ?” tanya saya ssudah terdiam beberapa saat.
“Alhamdulillah, sampai sekarang mereka masih bersekolah. Tapi, mereka semua juga ikut mencari tambahan.
Kami terdiam lagi beberapa saat sebelum dia melanjutkan, “Mudah-mudahan saya dapat menemukan jalan lain yang lebih baik buat kami”.
Kalau saja saya banyak uang, tentu saya dapat membantnya. Saya sedih sekali karena tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, saya lebih banyak terdiam dan memperhatikan dia yang pernah menjadi teman karib saya. Tidak dapa saya bayangkan apa yang sedang dipikirkannya saat itu.
“Ini hari Sabtu”, tiba-tiba Tari memecah kesunyian di antara kami. “Nanti sebentar lagi pasti banyak orang yang datang ke sini. Mudah-mudahan saja saya dapat banyak duit”, sambungnya mencoba berseloroh. Apakah dia dapat membaca pikiran saya ?
Dia membereskan baskomnya sebentar, kemudian bersiap berangkat. “Saya harus pergi, Dita. Sampai ketemu lagi”, katanya.
“Hei, tunggu, Tari. Saya belum bayar,” kata saya sambil menyerahkan uang sebanyak Rp.50.000,00 semua yang ada di saku saya. Uang jajan diperjalanan pulang nanti, itu soal nanti saja, pikir saya, “Ambillah, Tari, barangkali bisa sedikit membantu”. Kami berpandangan. Saya tidak tahu apa yang ada dipikirannya.
“Terimah kasih banyak, Dita,” katanya.
Sambil menjabat tangannya, saya berkata, “Salam untuk ibu,ya. Nanti malam barangkali saya kembali ke Jakarta, jadi sampai ketemu lagi”.
Dia mengangguk sambil mencoba tersenyum. Kemudian mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Saya terus memandanginya, sampai sosok tubuhnya hilang di pengkolan. Saya masih belum percaya bahwa inilah hidup.
Matahari bersinar terik ketika saya kembali ke penginapan. Jembatan Ampera mulai menghilang tertutup kabut. Kota Palembang memang indah,tetapi nasib Utariah terus membayangi perasaan saya.
SELESAI
Karya : Febriani
Cerpen "Surat Nurani"
Aku gemetar saat menerima surat dari ibuku. Aku heran, bagaimana ibuku bisa tahu alamatku ? aku merasa tidak pernah memberitahu kepada siapa pun. Seingat ku, tak dan yang tahu jika aku tinggal di sebuah desa di pesisir pantai yang jauh dari keramaian. Sebuah daerah yang tidak tertera dalam peta. Para penduduk asli hidup dari menangkap ikan di laut. Hampir seluruh penduduk di sana bekerja sebagai nelayan. Ikan tangkapan mereka tak menjanjikan kekenyangan. Bahkan, banyak yang pulang dengan tangan hampa.
Aku masih tertegun. Surat dari ibuku belum kubuka. Berbagai perasaan teraduk dalam rongga dadaku. Aku masih penasaran dengan kedatangan surat itu. Lembaga Swadaya Masyarakat yang menugaskan ku mengabdikan diri di desa ini telah berjanji untuk tidak membocorkan alamatku. “Apakah mereka berkhianat ?” pikirku. Ketika memutuskan untuk berangkat, aku memang sengaja tidak memberitahu keluargaku. Alasannya sederhana, kalau aku pamit pasti keluargaku tak mengizinkan. Dan akhirnya, dorongan kemanusiaan lebih berbicara daripada pertimbangan keluarga.
Lamunanku berantakan oleh suara anak-anak didikku yanng ribut. Meskipun jumlah mereka hanya sekitar dua puluh anak, suara mereka terasa sangat dahsyat menghentak-hentak gendang telinga. “Apakah pekerjaan kalian sudah selesai ?” ujarku dengan nada yang agak keras. Mendadak kelas menjadi hening.
“Coba kamu maju !” aku menunjuk salah seorang anak yang duduk di bagian belakang. Mirwan anak yang ku tunjuk itu pelan-pelan maju ke depan.
“Coba baca karanganmu !” Mirwan diam. Aku mengulangi perintahku.
“Saya belum membuat, Bu...” jawab Mirwan setengah takut.
“Kamu ini bagaimana, Cuma bikin karangan soal keluargamu saja tidak bisa. Kamu kenal bapakmu, kan ? kenal ibumu, kan ? kenal saudara-saudaramu, kan ?”
Mirwan menggeleng. Aku heran, bahkan setengah jengkel.
“Saya tidak pernah tahu siapa bapak saya, ibu saya, saudara-saudara saya...”, seluruh isi kelas tertawa. Mirwan mendadak menangis.
“Kamu sekarang tinggal bersama siapa ?”
“Nenek...”, Mirwan mengusap air matanya. Kelas kembali dipenuhi tawa. Aku menenagkan anak-anak.
“Lantas di mana bapakmu ? ibumu ? saudara-saudaramu ?” aku mencoba mendesak, namun Mirwan tetap menggeleng.
“Kamu tidak harus mengumpulkan karanganmu sekarang. Besok pagi, ibu tunggu, kamu harus membuat, ya, semampu kamu”, ujarku menenangkan Mirwan.
Di tempat tinggalku yang lebih layak disebut barak, aku membuka surat dengan perasaan ringan. Namun, hatiku bergetar ketika menatap tulisan tangan yang rapi, halus dan teratur dari ibuku. Terbayang wajah ibuku dengan tatapan mata tua yang teduh dan menentramkan. Namun, sekejap kemudian aku terperanjat dengan isi surat yang sangat pendek. Murni, ibu menunggumu untuk pulang. Ibu sangat mengkhawatirkan keselamatanmu. Dalam layar benakku terbayang wajah cemas ibu, tetesan air matanya yang menganak sungai di parit-parit pipinya. Sekejap kemudian, muncul wajah bapakku yang sakit-sakitan, wajah bapak dan ibu yang merindukan kehadiranku.
Aku kembali mengenag ketika pertama kalinya menjejakkan kaki di desa itu. Di bawah putaran baling-baling helikopter yang membawaku ke desa terpencil ini. Aku di songsong puluhan anak. Mereka mengelu-elukan kedatanganku. Ada yang menyanyi dan ada yang menari. Sambutab hangat itu membuat mataku barkaca-kaca. Orang-orang tua menyambut hangat. Aku pun merasa bangga, meskipun sambutan itu tanpa kalungan bunga.
Surat yang ada di genggamanku membuat pita ingatanku terputus seketika. Yang terngiang kemudian adalah ucapan ibuku yang begitu singkat dan pendek. Kata “pulang” kembali terngiang. Malam-malam di barak pengungsian ini menjadi sangat panjang dan memilukan. Waktu terasa berhenti, bahkan mati. Hari memang terus berganti, tapi tidak dalam soal penderitaan. Penderitaan selalu menjadi raksasa yang kuat mencengkram leher siapa saja.
“Kenapa begitu banyak orang harus dilenyapkan hanya karena punya perbedaan ? Apakah tuhan memang sengaja menciptakan perbedaan agar manusia saling berbunuhan ? uhh...kehidupan yang diasuh oeh prasangka...”, keluhku dalam hati.
Satu persatu aku pun mmemeriksa hasil karangan murid-muridku. Aku mencium aroma anyir darah dalam kalimat-kalimat mereka. Mendadak aku terhenyak membaca karangan Mirwan. Tulisan itu lebih pantas disebur surat.
Ibu, maaf aku tidak bisa menuliskan karangan yang seperti ibi harapkan, aku tak lagi punya keluarga. Ayahku mati entah ditembak oleh siapa, ibuku hilang entah diculik oleh siapa, saudara-saudaraku.....ah, maaf aku tak mampu melanjutkan.
Aku ingin mengungkapkan seluruh pengalaman ini dalam surat untuk ibuku. Namun, mendadak niat itu aku batalkan. Aku tak ingin menambah kesedihan ibuku, bapakku, dan saudara-saudaraku. Dalam surat itu, akhirnya aku hanya menulis, ibu, tapi, aku pasti pulang entah kapan.
SELESAI
Karya : Febriani
Aku masih tertegun. Surat dari ibuku belum kubuka. Berbagai perasaan teraduk dalam rongga dadaku. Aku masih penasaran dengan kedatangan surat itu. Lembaga Swadaya Masyarakat yang menugaskan ku mengabdikan diri di desa ini telah berjanji untuk tidak membocorkan alamatku. “Apakah mereka berkhianat ?” pikirku. Ketika memutuskan untuk berangkat, aku memang sengaja tidak memberitahu keluargaku. Alasannya sederhana, kalau aku pamit pasti keluargaku tak mengizinkan. Dan akhirnya, dorongan kemanusiaan lebih berbicara daripada pertimbangan keluarga.
Lamunanku berantakan oleh suara anak-anak didikku yanng ribut. Meskipun jumlah mereka hanya sekitar dua puluh anak, suara mereka terasa sangat dahsyat menghentak-hentak gendang telinga. “Apakah pekerjaan kalian sudah selesai ?” ujarku dengan nada yang agak keras. Mendadak kelas menjadi hening.
“Coba kamu maju !” aku menunjuk salah seorang anak yang duduk di bagian belakang. Mirwan anak yang ku tunjuk itu pelan-pelan maju ke depan.
“Coba baca karanganmu !” Mirwan diam. Aku mengulangi perintahku.
“Saya belum membuat, Bu...” jawab Mirwan setengah takut.
“Kamu ini bagaimana, Cuma bikin karangan soal keluargamu saja tidak bisa. Kamu kenal bapakmu, kan ? kenal ibumu, kan ? kenal saudara-saudaramu, kan ?”
Mirwan menggeleng. Aku heran, bahkan setengah jengkel.
“Saya tidak pernah tahu siapa bapak saya, ibu saya, saudara-saudara saya...”, seluruh isi kelas tertawa. Mirwan mendadak menangis.
“Kamu sekarang tinggal bersama siapa ?”
“Nenek...”, Mirwan mengusap air matanya. Kelas kembali dipenuhi tawa. Aku menenagkan anak-anak.
“Lantas di mana bapakmu ? ibumu ? saudara-saudaramu ?” aku mencoba mendesak, namun Mirwan tetap menggeleng.
“Kamu tidak harus mengumpulkan karanganmu sekarang. Besok pagi, ibu tunggu, kamu harus membuat, ya, semampu kamu”, ujarku menenangkan Mirwan.
Di tempat tinggalku yang lebih layak disebut barak, aku membuka surat dengan perasaan ringan. Namun, hatiku bergetar ketika menatap tulisan tangan yang rapi, halus dan teratur dari ibuku. Terbayang wajah ibuku dengan tatapan mata tua yang teduh dan menentramkan. Namun, sekejap kemudian aku terperanjat dengan isi surat yang sangat pendek. Murni, ibu menunggumu untuk pulang. Ibu sangat mengkhawatirkan keselamatanmu. Dalam layar benakku terbayang wajah cemas ibu, tetesan air matanya yang menganak sungai di parit-parit pipinya. Sekejap kemudian, muncul wajah bapakku yang sakit-sakitan, wajah bapak dan ibu yang merindukan kehadiranku.
Aku kembali mengenag ketika pertama kalinya menjejakkan kaki di desa itu. Di bawah putaran baling-baling helikopter yang membawaku ke desa terpencil ini. Aku di songsong puluhan anak. Mereka mengelu-elukan kedatanganku. Ada yang menyanyi dan ada yang menari. Sambutab hangat itu membuat mataku barkaca-kaca. Orang-orang tua menyambut hangat. Aku pun merasa bangga, meskipun sambutan itu tanpa kalungan bunga.
Surat yang ada di genggamanku membuat pita ingatanku terputus seketika. Yang terngiang kemudian adalah ucapan ibuku yang begitu singkat dan pendek. Kata “pulang” kembali terngiang. Malam-malam di barak pengungsian ini menjadi sangat panjang dan memilukan. Waktu terasa berhenti, bahkan mati. Hari memang terus berganti, tapi tidak dalam soal penderitaan. Penderitaan selalu menjadi raksasa yang kuat mencengkram leher siapa saja.
“Kenapa begitu banyak orang harus dilenyapkan hanya karena punya perbedaan ? Apakah tuhan memang sengaja menciptakan perbedaan agar manusia saling berbunuhan ? uhh...kehidupan yang diasuh oeh prasangka...”, keluhku dalam hati.
Satu persatu aku pun mmemeriksa hasil karangan murid-muridku. Aku mencium aroma anyir darah dalam kalimat-kalimat mereka. Mendadak aku terhenyak membaca karangan Mirwan. Tulisan itu lebih pantas disebur surat.
Ibu, maaf aku tidak bisa menuliskan karangan yang seperti ibi harapkan, aku tak lagi punya keluarga. Ayahku mati entah ditembak oleh siapa, ibuku hilang entah diculik oleh siapa, saudara-saudaraku.....ah, maaf aku tak mampu melanjutkan.
Aku ingin mengungkapkan seluruh pengalaman ini dalam surat untuk ibuku. Namun, mendadak niat itu aku batalkan. Aku tak ingin menambah kesedihan ibuku, bapakku, dan saudara-saudaraku. Dalam surat itu, akhirnya aku hanya menulis, ibu, tapi, aku pasti pulang entah kapan.
SELESAI
Karya : Febriani
Cerpen "Kopi Darat Buaya Darat"
Terik siang di hari Sabtu, pukul satu.
“Hei...! Ema, ya ?”
“Betul....kak Agus kan ?
Agus mengangguk tersenyum. Tangan kanannya bergerak maju. Ema membalas. Keduanya berjabat tangan.
“Ke mana kita ?”
“Terserah kak Agus, deh...”
“Oke... kita makan pizza aja, ya ? Ema belum makan siang, kan ?”
Ema menjawab dengan sesungging senyum. Keduanya lalu berjalan. Menelusuri setiap outlet yang ada di PIM.
Ini namanya kejatuhan duren. Sungguh di luar dugaan Agus. Minggu lalu ia sempat ikut-ikutan chatting bareng Bogi, kawan sekelasnya di kampus, di sebuah warung internet. Tak disangka seorang gadis dengan nama akun Jelita menghampirinya lewat obrolan di Facebook. Agus terlena di depan monitor komputer. Mereka membuat janji untuk bertemu dan hari ini janji itu pun terlaksana. Janji yang telah dipersiapkan dengan keringat dan penuh kecemasan. Karena sebenarnya Ema menolak diajak jalan. Karena Agus memohon dengan amat sangat, maka terlaksanalah rencana ini.
Sedikit melongok, Agus memperhatikan outlet Pizza. Padat oleh orang yag sedang memperhatikan mengunyah makanan Italia itu. Semuanya berwajah asing bearti semua aman terkendali. Tak ada yang dikenalnya ataupun mengenalnya.
Ya, Agus tidak mau keberadaannya diketahui di tempat ini, apalagi ia bersama seorang wanita cantik. Bisa bahaya kalo sampe tindakannya ini bocor. Bukan apa-apa, di kalangan tetangga, Agus dikenal sebagai jomblo sejati. Selain itu, sehari-hari ia adalah warga yang rada-rada miring, tapi rajin. Makanya, banyak yang suka dengannya dari pak RT sampai ibu-ibu menyukainya.
Setelah mendapat tempat di sudut ruang, Agus kembali bersikap awas.
“Sepertinya kak Agus gelisah....”
“Oh, nggak. Aku cuma lihat-lihat kalau aja teman disini”.
“Mau diajak juga?”
“Iyalah...”
“Kak Agus orangnya baik hati, ya”
Wajah Agus memerah. Ia menundukan kepalanya berusaha menyembunyikan kebohongannya.
“Sebenarnya kak Agus pekerjaannya apa?” Ema menyambung percakapan.
“Mmmmhh..,apa, ya ? Wiraswasta gitu...” jawab Agus.
“Oh, wiraswasta. Bidangnya ?”
“Jasa transportasi”
“Wah, hebat dong ! Pasti perusahaan kak Agus maju, ya. Itu milik sendiri ?”
Agus tersedak. Ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu sungguh menkhawatirkannya.
“Nggak, juga. Masih kecil-kecilan”.
“Ah, kak Agus suka merendah. Ema suka banget dengan sifat seperti kakak.”
Agus melayang. Sungguh, kalimat terakhir tadi seperti membuat tubuhnya melayang tinggi ke angkasa. Ada semacam kebanggaan yang begitu memuncak ketika pujian tersebut terucap dari mulut Ema.
“Kita ke tempat lain yuk ! Ema sudah kenyang, kan ?”
Keduanya berjalan keluar. Lengan kanan Agus memeluk erat pinggul Ema.
Keesokan harinya pada hari Minggu tepatnya pukul empat sore, Agus bertemu dengan seorang gadis yang bernama Lena yang juga kenalan melalui obrolan di facebook.
“Hei, mas Agus, kan ?”
“Kok, kamu tahu ?”
“Iyalah, kan janjian di sini. Cuma satu orang kan...”
“Eh, iyaaa...”, Agus menunduk menyembunyikan wajah bloonnya.
“Sekarang kita ke mana mas agus ?”
“Terserah kamu, deh”.
Mereka bertemu di toko buku Gramedia. Mereka menyusuri trotoar di jalan tersebut. Matahari sore seakan tersenyum melihat dua sejoli berbunga-bunga. Matahari menyelimuti mereka dengan sinar emas yang terindah.
Tepat di Senin pagi yang kebetulan diliputi suasana mendung seorang teman Agus menghampirinya.
“Halo, kawan, gimana ? Bisa hari ini, kan ?”
“Maaf, Din. Aku belum punya duit”.
Wajah Agus pucat. Ia memperbaiki posisi duduknya.
“Wah, gimana, sih kamu ini ? Apa kamu lupa ?”
“Aku ingat, Din. Sangat ingat tapi....”
Udin langsung memotong ucapan Agus. “Ah, begini aja deh. Aku kasih waktu sampai besok sore, tapi janji harus dilunasi”.
“Aku minta waktu seminggu, Din. Tolonggg..”, Agus memelas.
“Hah! Seminggu. Jangan bercanda, Gus”.
“Aku ngak bercanda dompetku benar-benar tipis”.
Udin memandang tajam ke arah Agus. Ingin betul rasanya ia menelan hidup-hidup kawannya itu. Kalo saja dia tidak ingat Agus adalah sahabatnya mungkin dari tadi sebuah bogem sudah mendarat di pipinya. Namun, kerut wajah Udin tiba-tiba mengendur. Dia lalu tertawa terbahak-bahak. Lucu melihat wajah Agus yang mulai tidak terbentuk. Rasa iba pun menggelayut.
“Hey, kawan ! Kau apakan duit yang aku pinjamkan itu ?”
“Mentraktir kawan”. Jawab Agus gelagapan.
“Traktir siapa ?”
“Teman chatting”.
“Hah ! teman chatting. Pantesan motor ojek bututmmu itu belum bisa jalan. Bukannya duit dipakai untuk servis !”
Suasana menjadi senyap. Mereka saling bergantian memandang. Tidak lama kemudian senyum Agus merekah. Udin menepuk pundaknya, tapi belum sempat keduanya berpelukan, sebuah teriakn keras seakan mengaum di balik pagar.
“Heh, Agus ! Kau ada di mana ? Sewa ojek minggu lalu belum kau setor.”
Agus dan Udin lalu lari terbirit-birit.
SELESAI
Karya : Febriani
“Hei...! Ema, ya ?”
“Betul....kak Agus kan ?
Agus mengangguk tersenyum. Tangan kanannya bergerak maju. Ema membalas. Keduanya berjabat tangan.
“Ke mana kita ?”
“Terserah kak Agus, deh...”
“Oke... kita makan pizza aja, ya ? Ema belum makan siang, kan ?”
Ema menjawab dengan sesungging senyum. Keduanya lalu berjalan. Menelusuri setiap outlet yang ada di PIM.
Ini namanya kejatuhan duren. Sungguh di luar dugaan Agus. Minggu lalu ia sempat ikut-ikutan chatting bareng Bogi, kawan sekelasnya di kampus, di sebuah warung internet. Tak disangka seorang gadis dengan nama akun Jelita menghampirinya lewat obrolan di Facebook. Agus terlena di depan monitor komputer. Mereka membuat janji untuk bertemu dan hari ini janji itu pun terlaksana. Janji yang telah dipersiapkan dengan keringat dan penuh kecemasan. Karena sebenarnya Ema menolak diajak jalan. Karena Agus memohon dengan amat sangat, maka terlaksanalah rencana ini.
Sedikit melongok, Agus memperhatikan outlet Pizza. Padat oleh orang yag sedang memperhatikan mengunyah makanan Italia itu. Semuanya berwajah asing bearti semua aman terkendali. Tak ada yang dikenalnya ataupun mengenalnya.
Ya, Agus tidak mau keberadaannya diketahui di tempat ini, apalagi ia bersama seorang wanita cantik. Bisa bahaya kalo sampe tindakannya ini bocor. Bukan apa-apa, di kalangan tetangga, Agus dikenal sebagai jomblo sejati. Selain itu, sehari-hari ia adalah warga yang rada-rada miring, tapi rajin. Makanya, banyak yang suka dengannya dari pak RT sampai ibu-ibu menyukainya.
Setelah mendapat tempat di sudut ruang, Agus kembali bersikap awas.
“Sepertinya kak Agus gelisah....”
“Oh, nggak. Aku cuma lihat-lihat kalau aja teman disini”.
“Mau diajak juga?”
“Iyalah...”
“Kak Agus orangnya baik hati, ya”
Wajah Agus memerah. Ia menundukan kepalanya berusaha menyembunyikan kebohongannya.
“Sebenarnya kak Agus pekerjaannya apa?” Ema menyambung percakapan.
“Mmmmhh..,apa, ya ? Wiraswasta gitu...” jawab Agus.
“Oh, wiraswasta. Bidangnya ?”
“Jasa transportasi”
“Wah, hebat dong ! Pasti perusahaan kak Agus maju, ya. Itu milik sendiri ?”
Agus tersedak. Ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu sungguh menkhawatirkannya.
“Nggak, juga. Masih kecil-kecilan”.
“Ah, kak Agus suka merendah. Ema suka banget dengan sifat seperti kakak.”
Agus melayang. Sungguh, kalimat terakhir tadi seperti membuat tubuhnya melayang tinggi ke angkasa. Ada semacam kebanggaan yang begitu memuncak ketika pujian tersebut terucap dari mulut Ema.
“Kita ke tempat lain yuk ! Ema sudah kenyang, kan ?”
Keduanya berjalan keluar. Lengan kanan Agus memeluk erat pinggul Ema.
Keesokan harinya pada hari Minggu tepatnya pukul empat sore, Agus bertemu dengan seorang gadis yang bernama Lena yang juga kenalan melalui obrolan di facebook.
“Hei, mas Agus, kan ?”
“Kok, kamu tahu ?”
“Iyalah, kan janjian di sini. Cuma satu orang kan...”
“Eh, iyaaa...”, Agus menunduk menyembunyikan wajah bloonnya.
“Sekarang kita ke mana mas agus ?”
“Terserah kamu, deh”.
Mereka bertemu di toko buku Gramedia. Mereka menyusuri trotoar di jalan tersebut. Matahari sore seakan tersenyum melihat dua sejoli berbunga-bunga. Matahari menyelimuti mereka dengan sinar emas yang terindah.
Tepat di Senin pagi yang kebetulan diliputi suasana mendung seorang teman Agus menghampirinya.
“Halo, kawan, gimana ? Bisa hari ini, kan ?”
“Maaf, Din. Aku belum punya duit”.
Wajah Agus pucat. Ia memperbaiki posisi duduknya.
“Wah, gimana, sih kamu ini ? Apa kamu lupa ?”
“Aku ingat, Din. Sangat ingat tapi....”
Udin langsung memotong ucapan Agus. “Ah, begini aja deh. Aku kasih waktu sampai besok sore, tapi janji harus dilunasi”.
“Aku minta waktu seminggu, Din. Tolonggg..”, Agus memelas.
“Hah! Seminggu. Jangan bercanda, Gus”.
“Aku ngak bercanda dompetku benar-benar tipis”.
Udin memandang tajam ke arah Agus. Ingin betul rasanya ia menelan hidup-hidup kawannya itu. Kalo saja dia tidak ingat Agus adalah sahabatnya mungkin dari tadi sebuah bogem sudah mendarat di pipinya. Namun, kerut wajah Udin tiba-tiba mengendur. Dia lalu tertawa terbahak-bahak. Lucu melihat wajah Agus yang mulai tidak terbentuk. Rasa iba pun menggelayut.
“Hey, kawan ! Kau apakan duit yang aku pinjamkan itu ?”
“Mentraktir kawan”. Jawab Agus gelagapan.
“Traktir siapa ?”
“Teman chatting”.
“Hah ! teman chatting. Pantesan motor ojek bututmmu itu belum bisa jalan. Bukannya duit dipakai untuk servis !”
Suasana menjadi senyap. Mereka saling bergantian memandang. Tidak lama kemudian senyum Agus merekah. Udin menepuk pundaknya, tapi belum sempat keduanya berpelukan, sebuah teriakn keras seakan mengaum di balik pagar.
“Heh, Agus ! Kau ada di mana ? Sewa ojek minggu lalu belum kau setor.”
Agus dan Udin lalu lari terbirit-birit.
SELESAI
Karya : Febriani
Cerpen "Retak"
Tanpa ku sadari air mataku menetes dari kedua bola mataku. Saat aku merasakan tak ada lagi ketenganan, kedamaian, dan kasih sayang yang selama ini aku harapkan. Aku hanya bisa menjadi penonton tatkala kedua orang tuaku bertengkar. Aku hanya bisa menangis ketika tangan kekar ayahku mendarat di pipi ibuku. Semua seperti neraka. Rasanya ku ingin tidur dan terus tertidur tanpa harus bangun menyaksikan pertengkaran kedua orang tuaku. Aku sudah lelah terlahir sebagai seorang anak yang hanya bisa menyaksikan drama kehidupan yang perih di keluargaku. Arghh...ingin ku teriak. Hanya keluhan ini yang bisa kulakukan setiap pagi saat matau terbangun dari tidurku.
Di ruang tamu terdengar suara pertengkaran antara kedua orang tuaku.
“Ini sudah jam berapa, mas ? jam segini baru pulang. Kalau seperti ini terus aku sudah tidak tahan lagi”. Suara ibuku menggelegar pada setiap sudut isi rumah.
“Ah...banyak tanya kamu !” sahut ayahku dengan nada emosi.
“Aku ini istrimu, mas. Jadi, aku berhak bertanya tentangmu”.
Plakkk...tangan kekar ayahku mendarat di muka ibuku. Aku terkejut saat ku lihat itu. Ibuku hanya terdiam dan menangis. Ingin rasanya aku teriak di depan mereka tuk meghentikan semua ini, tapi ku tak bisa. Aku hanya bisa menjadi penonton kepahitan yang ada di keluargaku.
“Kita cerai !”, tiba-tiba saja kati itu keluar dari mulut ayahku. Entah setan mana hyang merasukinya hingga ia tega mengatakan kata itu. Ibuku hanya bisa terdiam menatap menatap kosong saat kata itu keuar dari mulut ayahku. Lima belas tahun menjalin rumah tangga tak membuat ayahku sadar. Aku hanya terdiam di sudut kamar. Dadaku terasa sesak. Duniaku tiba-tiba gelap. Ya Tuhan, ku harap semua ini hanya mimpi.
Surat perceraian. Ku saksikan ibuku menandatangani surat perceraian itu. Ternyata benar orang tuaku akan bercerai. Aku hanya terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa. Nafasku terasa semakin sesak, letupan-letupan di dadaku serasa semakn keras. Ingin ku akhiri hidup ini. Mengapa ku harus hidup jika harus menyaksikan semua ini.
Entah setan mana yang merasuki diriku. Tiba-tiba ku ambil sebuah silet, lalu ku iriskan pada pergelangan tanganku dan darah pun mengucur deras. Aku pun tak sadarkan diri.
“Mitha.....! Ini ibu, nak. Terdengar sayup-sayup suara ibuku.
“Kamu sudah sadar, nak ? Ini ayah dan ibumu. Kamu sudah dua jam lebih tak sadarkan diri dan sekarang di rumah sakit”.
Aku pun meneteskan air mata saat ku lihat ibu dan ayah di sampingku.
“Kenapa kau lakukan hal bodoh ini, nak ? Ibu dan ayah tidak akan bercerai. Ibu janji”.
Ibuku menangis sambil memeluk diriku. Dadaku pun tak lagi terasa sesak. Letupan-letupan dulu yang selalu ada di hatiku kini tak lagi ada saat ku tahu ayah dan ibuku takkan bercerai. Terimah kasih Tuhan ! Kau telah berikan kesempatan untukku dan kedua orang tuaku..
SELESAI
Karya : Febriani
Di ruang tamu terdengar suara pertengkaran antara kedua orang tuaku.
“Ini sudah jam berapa, mas ? jam segini baru pulang. Kalau seperti ini terus aku sudah tidak tahan lagi”. Suara ibuku menggelegar pada setiap sudut isi rumah.
“Ah...banyak tanya kamu !” sahut ayahku dengan nada emosi.
“Aku ini istrimu, mas. Jadi, aku berhak bertanya tentangmu”.
Plakkk...tangan kekar ayahku mendarat di muka ibuku. Aku terkejut saat ku lihat itu. Ibuku hanya terdiam dan menangis. Ingin rasanya aku teriak di depan mereka tuk meghentikan semua ini, tapi ku tak bisa. Aku hanya bisa menjadi penonton kepahitan yang ada di keluargaku.
“Kita cerai !”, tiba-tiba saja kati itu keluar dari mulut ayahku. Entah setan mana hyang merasukinya hingga ia tega mengatakan kata itu. Ibuku hanya bisa terdiam menatap menatap kosong saat kata itu keuar dari mulut ayahku. Lima belas tahun menjalin rumah tangga tak membuat ayahku sadar. Aku hanya terdiam di sudut kamar. Dadaku terasa sesak. Duniaku tiba-tiba gelap. Ya Tuhan, ku harap semua ini hanya mimpi.
Surat perceraian. Ku saksikan ibuku menandatangani surat perceraian itu. Ternyata benar orang tuaku akan bercerai. Aku hanya terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa. Nafasku terasa semakin sesak, letupan-letupan di dadaku serasa semakn keras. Ingin ku akhiri hidup ini. Mengapa ku harus hidup jika harus menyaksikan semua ini.
Entah setan mana yang merasuki diriku. Tiba-tiba ku ambil sebuah silet, lalu ku iriskan pada pergelangan tanganku dan darah pun mengucur deras. Aku pun tak sadarkan diri.
“Mitha.....! Ini ibu, nak. Terdengar sayup-sayup suara ibuku.
“Kamu sudah sadar, nak ? Ini ayah dan ibumu. Kamu sudah dua jam lebih tak sadarkan diri dan sekarang di rumah sakit”.
Aku pun meneteskan air mata saat ku lihat ibu dan ayah di sampingku.
“Kenapa kau lakukan hal bodoh ini, nak ? Ibu dan ayah tidak akan bercerai. Ibu janji”.
Ibuku menangis sambil memeluk diriku. Dadaku pun tak lagi terasa sesak. Letupan-letupan dulu yang selalu ada di hatiku kini tak lagi ada saat ku tahu ayah dan ibuku takkan bercerai. Terimah kasih Tuhan ! Kau telah berikan kesempatan untukku dan kedua orang tuaku..
SELESAI
Karya : Febriani
Cerpen "Tukang Becak"
Teguh, itulah nama kecil yang diberikan kepadanya ketika kecil. Dia terlahir di pinggiran kota. Dia hidup tak terpelihara langsung oleh kedua orang tuanya karena telah meninggal sejak ia masih kecil. Sejak kecil dia tidak pernah tinggal diam di suatu tempat. Ia berkeliling menjual pempek yang dititipkan kepadanya. Ia menjalankan hidupnya dengan penuh kesabaran dan kesederhanaan pernah suatu kali uang hasil menjual pempeknya diambil oleh anak-anak nakal, tapi Teguh tetap tabah dan sabar. Sebagai seorang tamatan Sekolah Menengah Pertama biasa tak banyak yang bisa ia lakukan. Melamar pekerjaan di sana sini, tetapi tak ada satu pun yang menerimanya. Hingga akhirnya ia memilih menjadi tukang becak. Itu pun becak sewaan yang disewanya pada juragan becak yang setiap harinya harus ia bayar setoran sebesar tujuh ribu rupiah. Dengan penuh kesabaran, ia tetap mengais rejeki dengan menarik becak sewaan itu. Kurang lebih satu tahun setengah ia menjadi tukang becak demi memenuhi kebutuhannya.
“Kau tak bosan menjadi tukang becak, Teguh?” ujar Mamat yang membangunkan lamunan Teguh.
“Ah,Mat..seperti kau tak bosan saja.. Memangnya kita bisa apa? Tamat SMA saja tidak”. Jawab Teguh.
“Setidaknya kau tidak seperti aku. Kau masih bisa mencari pekerjaan lain selain becak. Bukannya kau waktu itu pernah menang lomba drama bersama teman-temanmu, kenapa kau tak mencoba menjadi artis sinetron saja?” Ujar Mamat sambil tertawa.
“Ngejek kau ya ?” jawab Teguh dengan nada yang agak sedikit kesal.
“Bukannya begitu..siapa tahu kau bisa menjadi artis. Kan aku juga bisa ikut tenar”.
“Gila kau, Mat !” Teguh berdiri kemudian mengayuh becaknya untuk mencari penumpang yang akan memakai jasanya.
Sampai pada suatu hari dia ditawari oleh Mail untuk mengikuti sanggar tari dan peran yang dimilikinya. Mail mempunyai sanggar tari dan peran yang sering dipakai pada acara-acara pernikahan.
“Teguh, kalau tidak salah kau dan teman-temanmu waktu itu pernah memenangkan lomba peran drama pada tahun lalu. Kenapa kau tak ikut sanggar ku saja?”. Ujar Mail
Teguh hanya mengangguk tak bersuara. Sepertinya dia agak sedikit bingung dengan maksud dari Mail.
“Ya, daripada kau menarik becak setiap hari dengan hasil yang tidak seberapa lebih baik kau ikut saja sanggarku. Setidak-tidaknya masih ada oranh yang memakai sanggarku untuk acara pernikahannya”. Mail mencoba membujuk Teguh.
Awalnya, dia ragu. Dia ragu akan dirinya sebagai tukang becak apa bisa mempunyai kemampuan untuk bermain peran di sanggar Mail, tetapi akhirnya dia mencoba untuk mengikuti tawaran Mail.
Selama satu tahun Teguh merasa nyaman mengikuti sanggar tersebut hingga semakin hari kemampuannya di bidang peran semakin bertambah dan dia meninggalkan becaknya.
SELESAI
Karya : Febriani
“Kau tak bosan menjadi tukang becak, Teguh?” ujar Mamat yang membangunkan lamunan Teguh.
“Ah,Mat..seperti kau tak bosan saja.. Memangnya kita bisa apa? Tamat SMA saja tidak”. Jawab Teguh.
“Setidaknya kau tidak seperti aku. Kau masih bisa mencari pekerjaan lain selain becak. Bukannya kau waktu itu pernah menang lomba drama bersama teman-temanmu, kenapa kau tak mencoba menjadi artis sinetron saja?” Ujar Mamat sambil tertawa.
“Ngejek kau ya ?” jawab Teguh dengan nada yang agak sedikit kesal.
“Bukannya begitu..siapa tahu kau bisa menjadi artis. Kan aku juga bisa ikut tenar”.
“Gila kau, Mat !” Teguh berdiri kemudian mengayuh becaknya untuk mencari penumpang yang akan memakai jasanya.
Sampai pada suatu hari dia ditawari oleh Mail untuk mengikuti sanggar tari dan peran yang dimilikinya. Mail mempunyai sanggar tari dan peran yang sering dipakai pada acara-acara pernikahan.
“Teguh, kalau tidak salah kau dan teman-temanmu waktu itu pernah memenangkan lomba peran drama pada tahun lalu. Kenapa kau tak ikut sanggar ku saja?”. Ujar Mail
Teguh hanya mengangguk tak bersuara. Sepertinya dia agak sedikit bingung dengan maksud dari Mail.
“Ya, daripada kau menarik becak setiap hari dengan hasil yang tidak seberapa lebih baik kau ikut saja sanggarku. Setidak-tidaknya masih ada oranh yang memakai sanggarku untuk acara pernikahannya”. Mail mencoba membujuk Teguh.
Awalnya, dia ragu. Dia ragu akan dirinya sebagai tukang becak apa bisa mempunyai kemampuan untuk bermain peran di sanggar Mail, tetapi akhirnya dia mencoba untuk mengikuti tawaran Mail.
Selama satu tahun Teguh merasa nyaman mengikuti sanggar tersebut hingga semakin hari kemampuannya di bidang peran semakin bertambah dan dia meninggalkan becaknya.
SELESAI
Karya : Febriani
Langganan:
Postingan (Atom)